[20] Berogak-Ogak

6 0 0
                                    

Ara memasang wajah sedih melihat kondisi Regina yang penuh luka. Regina yang ceria dan kuat, kini harus terbaring tak berdaya di atas ranjang.

Sesuai yang dia takutkan sebelumnya, akan ada sesuatu yang tidak enak ketika Regina pergi bersama Andi. Oleh karena itu, Ara merasa setengah hati melepas Regina pergi bersama Andi. Namun, Regina terlalu kekeh pada keputusannya untuk tahu alasan di balik perginya Andi dulu.

"Udah, Ra, enggak usah nangis kayak gitu. Aku enggak papa kok," ucap Regina kepada Ara dengan nada yang lemah.

"Enggak papa gimana? Itu tangan sama kaki, pada diperban semua. Untung mukanya enggak. Bisa-bisa jadi mumi kamu kalau mukanya juga diperban."

"Mumi cantik, 'kan?" Regina berusaha membercandai Ara agar gadis itu kembali tersenyum.

Ara langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ish, Regina. Lagi sakit, masih bisa aja berogak-ogak."

Regina terkekeh melihat Ara yang cukup banyak omong. Meski suara Ara cukup memekakkan telinganya, tetapi dia senang karena mendapat perhatian dari Ara. Setidaknya kasih sayang yang Ara berikan sebagai seorang sahabat, dapat membuat sakit yang Regina derita menjadi berkurang.

"Kamu kok diam aja, sih, Gin? Bukannya balasin ucapan aku," kata Ara. "Apa ada yang sakit?"

"Sakit mah dari tadi kali, Ra. Kalo enggak sakit, aku bisa lari-lari tanpa perlu diperban. Lagian, kamu lucu amat sih. Enggak dijawab dikit, langsung ngomel. Emangnya ngomong enggak butuh tenaga apa?"

Ara langsung menyengir, diikuti dengan gerak menggaruk kepalanya. Kalau dipikir-pikir, benar juga. Dia terlalu banyak bicara dan cukup mengganggu waktu istirahat Regina.

"Oh, iya, kok aku enggak lihat Andi?"

Raut wajah Ara seketika berubah kesal ketika nama laki-laki itu disebutkan. Dari awal kedatangan Andi, Ara sudah tidak suka. Laki-laki tidak bertanggungjawab dan memiliki mental bak pecundang. Dengan manisnya dia mengenalkan sahabatnya pada cinta yang luar biasa, tetapi dalam sekejap dijatuhkan begitu saja.

"Aku yang minta dia tunggu di luar, pokoknya dia enggak boleh dekat-dekat kamu. Keberadaan dia di hidup kamu cuma bikin kamu sial aja, Gin," kata Ara menunjukkan kekesalannya kepada Andi.

Regina menghela napas. Dia paham mengapa Ara sangat membenci Andi karena apa yang Andi lakukan kepadanya sungguh tidak dapat diterima secara nalar. Regina pun tidak ingin terlibat komunikasi lebih jauh dengan Andi, mengingat luka yang telah ditorehkan oleh laki-laki itu. Akan tetapi, dia harus berterima kasih atas bantuan Andi yang telah membawanya ke rumah sakit.

"Bisa panggilkan Andi, Ra?" pinta Regina kepada Ara.

"Tapi, Gin-"

"Sebentar saja kok, aku mohon."

Ara menyerah. Dia langsung keluar dan memanggil Andi.

Regina menyunggingkan senyuman melihat kedatangan Andi, seolah mengungkapkan bahwa dia baik-baik saja. Sementara itu, Andi merasa bersalah melihat kondisi Regina. Sebelumnya gadis itu sangat sehat dan lincah. Lalu karena ajakannya, Regina menjadi tidak berdaya.

"Terima kasih kamu sudah membawaku ke sini, Andi," ucap Regina kepada Andi. "Apa pun yang terjadi di belakang, sudah aku maafkan dan berusaha untuk lupakan. Aku juga merasa lega karena sudah tahu alasanmu meninggalkanku. Ternyata bukan karena kamu berpaling dan jenuh dengan hubungan kita, tetapi karena cinta yang begitu besar kepadaku. Namun, apa yang terjadi di belakang, tidak boleh kita ulik lagi. Dan tugasmu di sini sudah selesai. Kamu sudah dapat kembali ke tempatmu yang sebenarnya."

Perkataan Regina begitu lembut, tetapi sangat menusuk. Perkataan itu mampu membuat Andi sadar pada posisinya kini yang bukan siapa-siapa di mata Regina. Andi hanya dapat melemparkan senyuman, menggambarkan bahwa dia paham apa yang dikatakan oleh Regina. Andi pun berpamitan dan pergi dari kamar inap Regina.

Melihat ketegasan Regina, Ara merasa sangat puas. Kekhawatirannya akan Regina yang mudah luluh pada ucapan dan perilaku Andi, ternyata tidak terbukti. Regina benar-benar membuatnya bangga.

"Andi memang bagian dari masa laluku yang indah dan selamanya dia memiliki ruang yang istimewa di hatiku. Namun, ketika dia memutuskan untuk meninggalkanku, ketika itulah dia kehilanganku. Karena bagiku, tidak ada kesempatan kedua."

Regina tersenyum setelah mengatakan hal itu. Meskipun cintanya kepada Andi cukup besar, tetapi dia merasa lega karena sudah mampu membuang bayang masa lalu yang menjadi sumber kesedihannya.

*****

Siapa yang setuju sama Regina?

Masa lalu biarpun menyenangkan, tetapi tidak menjamin akan menghadirkan tawa yang sama. Jadi, jangan melepaskan kebahagiaan yang baru hanya karena terlena pada kisah indah di masa lalu 🥰

-Semarang, 20 Desember 2021-

Feeling BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang