2

30 6 0
                                    

Pelita melangkahkan kakinya perlahan di trotoar, hari sudah sangat sore dan dia ketinggalan bus jemputan karena tertahan lama di ruang musik. Terpaksa dia harus jalan kaki, tidak, bukan karena rumahnya dekat dengan sekolah. Jika berjalan kaki, mungkin akan menghabiskan waktu satu jam, tetapi dia tidak ingin menghamburkan uang untuk membayar taxi.

Pelita berhenti di sebuah jembatan, di sana langit terlihat indah memperlihatkan gurat orange yang memanjakan mata. Pelita tersenyum, dulu dia sering bermain ke jembatan ini dan melihat sunset bersama sahabatnya, tetapi sekarang itu semua hanya tinggal kenangan saja.

Tanpa sadar air mata Pelita keluar, dia merindukan sahabatnya yang selalu ada di sampingnya. Sahabatnya itu yang membuat Pelita tidak merasa sendiri, tetapi sekarang tidak lagi. Pelita sendirian, tidak ada siapapun di pihaknya.

“Mau bunuh diri lagi?” ucap seseorang mengagetkan Pelita, dia segera menghapus air matanya dan menatap orang di sampingnya itu yang entah sejak kapan berada di sana.

“Lo-lo inget gue?” ucap Pelita keget, dia pikir Abi tidak mengingatnya karena saat di sekolah tadi dia seperti tidak mengenali Pelita.

“Lo pikir gue pikun?” ucap Abi tertawa kecil, bagaimana Abi bisa lupa dengan cewek di depannya ini.

“Tadi di sekolah ... ” ucap Pelita terjeda, Abi menaikan satu alisnya.

“Lo takut gue bilang ke yang lain kalau lo mau bunuh diri?” tebak Abi membuat Pelita mengangguk kecil, Abi tersenyum miring.

“Tenang aja, gue bisa jaga rahasia. Lagi pula buat apa gue ceritain hal yang gak berfaedah kayak gitu ke orang lain,” ucap Abi membuat Pelita tertegun, cowok ini ternyata baik tidak seperti apa yang ia pikirkan.

“Makasih,” ucap Pelita.

“Lo ngapain diem di sini? Bukan buat bunuh diri lagi, kan?” tanya Abi.

“Enggaklah, gue gak sengaja aja liat sunset di sini,” ucap Pelita kembali menatap langit, kini warnanya sudah memudar.

“Lo jalan kaki dari sekolah ke sini?” tebak Abi, Pelita mengangguk.

“Kenapa?” tanya Abi kembali.

“Ketinggalan bus jemputan,” ucap Pelita membuat Abi merasa bersalah, dia yang membuat Pelita pulang sangat sore.

“Ayok,” ucap Abi membuat Pelita mengerutkan keningnya tidak mengerti.

“Gue anterin lo pulang, lo ketinggalan bus juga karena gue nahan lo dulu di ruang musik, kan,” ucap Abi.

“Gak usah, gue masih bisa jalan,” tolak Pelita, dia tidak ingin merepotkan Abi. Cukup malam itu dia merepotkannya, lagi pula dia merasa sedikit canggung.

“Kalau lo gak mau, lo harus keluar dari ekskul musik,” ucap Abi membuat Pelita membulatkan matanya. Kenapa harus mengancam seperti itu, jika dia dikeluarkan dari ekskul musik dia harus maruk ektrakuliler apalagi dia tidak mengikuti ektrakulikuler apapun selain musik. Sekarang semua sudah tidak menerima anggota baru, bisa-bisa beasiswanya dicabut karena di sekolahnya wajib mengikuti ekskul.

Pelita segera berlari mengejar Abi yang sudah hampir sampai di mobilnya, mereka masuk ke dalam mobil. Abi menyalakan mesin dan melajukannya menuju komplek rumah Pelita.

Di dalam mobil mereka sama-sama diam sampai Abi menghentikan mobilnya di depan rumah Pelita, Abi sudah tahu rumah Pelita karena malam itu Abi mengantarkan Pelita pulang.

Pelita turun dari mobil, “Makasih,” ucap Pelita dijawab anggukan oleh Abi.

Setelah mobil Abi tidak terlihat lagi, Pelita masuk ke dalam rumahnya. Baru saja ia membuka pintu, seorang pria berusia 40-an menyilangkan tangannya di depan dada menatap Pelita dengan tajam.

REDUPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang