Side story Agam

868 103 19
                                    

Agam duduk anteng diatas kasur. Dia menatap bingung kearah Romeo, Mira dan juga Farel yang sedang menatapnya dengan lembut.

"Kenapa?" Tanya Agam.

Mira menggeleng, wanita cantik itu duduk disebelah Agam. Tangannya mengelus surai legam milik Agam.

"Agam buka baju dulu ya?" Bujuk Mira.

Agam mengerti. Pasti ketiga orang ini mau memeriksa tubuhnya lagi.

Agam langsung menggeleng, dia tidak mau jika ayahnya dihajar lagi oleh Romeo dan Farel.

"Kok gak mau?" Tanya Romeo.

Agam terdiam sebentar, "Agam gak apa-apa kok." Jawabnya.

Romeo menggeleng pelan, dia berjongkok dihadapan Agam.

"Daddy tau kamu bohong. Jadi sekarang buka baju Agam atau Daddy bakal laporin ayah Agam ke polisi. Mau?" Ancam Romeo.

Agam langsung menggeleng panik. Tangannya langsung membuka bajunya.

Mira langsung menutup mulutnya kaget, sedangkan Romeo dan Farel hanya memejamkan matanya sebentar. Agam sendiri hanya diam sambil menundukkan kepalanya. Tangan kecilnya terkepal erat.

Romeo menghela nafasnya pelan, "kenapa gak bilang?" Tanyanya lembut.

Agam tetap diam.

"Kenapa sampai dipukul lagi? Agam nakal?"

Agam menggeleng, "Agam gak nakal, ayah tiba-tiba aja pukulin Agam pas pulang ke rumah."

Mira dengan bergetar mengobati luka yang berada dipunggung Agam. Bekas cambukan serta pukulan terlihat begitu jelas.

"Ayah Agam ada dirumah?" Tanya Romeo.

Agam mengangguk.

"Agam tidur disini dulu ya sama Jevan?" Tawar Romeo.

Agam terdiam sejenak kemudian mengangguk.

Farel diam sambil mengamati ekspresi Agam. Anak itu tetap memasang raut datarnya saat Mira mengolesi obat di punggungnya. Kenapa Agam terlihat seperti mati rasa?

"Nah udah selesai, sekarang Agam bisa ikut makan-makan sama yang lain." Ujar Mira sambil merapihkan kotak obat yang dipakai untuk mengobati Agam.

Agam mengangguk sambil mengucapkan terimakasih. Setelahnya dia berlalu keluar dan ikut berkumpul bersama ketiga sahabatnya.

"Damian...." Desis Romeo sambil mengepalkan tangannya.

===°°°===

Agam menatap sertifikat yang sedang dia pegang dengan bangga. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Hari ini adalah hari terakhirnya memakai seragam SMA. Dia bangga karena bisa menjadi lulusan terbaik di sekolahnya. Apalagi sekolahnya itu adalah sekolah unggulan.

Seandainya ayahnya seperti ayah kebanyakan orang, apakah dia akan diberi sebuah hadiah? Atau jalan-jalan? Minimal kecupan di pipi?

Agam menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa mengharapkan hal lebih.

Agam mendongak saat merasakan jika ada seseorang yang sedang menatap kearahnya. Diseberang sana, Agam bisa melihat sang ayah yang sedang berdiri sambil tersenyum.

Agam mengedipkan matanya tak percaya. Dia semakin dibuat terkejut saat ayahnya merentangkan kedua tangannya. Ayahnya memintanya untuk masuk kedalam pelukan hangatnya.

Air mata Agam mengalir begitu saja, dengan segera dia menyebrang tanpa melihat ke kanan dan kiri.

Tapi Agam dibuat bingung dengan perubahan ekspresi ayahnya. Raut wajah ayahnya yang semula terpasang sebuah senyum yang indah berganti menjadi raut panik yang ketara. Bibir ayahnya terus meneriakkan sesuatu. Namun Agam tidak bisa mendengar apa yang diteriakkan oleh sang ayah. Suaranya teredam oleh bunyi klakson yang sangat memekakkan telinga. Agam menoleh, dia membelalakkan matanya saat sebuah bus melaju dengan cepat kearahnya. Agam hendak berlari, namun terlambat. Tubuhnya terhempas begitu saja setelah terasa hantaman yang sangat kencang.

Damian melihat semuanya. Bagaimana tubuh sang anak terhempas begitu kuat. Bagaimana darah dengan cepat mengalir di sekujur tubuhnya. Damian merasakan jiwanya melayang begitu saja. Dengan gemetar dia segera menghampiri sang anak. Dia menyingkirkan orang-orang yang mengelilingi tubuh sang anak dengan kasar.

Damian terduduk disamping tubuh Agam. Air matanya semakin deras saat melihat kondisi mengenaskan Agam.

"A-ayah....." Lirih Agam.

Damian mengangguk, dia mengulas senyum yang jelas-jelas dipaksakan.

"Iya sayang.... Ini ayah...."

Agam tersenyum tipis disela-sela rintihannya.

"A-agam..... Juara..... Satu...." Suara Agam kian mengecil.

Damian terisak semakin kencang.

"Tadinya.... Agam mau.... Jadi.... Kaya Ayah...
Jadi pengacara.... Yang hebat.... Uhuk..."

Damian menggeleng, dia memeluk tubuh Agam.

"Jangan bicara apa-apa lagi. Agam pasti selamat. Agam gak bakal ninggalin ayah!"

Agam ikut menangis saat melihat tangisan sang ayah. Agam menghapus air mata yang mengalir dari kedua mata Damian.

"Jangan nangis..... Agam senang punya ayah seperti ayah...... Agam pamit yah....." Mata Agam perlahan-lahan mulai tertutup. Bibir anak itu menampilkan senyuman.

"ENGGAK! AGAM GAK BOLEH TINGGALIN AYAH!! BANGUN!! AYAH MINTA MAAF SAMA AGAM!! Hiks...."

.....

Leon menepuk-nepuk pipi Damian dengan cemas. Dia khawatir melihat temannya yang berteriak-teriak sambil menangis dengan mata yang masih terpejam.

"Dam! Bangun! Lo kenapa sih?!" Panik Leon.

Mata Damian langsung terbuka, dia terduduk dengan nafas yang tak beraturan.

"Agam?! Dimana anak gue Yon?!" Teriak Damian panik.

Leon tergagap, dia agak kaget mendengar pertanyaan Damian.

"Agam masih diperiksa. Lo tadi pingsan di pengadilan setelah denger Agam kecelakaan." Jelas Leon sambil menyerahkan segelas air pada Damian.

Damian menghela nafasnya lega, mimpinya tadi adalah mimpi yang paling buruk yang pernah dia alami.

"Gue pergi." Pamit Damian setelah meletakkan gelas yang sudah kosong itu diatas nakas. Dia keluar dari ruang rawatnya.

Leon terus mengikuti langkah sahabatnya itu. Hingga sampailah mereka disebuah pemakaman yang sangat Leon kenali.

Dia bisa melihat Damian menghampiri makam sang istri kemudian menangis tersedu-sedu disana.



Akhirnya cerita JASA udah sampai di penghujung cerita....

Terima kasih untuk semuanya yang udah membaca cerita ini dari awal. Aku benar-benar terharu...

Em... Oh iya... Jangan lupa baca ceritaku yang lain ya....

Goodbye.....

JASA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang