Pagi ini seperti biasanya, Pelita sudah rapi dengan perlengkapan sekolahnya. Rumahnya sudah sangat sepi, padahal ini masih pagi. Dia masuk ke dalam dapur, seperti biasa di meja makan hanya ada teko berisi air putih. Tidak masalah baginya, toh ia sudah terbiasa seperti ini.
Dia meneguk segelas air putih lalu bergegas berangkat ke sekolahnya, berjalan melewati beberapa rumah. Beberapa tetangga yang melihatnya menyapanya dengan ramah, dia melewati ibu-ibu kompleks yang sedang membeli sayuran di tukang sayur yang sudah biasa berjualan keliling di kompleks rumahnya.
“Baru berangkat, Ta?” tanya Bu Rita, Pelita tersenyum ramah.
“Iya, Bu. Permisi,” jawab Pelita dengan sopan, baru saja Pelita melangkahkan kakinya kembali, ibu-ibu di sana sudah berbisik-bisik membicarakan keluarganya.
“Kasian ya Pelita, orang tuanya tiap hari berantem. Di rumahnya gak ada yang peduli sama dia.”
“Iya, katanya mereka mau cerai.”
“Kemarin saya lihat dia keluar dari rumah sambil nangis gitu.”
Kira-kira seperti itu yang Pelita dengar, dia hanya bisa menghela napas, mencoba untuk tidak menghiraukan apa yang mereka katakan. Lagi pula dia tidak bisa menyangkal karena apa yang mereka katakan sepenuhnya benar.
Dia kembali berjalan hingga sampai di halte bus, menunggu bus jemputan sekolah. Tidak lama bus datang, dia segera masuk ke dalam. Di dalam bus hanya ada beberapa orang, memang selalu sedikit karena sekarang banyak anak sekolah yang membawa kendaraan pribadi.
***
Pelita berjalan menyusuri koridor menuju kelasnya, kelas X IPA 1. Dia baru saja satu bulan masuk SMA ini, SMA Taruma Bangsa. Dia bisa sekolah di sini karena mendapat beasiswa.
“Pelita!” panggil seorang cewek menghampirinya, dia Airin teman sekelas Pelita. Mereka saling mengenal saat MPLS.
“Lo ke mana aja? Kok baru masuk, lo sakit apa?” tanya Airin. Setelah kejadian malam itu Pelita tidak masuk sekolah selama tiga hari.
“Gue cuma demam biasa,” ucap Pelita lalu masuk ke dalam kelasnya bersama Airin. Teman-teman di kelasnya menyapa dengan ramah dan menanyakan bagaimana keadaan Pelita. Iya, dia baru satu bulan berada di SMA, tetapi namanya sudah terkenal. Berawal dari penutupan MPLS, dia dan Airin mewakili gugusnya untuk menampilkan apapun bakat meraka, kebetulan sekali Pelita pintar bermain gitar dan memiliki suara yang merdu, sedangkan Airin bermain Piano. Selain itu, Pelita juga cantik, sudah pasti menjadi pusat perhatian banyak orang.
“Ta, katanya hari ini ada kumpulan ekskul musik soalnya ketuanya udah balik,” ucap Airin. Iya, mereka masuk ekskul musik. Ekskul yang tidak sembarang orang bisa masuk, tetapi karena penampilan mereka saat MPLS membuat mereka langsung direkrut oleh wakil ketuanya.
“Oke,” jawab Pelita. Sebenarnya dia malas, apalagi harus bertemu orang banyak dan ada hal lain yang harus dia lakukan.
“Lo tau gak info loker paruh waktu gitu,” ucap Pelita, Airin yang sedang memainkan ponselnya berhenti dan menatap Pelita.
“Buat siapa?” tanya Airin.
“Buat gue, gue butuh kerjaan,” ucap Pelita, dia harus mencari pekerjaan paruh waktu untuk biaya hidupnya.
“Om gue punya kafe di jalan Kejora, kemarin gue denger dia lagi butuhin pelayan deh,” ucap Airin, Pelita langsung senang mendengarnya. “Tapi, gue gak tau bisa paruh waktu apa enggak, nanti gue tanyain deh,” lanjut Airin.
“Aaamakasih, Airin.” Pelita memeluk Airin.
“Ihh lepas, geli gue,” ucap Airin, Pelita hanya terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
REDUP
Teen Fiction"Ragaku utuh, tetapi tidak dengan jiwaku yang telah runtuh." -Pelita Anatasya