"Tuan Gavin, saya ingin mengundurkan diri."
"Oh, oke."
"Pasti reaksinya seperti itu kan? Toh, pertemuanku dengan Gavin juga tidak sengaja."
Wanita tersebut mondar-mandir dengan tidak jelas. Pikirannya sedang kacau memikirkan apa yang harus ia katakan pada Gavin untuk bisa keluar dari sini.
Agatha dibuat kalut setelah satu pesan masuk melalui ponsel barunya yang berisikan pesan dari ibunya yang mengatakan bahwa Hyacinth -kakeknya- sedang sakit.
"Apa aku harus jujur saja bahwa aku sebenarnya cucu kakek gila itu?" Ia semakin bingung.
Kakinya tidak berhenti berjalan. Pikirannya tidak berhenti berputar. Kaca kamar mandi pun dibuat pusing oleh kelakuan manusia di depannya.
"Tapi aku kan tunangan Gavin. Sial! Otak please pikirkan jalan keluar."
Setelah memikirkan dengan matang, Agatha keluar dari kamar mandi dengan harap-harap cemas.
Tok tok tok
"Tuan,"
Agatha berjalan menuju Gavin yang sedang membaca berkas sambil melamun?
Tentu saja, pasti Gavin merasa terkejut dengan kedatangan wanita tadi.
"Tuan, saya mau izin untuk pulang."
Gavin mulai sadar dan mendongakkan kepalanya.
"Kau sakit?" Tanyanya tanpa tenaga.
"Ah, sedikit." Gatha menjawab dengan gugup.
"Kau boleh pergi."
Akhirnya kata-kata yang sudah dirangkai oleh Gatha selama satu jam sia-sia. Yang bisa ia ucapkan hanya izin bukan pergi.
"Terimakasih."
Ia dengan cepat keluar dari ruangan Gavin dan berlari keluar dari perusahaan tersebut.
Ternyata ibunya telah mengirim sebuah mobil beserta sopir di dalamnya.
"Cepat pak."
Sopir tersebut segera menancapkan gasnya dengan kencang.
Di rumah sakit, Agatha melihat Winter yang sedang menyuapi Hyacinth. Perasaan Gatha membuncah saat melihat kedua orang tua itu akur seperti saat ini.
"Gatha disini." Ucapnya melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.
"Siapa dia?" Tanya Hyacinth dengan wajah penasaran.
"Entahlah, apa dia perawat?" Tanya Winter memandang aneh dirinya dan terkekeh.
Mulut Agatha bergetar, dan dalam hitungan detik ia menangis sejadi-jadinya.
"Mommy!!" Teriak Gatha kencang.
"Gatha." Winter berdiri menyambut pelukan anaknya.
Hyacinth tersenyum melihat ibu dan anak yang sudah lama tidak bertemu itu berpelukan dengan erat.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Winter tak melepaskan pelukannya.
Gatha mengangguk tanpa bisa bersuara, isak tangis memenuhi ruangan.
"Sudah-sudah, ngapain kau kesini?" Tanya Hyacinth pada cucunya.
Agatha bersedekap dada sambil memandang Hyacinth remeh.
"Melihat kakek tua yang terbaring lemah. Kakek gila." Ucapnya membuat Hyacinth tertawa.
Ternyata cucunya masih waras.
"Tau, nyusahin aja. Mommy yang harus kesana kemari mengurus semuanya." Winter mengakhiri kata-katanya dengan berdecak kesal.
Agatha dan ibunya, harus berpisah karena kakeknya. Ambisi dan obsesi Hyacinth pada Winter yang tidak ada habisnya bahkan sampai sekarang.
Winter yang masih muda harus berurusan dengan bisnis yang rumit. Pernikahan bisnis, salah satunya. Saat itu Winter menyukai seorang pria biasa, tentu saja Hyacinth tidak menyetujuinya.
"Kau belum berniat kembali, hm?" Hyacinth bertanya dengan raut wajah serius.
"Kakek! Kakek mata-matain aku ya?" Tanya Gatha kembali dengan curiga.
"Why not? Selama aku masih bisa." Jawabnya enteng.
Pantas saja, apapun yang dilakukan Gatha kakeknya selalu tahu dengan mengiriminya pesan.
"Bagaimana keadaan Mutia?" Tanya Winter cemas.
"Kakek juga yang bilang ke mommy kalau Mutia hilang?"
Hyacinth hanya mengangkat bahunya acuh.
"Aku tidak tau mom, kami berpisah begitu saja. Yang aku tau dia sedang bersama seorang pria yang menakutkan." Agatha bergidik mengingat pesta beberapa minggu lalu.
"Kau ini bagaimana sih? Sudah tau pria itu menakutkan kok Mutia tidak kau ajak pergi?" Hyacinth memandang Gatha dengan tajam.
Agatha menghembuskan napasnya berat. Ia benar-benar menyesal meninggalkan Mutia sendirian disana.
"Jangan salahkan Gatha. Kita bisa mencarinya sama-sama." Winter mengelus pundak Gatha dengan sayang.
"Gatha! Sudah waktunya kau pulang ke rumah. Sudah lima tahun ibumu tidak bertemu dengan anaknya. Kau bukannya pulang malah jadi tunangan Gavin." Hyacinth kembali mengomeli cucunya yang sedang memajukan mulutnya beberapa senti.
Agatha merasa dirinya juga bersalah. Memasuki pesawat yang salah dan membawanya ke tempat kelahirannya sendiri. Seharusnya ia tetap di kos bersama Mutia. Seharusnya ia tidak pergi berlibur.
"Katanya kau sudah hidup tenang bersama keluarga Mutia dan sudah mendapat pekerjaan? Anak mommy mandiri sekali."
Winter tersenyum layaknya malaikat yang turun dari surga. Jantung Gatha berdegup kencang. Sudah berapa lama ia tidak melihat senyum ibunya? Lima tahun? Atau mungkin lebih lama?
"Yes, i'm very happy. Aku dan Mutia dibiarkan untuk bekerja dan ngekos di dekat hotel."
"Ngekos katamu?! Cucu Hyacinth ngekos?! Winter!! Sudah kubilang jangan titipkan anakmu pada mantan pembantu seperti mereka!! Lihat, cucuku dibuat menderita begini." Teriak Hyacinth tidak terima.
"Aduh!"
Gatha memukul kepala Hyacinth dengan tangannya.
"Kubilang AKU BAHAGIA. Apa kau tuli kakek?!"
Winter tertawa, begini lebih baik. Hidup tanpa mencari kekasihnya yang entah pergi kemana. Kekasih yang dicintainya. Kekasih yang memberinya hadiah terindah. Pria itu menghilang, dan sepertinya menyerah untuk mendapat kepercayaan Ayahnya.
"Yayaya. Sekarang tugasmu keluar dari perusahaan Gavin sekarang juga! Kau adalah cucuku satu-satunya! Banyak pekerjaan menantimu." Agatha berdecih kesal.
"Lebih baik aku tidak pernah menginjakkan kaki disini lagi. Enak an di Indo, soalnya tidak ada kakek yang suka teriak-teriak." Perkataan Gatha membuat Hyacinth melotot marah.
Winter memegang tangan mereka berdua.
"Kupikir ayah sudah sehat melihat ayah bisa mengomel pada anakku yang berharga. Dan Gatha, lakukan yang kau mau. Ibumu masih sehat masih bisa mengurus perusahaan bersama kakekmu." Winter tersenyum menenangkan.
Agatha memeluk Winter lagi dengan sayang.
"Maukah anakku tidak pergi dari sini sehari saja? Hm?" Tanya Winter berharap.
"Tentu saja, mom." Jawabnya senang.
BERSAMBUNG...
Vote dan komen ❣️
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Devil [REVISI]
Lãng mạnDONT COPY MY STORIES!! REVISI [Mode Private] Liburan ke Russia yang dirasa akan menyenangkan, namun yang terjadi malah sebaliknya. Kehilangan sahabat yang dibawa orang asing sampai menjadi gembel di negeri asing, semua sudah dirasakannya. A...