7

29 4 2
                                    

Pelita mematung melihat danau di depannya, indah, sangat indah. Dia berjalan mendekat ke danau itu. Di sana sangat sepi. Namun, tidak ada rasa seram sama sekali, suasananya menenangkan.

"Kita ngapain ke sini, Kak?"

Abi tidak menjawab, dia terus berjalan menuju sebuah rumah pohon tua dekat danau itu. Pelita berjalan mengikuti Abi.

"Bisa naik?" tanya Abi menatap Pelita. Pelita tidak menjawab, dia mendahului segera naik menggunakan penahan kayu yang dibuat sebagai penyangga agar bisa naik ke atas.

Abi ternyum tipis lalu menyusul Pelita yang sudah di atas.

"Wahh indah banget, Kak." Mata Pelita berbinar takjub melihat pemandangan dari atas, danau itu ternyata sangat luas.

"Mau lakuin hal asik?" tanya Abi membuat Pelita mengerutkan keningnya.

Abi menghadap ke arah danau. "Pelita gue tau lo gak baik-baik aja, tapi gue tau lo kuat, lo pasti bisa hadapi semuanya gue ada di samping lo!" Abi berteriak sangat keras membuat Pelita tersenyum, dia mendekat pada Abi.

"Gue gak pernah minta dilahirin, gue gak pernah minta apapun. Apa salah gue?!" teriak Pelita dengan keras, air matanya kembali berterjunan membasahi pipinya.

"Semuanya gak adil buat gue, gue pengen kayak orang lain, gue gak tau rasanya disayang orangtua gue sendiri, kenapa gue terlahir sedangkan kehadiran gue gak diinginkan siapapun, gue cape!" suara Pelita parau, dia berteriak dengan keras mengeluarkan apa yang dia rasakan.

Abi yang mendengar itu merasa tidak tega, dia tidak tahu luka Pelita sangat dalam. Abi menarik Pelita ke dalam pelukannya. Pelita menangis dalam dekapannya.

"Aku cape, Kak. Aku pengen pergi," lirih Pelita terisak.

Abi mengelus-ngelus kepala Pelita, memberi ketenangan untuknya.

"Ada gue, Ta. Lo sekarang gak sendiri, ada gue."

"Kenapa tuhan gak adil sama gue, Kak. Kenapa dia kasih gue penderitaan ini."

Abi semakin mendekap Pelita. "Karena tuhan sayang sama lo, Ta."

Pelita terus menangis dalam dekapan Abi, mengeluarkan semua rasa sesak yang selama ini selalu ia tahan sendiri. Abi memang orang asing di hidupnya, bahkan baru beberapa hari mengenalnya. Tetapi sepertinya tuhan memberikan Abi untuk menguatkannya.

***

Pelita memilih untuk tidak pulang, dia belum siap jika harus bertemu dengan orangtuanya di rumah. Abi yang mengerti perasaan Pelita tidak tega jika membiarkannya sendirian, dia membawa Pelita ke rumah tantenya.

"Ini rumah Kakak?" tanya Pelita melihat rumah yang sangat besar di hadapannya.

"Rumah tante gue. Mamanya Kak Natalie, dokter yang waktu itu nanganin lo di rs," jelas Abi membuat Pelita mengangguk-anggukan kepalanya.

"Ayok masuk."

Pelita menarik tangan Abi membuatnya mundur, Abi menatap heran.

"Kenapa?"

"Malu, Kak," ucap Pelita membuat Abi berdecak.

"Mereka pada ramah kok, kalau lo gak nyaman nanti bilang aja sama gue," jelas Abi. Akhirnya Pelita mengikuti Abi masuk, Pelita cukup tercengang melihat isi rumah yang sangat mewah itu.

"Abi, kamu kemana aja, Nak. Kirain lupa sama alamat rumah ini." Seorang wanita paruh baya menghampiri Abi lalu memeluknya, seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu anaknya.

"Baru ada waktu, Bun," ucap Abi membalas pelukan tantenya.

'Bun?' Apa dia ibunya Abi? Bukannya ini rumah tantenya? Apa ibunya juga tinggal di sini? Banyak pertanyaan yang muncul di kepala Pelita.

Selepas memeluk Abi, wanita itu memicingkan matanya pada Pelita. Pelita menjadi kikuk ditatap seperti itu.

"Oh pantes aja kamu gak ada waktu main ke sini, udah punya pacar ternyata," ucap wanita itu.

"Dia temen Abi, Bunda."

"Hallo, Tante. Aku Pelita, temennya Kak Abi," ucap Pelita.

"Namanya cantik kayak orangnya, saya Hana tantenya Abi, adik dari ibunya." Ah ternyata Abi memanggil tantenya Bunda, terlihat jelas sedekat apa mereka, pikir Pelita.

"Kamu kok kayak abis nangis? Kenapa sayang? Abi jahat sama kamu?" Hana memengang kedua pipi Pelita melihat matanya yang sembab. Pelita bingung harus menjawab apa.

"Abi, Pelita kenapa? Kamu kok bikin cewek nangis sih?" Belum ada yang menjawab Hana terus mencerca mereka dengan pertanyaan.

"Nanti Abi jelasin, Bun. Di sini ada baju Aya gak, Bun?"

"Ada, di kamarnya."

"Ta, mandi dulu aja ya, bajunya ada yang adek gue. Bun tolong anterin Pelita ke kamarnya Aya, ya."

"Ayok, sayang."

Pelita pergi bersama Hana ke kamar Aya, adik Abi yang sekarang tinggal di singapura. Sedangkan Abi pergi ke kamarnya yang dulu saat dia tinggal di sini.

Abi dan adiknya memang sempat tinggal di sini, semenjak SMA Abi memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemennya, sedangkangkan Aya semenjak masuk SMP tinggal di Singapura bersama Ayahnya.

Abi merebahkan badannya di kasur, dia menatap langit langit kamar pikirannya melayang terbayang saat orang tua Pelita bertengkar.

Saat Pelita turun dari mobil handphonenya tertinggal, beruntung Abi masih dekat dia kembali untuk mengembalikan handphone itu. Saat Abi turun dari mobil, terdengar suara benda pecah sangat keras.

Abi melihat Pelita masih diambang Pintu dengan tangan menutup telinga, dari teras terdengar jelas suara orang tua Pelita karena rumah itu tidak terlalu besar.

Jujur, Abi sangat tersentak mendengar perkataan ayah dan ibu Pelita. Pantas saja gadis itu sampai berniat mengakhiri hidupnya kala itu.

Tuktuktuk.
Suara ketukan pintu menyadarkan Abi.

"Bunda boleh masuk?" ucap Hana dari luar.

"Masuk aja, Bun," jawab Abi mengubah posisinya menjadi duduk. Hana masuk lalu duduk di pinggir kasur samping Abi.

"Pacar kamu kenapa?" tanya Hana, yang dimaksudnya adalah Pelita.

"Dia temen Abi, Bun. Bukan pacar Abi," tegas Abi jengah.

"Ck, iya temen kamu kenapa?"

Abi menceritakan sedikit kejadian tadi kepada Hana, Hana tercengang mendengarnya. Dia tidak tega mendengar perilaku orang tua Pelita, sungguh malang gadis cantik itu.

"Pelita boleh nginep di sini kan, Bun?" tanya Abi memastikan.

"Iya, kalau perlu dia tinggal di sini aja, orang tua macam apa yang bilang kayak gitu sama anaknya."

"Bun, Abi mohon jangan bahas itu di depan Pelita, ya."

"Iya, sayang. Yaudah kamu mandi juga gih, Bunda mau masak buat makan malam."

"Yang enak yang, Bun."

"Heh, emang masakan Bunda pernah gak enak?"

"Becanda Bunda." Abi memeluk Hana, Abi memang sangat manja kepada Hana seperti kepada ibu kandungnya sendiri.

"Ih sana mandi, bau kamu." Abi melepaskan pelukannya lalu mengendus ngendus badannya.

"Masih wangi gini, mana ada pengeran bau." Abi berjalan mengambil handuk. Abi memang seperti itu jika di depan Hana.

Hana hanya ternyum melihat tingkah keponakannya itu. Abi maupun Aya sudah Hana anggap seperti anak sendiri, dia memang sosok penyayang bahkan tidak pernah membeda-bedakan antara Natalie dan Abi ataupun Aya.

****

Haii guys, makasih udah mampir jangan lupa vote sama comment juga ya<3

Sangat terbuka untuk kritik disertai saran, tetapi tolong sampaikan dengan etika💙

REDUPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang