09 II LATER

14 0 0
                                    

-

Nara bersiap-siap untuk menuju ke rumah Airin, kebetulan mereka satu kelompok karena setelah semangatnya berjuang request kelompok kepada Bu Maya aka Guru Biologi.

Tak heran, jika Nara dan Airin sahabat yang tidak akan bisa terpisahkan dan selalu solid.

Nara beranjak turun dengan pelan dari anak tangga, sekarang kakinya tidak separah kemarin. Kakinya juga telah membaik. 

Nara menatap kedua orang didepannya sekilas, lalu membuang pandangannya. Dua orang itu adalah Adel dan Mama tirinya, Amanda.

Nara melengos pergi melewati mereka yang sedang bercanda ria sambil menonton layar TV besar didepan. Jalannya sempat terhenti karena ada satu orang yang memanggilnya,

"Sayang, kamu mau kemana?" tanya Wanita paruh baya itu lembut lalu menghampiri Nara.

Nara terdiam sejenak, "Bukan urusan lo." jawab Nara ketus. 

"Naraa... bilang sama Mama, kamu mau kemana malem-malem gini? udah malem sekarang, Mama takut nanti kamu kenapa-kenapa..." nada suara itu tampak sangat khawatir dan cemas.

Nara mendecak, lalu menatap tajam Amanda "Terserah gue lah, mau gue diculik kek, kalian semua juga gak bakal peduli sama gue." 

Amanda cukup teriris mendengar perkataan anak tirinya satu itu, "Sayang..."

Adel yang sedari tadi hanya diam dan menyimak, segera menghampiri Nara dan Amanda , Adel yang tahu keadaan sekarang bagaimana segera menetralkan suasana dengan baik-baik. 

"Kamu mau kemana Nar? udah malem-malem gini mau keluar" tanya Adel.

"Sok peduli banget kalian. Lebay."

"Tadi mama udah bilang, ini udah malem... harusnya dengerin mama dulu, Nar.." ucap Adel khawatir. 

"Gue bisa pulang! Gue bukan anak kecil yang apa-apa selalu gak dibolehin keluar!" bentak Nara keras.

Nara bergegas untuk pergi namun kakinya beku ditempat, disana ada Papa nya yang sedari tadi berdiri dan mengamati keributan yang baru saja terjadi di teras rumah megah itu. 

Nara meringis pelan, tubuhnya kaku mendadak, sepertinya sekarang Ia harus pasrah. Keinginan papanya itu tetep Kekeuh dan lebih keras kepala dibanding Ia sendiri. 

"Mau kemana? Udah jam 11 gini." tanya Raffan dingin.

"Terserah."

Raffan menarik nafasnya pelan dan memijat pelipisnya kuat, berusaha menahan emosi nya. 

"Sekali lagi, Kamu mau kemana?"

"APASIH PA! NGGA USAH PURA-PURA PEDULI SAMA AKU! AKU BISA URUS DIRI SENDIRI!"

"KAMU DIBILANGIN, NGELAWAN TERUS!!! COBA DENGERIN PAPA SEKALI NARA!!"

"PAPA AJA NGGA PERNAH DENGERIN AKU SEKALIPUN!!! PAPA NGGA PERNAH DENGERIN APA YANG AKU MINTA!!! PAPA NGGA PERNAH SEKALIPUN NURUTIN KEMAUAN AKU!!! AKU MINTA INI ITU NGGA BISA DIPENUHI, NARA NGGA BAKALAN BISA NGAREP SAMA PAPA!!! PERCUMA!!!!"

Raffan menatap tajam kedua mata didepannya, tangannya terlihat berurat disela tas kerjanya.

Amanda ingin melerai keduanya karena sudah malam dan tidak ingin mengganggu tetangga. Namun, Adel menahan Amanda yang ingin memperkeruh suasana, Adel menggelengkan kepalanya pelan sembari menatap Mama tirinya khawatir.

"MAKA DARI ITU KAMU HARUS BIKIN PAPA BANGGA!!!! KAMU SEKALIPUN NGGA BISA NURUTIN APA YANG PAPA MAU!! KAMU UDAH BIKIN PAPA SERING KECEWA SAMA TINGKAH LAKU KAMU!!!"

"APA YANG HARUS PAPA BANGGAIN DARI AKU?! SEKALIPUN AKU JUARA 1 PAPA TETEP AJA BANGGA BANGGAIN ADEL, SEBERAPA HEBATNYA AKU DIMATA PAPA, GAPERNAH BAKAL DIAKUIN KALO AKU ITU HEBAT!!!"

Nara melempar tas di bahu nya didepan Raffan, Nara menatap Raffan tajam dan ber-arti.

"PERGI KAMU. PAPA NGGAK MAU LIAT MUKA KAMU LAGI!!!" usir Raffan nyalang.

Nara tersenyum sinis, 

"AKU BENCI SAMA PAPA!!! SEUMUR HIDUP AKU MAUPUN SELAMA HIDUP AKU, AKU TETEP BENCI KALIAN SEMUA!!!" teriak Nara sangat kencang lalu pergi meninggalkan rumah besar itu dengan hati yang sangat amat terluka. 

saat ini, hatinya selalu pedih sebab waktu terus menuntutnya berusaha untuk selalu membuatnya membenci papa nya itu.

"NARA!!!!!!"

Amanda mengejar Nara sembari berteriak kencang, sekarang Ia tidak peduli dengan ocehan tetangga nya, Amanda menangis menatap kepergian Nara yang kian menghilang. Tak kuasa menahan tangis anak nya yang telah diusir oleh suami nya sendiri.

---------

Darahnya berdesir hebat, jantungnya berpacu cepat, wajahnya penuh dengan kemarahan yang sangat mendalam, tak terkira saat ini emosional nya tak bisa terkendalikan.

Nara menatap langit malam yang selalu dipenuhi oleh bintang. Kedua matanya menghitung satu-persatu bintang diatas sana yang sedang kerlap-kerlip. Air bening itu membasahi kedua pipinya, tangannya menggenggam kuat di sela pembatas jembatan meskipun tangannya bergetar melawan dinginnya gelap malam, ujung jarinya memerah.

Matanya sembab, hatinya sungguh perih, mengapa kenyataan terlampau sangat sakit?

"Mah.... Nara capek,"

"Kenapa disaat Mamah pergi, semuanya berubah?"

Air matanya berderai hebat, saking sakitnya hati Nara rasanya Ia ingin mengakhiri semua hal yang selalu menjadi beban di pundaknya. Tangan Nara sedari tadi terus saja menghantam pagar pembatas itu sehingga di tangan nya terdapat lebam dan luka. 

Namun luka di tangannya itu tidak bisa digantikan dengan luka apa yang dialaminya seumur hidupnya.

"AAAARRGHHHHH"

"NARA CAPEK MAH!!! KENAPA MAMAH TETEP NGGAK NGOMONG SAMA NARA? KENAPA MAMAH NGGAK DATENG BUAT NARA? NARA CAPEK MAH!!!"

Nara melepaskan semua emosi nya, tangis dan teriak nya sangat kencang dan berdengung di sepanjang jalan yang sepi itu. 

Nara dengan perasaan yang sedang berkecamuk di pinggir jembatan itu sudah tidak bisa mengendalikan amarahnya, 

"Tuhan... kenapa sih... apa alasan aku dikasih ujian begini? aku capek banget.. aku gak sanggup terus berjalan sendirian begini... aku pengen nyusulin mama, tapi ngga bisa,"















LATERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang