11. Nostalgia

917 132 7
                                    

Setelah sekian purnama, akhirnya weekend ini Clay bisa menghabiskan waktu bersama kedua orang tuanya. Tidak perlu bermewah-mewah, cukup quality time menonton film di home theater. Menggantikan Minggu sebelumnya yang gagal karena Clay drop dan terkurung di rumah sakit selama seminggu lebih. Bahkan baru diizinkan pulang sore tadi.

Di luar mungkin Clay terlihat bad boy, tapi kalau di rumah sebenarnya baby boy. Buktinya sekarang dia sedang rebahan setengah duduk di antara mami papinya, ditemani pop corn caramel di tangan. Mata ketiganya fokus ke film yang terputar, tapi sesekali juga bercerita keseharian masing-masing terutama Clay.

"Punya Adek enak gak sih?" tanya Clay setelah melihat adegan kakak beradik di layar.

"Kalo tanya Papi sama Mami kayanya salah deh. Sama-sama anak bungsu soalnya." Gilbran menjawab sekenanya.

"Oiya lupa. Tapi punya saudara enak ya? Pasti rame ada yang diajak berantem sama tuker-tukeran barang."

Dua orang tua itu saling tatap. Mereka paham maksud tuturan Clay meski dengan nada santai.

"Kan Clay punya banyak kakak. Ada Kenan Oscar, Nafi Naufal, sama Jiro yang kaya kakak kembarmu. Malah punya Adek juga 'kan, ada Kenzie," kata Santika.

Clay memasukkan segenggam pop corn manis ke mulut tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Gak asik. Mereka sibuk sendiri-sendiri, mana rumahnya beda-beda jadi gak setiap hari ketemu. 'Kan asik kalo serumah gitu, sama-sama dirawat Mami Papi." Berucap dengan sedikit semburan dari mulut.

"Kamu mau adek?"

Pertanyaan spontan dari Gilbran membuat Clay tersedak. Dengan cepat Santika mengulurkan minum dan mengusap punggung anaknya.

Selesai dengan acara tersedak, Clay memicingkan mata ke sang Ayah. "Papi mau nikah lagi?! Gak boleh!" lalu memeluk erat Maminya.

Gilbran berdecak, namun juga gemas dengan kepolosan anaknya itu. "Kamu ni udah kuliah kaya anak TK. Adek gak harus dari Mama baru, Clay. Adopsi? Mungkin?"

"Tapi kalo punya Adek kamu harus jadi kakak yang rela kasih sayang mami papi terbagi. Terus jagain Adek, gak bisa manja-manja kaya gini lagi, harus dewasa juga buat jadi contoh Adek mu," imbuhnya.

"Clay udah dewasa," kata Clay tanpa melepas pelukan dari pinggang sang Mami.

"Masa? Kalo gitu besok ikut Om Wira visit hotel, atau Clay udah nentuin habis lulus kuliah mau kerja di bagian apa?" goda Gilbran一well tidak sepenuhnya menggoda sih.

Dahi Clay berkerut dalam, berpikir keras. Oh tidak. Dia masih belum menentukan tujuannya setelah kuliah. Kuliah saja masih malas-malasan, apalagi memikirkan setelah lulus. Terus tadi, cek hotel katanya? Rasanya Clay kurang minat di bidang perhotelan. Dia tidak terlalu menikmati bekerja diam di kantor duduk berjam-jam.

"Aaaa gak mau! Gak mau miiih, takut! Takut dewasa!" Semakin mengeratkan pelukan, membuat kedua orang tuanya terkikik gemas.

"Sama kalo periksa ke dokter, Clay bilang sendiri keluhannya, bukan Mami atau Kenan atau Nafi," kata Santika.

"Gak!" suaranya teredam di perut sang Mami.

Gilbran mengusak gemas surai putranya yang lebat bergelombang. "Udah gede aja sih kamu, cepet banget. Tapi kelakuannya tetep kaya bayi."

"Kalo diliat gebetan malu ih," Santika menggoda dan Clay menggeleng ribut.

"Gak ada gebetan gebetanan."

"Heh dengerin papi." Sedikit memaksa Clay untuk menghadapnya, Gilbran lantas menangkup wajah sang anak yang mencebik. "Dewasa itu bukan cuma perkara mandiri一ada banyak.

Takut Dewasa ⁽ᴱᴺᴰ⁾Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang