Matahari bersinar menembus gordeng jendela kamar Pelita membuatnya mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali mengumpulkan kesadarannya. Tangannya meraih jam di nakas dan seketika dia terperanjat kaget melihat jam sudah menunjukan pukul tujuh pagi, dia akan sangat terlambat masuk sekolah. Pelita masih mengenakan seragam sekolahnya, kepalanya masih sedikit pusing dan dia merasa badannya sedikit demam.
Pelita sangat malas pergi ke sekolah, tetapi jika tidak sekolah itu akan lebih bahaya. Dia masuk dengan beasiswa maka harus mempertahankan nilai dan kehadirannya, jika sering tidak masuk sekolah beasiswa itu bisa saja pihak sekolah cabut.
Dia mulai beranjak menuju kamar mandinya untuk bersiap pergi ke sekolah, walaupun dia sudah tahu akan sangat terlambat dan pasti akan mendapatkan hukuman. Tapi, itu lebih baik dari pada tidak masuk sama sekali dan lagi hari ini kelas Pelita ada ulangan harian di jam terakhir.
Setelah siap, Pelita mengemasi perlengkapan sekolah dan segera pergi keluar rumah. Dia mencari ponselnya yang sejak malam tidak ia keluarkan sama sekali di dalam tasnya, beruntung baterainya masih ada. Beberapa pesan dan panggilan masuk, itu semua dari Airin. Dia mengabaikannya dulu karean sudah sangat siang, dia segera memesan ojeg online agar lebih cepat sampai di sekolahnya. Setelah beberapa menit menunggu, ojeg online itu datang.
“Pak agak cepetan ya, saya terlambat,” ucap Pelita.
-----------
Sesampainya di sekolah jam sudah menunjukan pukul delapan, itu artinya Pelita terlambat satu jam. Dia membayar ongkos ojeg dan berlari ke arah gerbang yang sudah tertutup rapat itu, seperti biasa ada Pak Harto yang sudah menyilangkan tangannya di depan dada menunggu siswa-siswi yang terlambat, tidak lupa dengan buku hitam dan pulpen untuk mencatat mereka yang terlambat.
“Kamu tidak punya jam di rumah?!” bentak Pak Harto dari dalam ketika melihat Pelita.
“Maaf, Pak,” ucap Pelita sambil menunduk, Pak Harto memberi kode kepada satpam untuk membukakan gerbang. Setelah itu Pelita masuk dan langsung berhadapan dengan Pak Harto yang sudah siap dengan buku dan pulpen ditangannya.
“Siapa nama kamu,” ucap Pak Harto.
“Pelita Anatasya, kelas X IPA 1.” Pak Harto mencatat di buku hitam itu lalu menatap Pelita.
“Kamu anak beasiswa itu?” ucap Pak Harto.
“I-iya, Pak.” Pak Harto menggelengkan kepalanya membuat Pelita semakin menunduk, ia pasti akan mendapat hukuman berat.
“Kamu ini, kenapa kesiangan? Jam berapa ini,” ucap Pak Harto.
“Maaf, Pak. Saya tidak akan mengulanginya lagi,” ucap Pelita.
“Harusnya kamu lebih rajin, kalau sampai saya lihat kamu kesiangan lagi saya akan kasih kamu surat peringatan,” tegas Pak Harto membuat Pelita menelan salivanya takut.
“Hari ini banyak sekali yang terlambat, kalian ini niat sekolah apa enggak, sih! Saya sampai bingung kasih hukuman, hukumannya sudah semua dilakukan oleh yang kesiangan sebelum kamu,” dumel Pak Harto, Pelita bernapas lega. Semoga saja dia tidak mendapatkan hukuman berat apalagi harus membersihkan toilet atau gudang, itu sangat melelahkan.
“Ikut saya,” ucap Pak Harto, Pelita berjalan di belakang Pak Harto mengikutinya tanpa berbicara apapun.
Pak Harto berhenti di ruang guru, Pelita tidak tahu hukuman apa yang akan diberikan untuknya. Apa mungkin harus membersihkan ruang guru? Tidak masalah bagi Pelita karena ruang guru itu ruangan paling bersih di sekolah, jadi tidak akan terlalu membuatnya lelah.
Pak Harto tampak berbicara dengan beberapa guru di dalam, Pelita masih menunggu di luar. Dia tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan Pak Harto dengan guru-guru di dalam.
“Pelita, masuk,” perintah Pak Harto, Pelita masuk dan memberi salam pada beberapa guru di dalam.
“Hukuman kamu, kamu harus bantu guru-guru di sini yang perlu bantuan,” ucap Pak Harto.
Pelita sangat bersyukur, sepertinya hari ini nasibnya sedang baik. Membantu guru-guru tidak seberat membersihkan toilet yang pasti sangat bau.
“Baik, Pak, terima kasih,” ucap Pelita. Pak Harto lalu pergi meninggalkan Pelita di dalam sana.
“Pelita bisa bantu Ibu periksa semua ini?” ucap Bu Ria yang sedang memeriksa buku-buku yang bertumpuk di mejanya.
“Baik, Bu.” Pelita menghampiri Bu Ria.
“Duduk, Nak.” Pelita duduk di depan Bu Ria.
“Kelas kamu sudah mengerjakan tugas ini kan? Nilai kamu juga seratus, kamu masih ingat jawabannya?” tanya Bu Ria, dia guru fisika dan sudah biasa memberi tugas banyak.
“Masih, Bu,” jawab Pelita.
“Bagus, kamu bantu periksa ini dan masukan nilainya ke daftar di sini ya. Ibu harus ke kelas dulu, kalau udah kamu antarkan daftar nilainya ke kelas sebelas IPA tiga.”
“Baik, Bu.”
Guru-guru mulai menghilang satu persatu untuk mengajar di kelas masing-masing, hukuman untuk Pelita hanya sampai jam pertama selesai. Itu artinya tiga puluh menit lagi, itu waktu yang cukup untuk memeriksa jawaban ini dan memberikan hasilnya pada Bu Ria.
Pelita benar-benar senang karena tidak ada guru lain yang meminta pertolongannya, dia mendapat hukuman yang sangat enak bisa dikerjakan sambil duduk dan lagi, hari ini dia ada ulangang harian fisika jadi dia bisa sambil mengingat rumus-rumusnya lagi sambil memeriksa jawaban-jawabnnya.
Dua puluh menit dia habiskan untuk memeriksa semua jawaban itu dan merekap nilainya ke dalam daftar yang sudah Bu Ria berikan.
“Akhirnya selesai,” ucap Pelita membereskan buku-buku itu dan mengambil rekapan nilainya. Dia berjalan keluar ruang guru menuju kelas sebelas IPA tiga untuk memberikannya kepada Bu Ria.
Saat Pelita sampai di depan kelas itu, Pelita mengambil napas dan menghembuskannya. Jujur dia malu untuk masuk ke dalam kelas itu karena itu kelas sebelas, Pelita mengetuk pintu lalu membukanya.
“Permisi, Bu,” ucap Pelita, semua pasang mata melihat ke arah pintu di mana Pelita berdiri.
“Oh kamu, Ta. Sini masuk,” ucap Bu Ria, Pelita sedikit merutuki Bu Ria dalam hati, kenapa tidak Bu Ria ambil saja. Kenapa dia yang harus masuk ke dalam. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian.
Dengan Ragu Pelita masuk ke dalam kelas itu, dia sangat merasa tidak nyaman ketika merasa semua orang di dalam kelas itu menatapnya dengan tatapan berbeda-beda.
“Ini, Bu.” Pelita memberikan rekapan nilai itu.
“Oh iya, makasih, Ta. Kamu boleh kembali ke kelas,” ucap Bu Ria menerima rekapan nilai yang Pelita berikan.
“Baik, Bu, permisi.” Pelita berjalan menuju ke luar kelas, namun belum sempat dia membuka pintu seseorang membukanya dengan sangat keras dan membentur kepala Pelita. Sontak beberapa orang menutup mulutnya kaget dan Bu Ria berdiri.
“Pelita, kamu gapapa?” tanya Bu Ria.
Pelita memegang kepalanya yang terasa sakit, sejak pagi dia masih pusing dan sekarang ditambah terbentur pintu dengan keras. Pandangannya mulai mengabur dan setelahnya hanya terdengar teriak kaget beberapa orang di dalam sana.
Pelita tidak sadarkan diri.
---------
Hallo guys, apa kabar???
Makasih udah mampir💙
KAMU SEDANG MEMBACA
REDUP
Teen Fiction"Ragaku utuh, tetapi tidak dengan jiwaku yang telah runtuh." -Pelita Anatasya