Langit sudah menghitam, bukan karena hujan, tetapi memang sudah waktunya malam datang. Matahari hendak berganti tugas dengan rembulan, seakan lelah menyaksikan kesibukan siang. Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan, membantu pencahayaan sang pengguna jalan.
Seorang gadis dengan kaki telanjangnya melangkah lunglai di jalanan pinggiran kota yang cukup ramai akan pengemudi jalanan. Beberapa orang yang melihatnya bertanya-tanya apa yang terjadi pada gadis itu, baju seragam SMA yang lusuh dengan badge nama Pelita Anatasya, rambut yang mungkin berantakan, wajah yang sudah tentu terlihat kacau karena menangis.
Dia berjalan tanpa arah dan tujuan hanya mengikuti kaki jenjangnya yang terus melangkah hingga dia berhenti, menatap aspal jalanan seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Jalanan itu cukup sepi, kakinya mulai melangkah melewati pembatas jalan, ia tidak melihat kiri atau kanan, hanya menatap kosong ke depan. Tidak peduli jika ada kendaraan lewat, karena memang itu yang ia inginkan.
Tin!
Suara klakson yang cukup memekak telinga disusul dengan suara decitan rem karena sang pengemudi menginjak rem dengan sangat kuat. Pelita hanya diam memandang mobil di depannya yang hampir saja menyentuh tubuhnya, tidak ada tampang terkejut sama sekali. Berbeda dengan Abi, sang pengemudi mobil yang usianya tidak jauh dari Pelita. Abi keluar dari mobilnya dengan emosi menghampiri Pelita.
“Woy, lo gila?! Lo mau mati?!” teriak Abi, Pelita menunduk menatap aspal jalanan. Air matanya seakan tidak mau berhenti terus berterjunan membasahi pipinya.
“Kenapa lo gak nabrak gue?” lirih Pelita membuat Abi tercengang, gadis di depannya hampir saja mati tertabrak mobil olehnya dan itu ternyata memang keinginannya.
Pelita menatap wajah Abi membuatnya sedikit tersentak karena wajah Pelita yang sembab, sudah jelas jika ia sudah lama menangis dan penampilannya yang berantakan.
“Gue pengen mati, kenapa lo gak nabrak gue?! Kenapa lo rem mobil lo?!” Pelita mencengkram baju Abi sambil berteriak dan menangis. Abi melepaskan cengkraman Pelita yang menurutnya aneh itu, dia tidak habis pikir dengan apa yang dikatakan Pelita.
“Lo kalau mau mati, jangan nyusahin orang lain. Jangan bikin orang lain masuk penjara, lo liat gedung itu?” Abi menunjuk salah satu gedung rumah sakit yang cukup tinggi di dekat sana, Pelita mengikuti arah telunjuk Abi. “Lo naik ke atas gedung itu dan lompat dari sana, gue yakin lo langsung mati. Gak perlu nyusahin orang kayak gini,” ucap Abi lalu pergi masuk ke dalam mobilnya meninggalkan Pelita yang masih mematung menatap gedung yang menjulang tinggi itu.
Tin!
Abi membunyikan klaksonnya agar Pelita tidak menghalangi jalannya, mobil yang dikendarai Abi melaju kencang membelah jalanan menuju tempat yang dia tuju.
***
Mobil hitam itu berhenti di depan sebuah kafe yang cukup ramai pengunjung, lonceng berbunyi tanda seseorang masuk ke dalam kafe.
“Kok lama, Bi? Ada masalah?” tanya salah satu teman Abi yang bernama Arden. Sejak tadi tiga sahabat Abi yaitu Arden, Dito dan Arka menunggunya di kafe. Hari ini memang hari pertama Abi di Indonesia setelah satu bulan ia pergi ke Singapur karena adik perempuannya yang tinggal di sana sakit.
“Gue tadi hampir aja nabrak cewek di jalan,” ucap Abi membuat teman-temannya terkejut, pasalnya Abi bukan tipe orang yang suka ugal-ugalan di jalanan, dia sangat hati-hati jika berkendara.
“Serius lo? Kok bisa, gak biasanya lo ugal-ugalan,” ucap Arden. Dito dan Arka menatap Abi dengan isi kepala yang sama dengan Arden.
“Gue gak ugal-ugalan, cewek itu aja yang gak waras diem di tengah jalan,” jelas Abi.
KAMU SEDANG MEMBACA
REDUP
Teen Fiction"Ragaku utuh, tetapi tidak dengan jiwaku yang telah runtuh." -Pelita Anatasya