12

2K 223 3
                                    

Renjun yang baru saja ingin mengistirahatkan tubuhnya, menghentikan rencana itu saat mendengar ketukan pintu dari kamarnya, ini kamar atas rumah bukan kamar yang digunakan olehnya dan Jeno. Dia hanya ingin tenang malam ini, tapi sepertinya harapan itu tidak akan terwujud. Dengan langkah pelan Renjun mendekati pintu,"Ada apa Jeno?"

Suara ketukan pintu itu terhenti saat suara Renjun mengalun pelan.

"Renjuna.. sudah kubilang ayo bicara.. m-maafkan aku hiks... K-kau salah paham."

Renjun mengreyit bingung saat mendengar isakan dari suara berat Suaminya. "Besok, ini sudah malam. Biarkan aku sendiri Lee Jeno."

"Tidak, aku ingin tidur bersamamu... Aku tidak bisa tidur kalau tidak memelukmu sayang.."

Renjun menghela nafas, dia berfikir kenapa nada yang Jeno gunakan tidak seperti biasanya. Decitan pintu terbuka akhirnya membuat Jeno tersenyum senang, dia menatap Renjun yang terlihat menggemaskan dengan piyamanya. Langsung saja tubuhnya menubruk tubuh yang lebih kecil dalam pelukan hangat, namun tidak menurut Renjun. Dia mendorong Jeno kasar.

"Kau bau alkohol! Kau mabuk!?"

Jeno mengerjapkan matanya bingung, dia terlihat seperti merasakan pusing.

"Tidakk,, aku hanya minum air biasa tadi.. ayolah injunie.. aku ingin memelukmu...."Ucap Jeno dengan merentangkan tangannya kearah Renjun. Tentu saja Renjun menolaknya dengan berjalan mundur.

"Jeno kau bau alkohol! Dan aku tidak suka!"

Jeno mengerang dengan gejala mabuknya,"Kau pikir aku mabuk!? Aku tidak mabuk! Aku hanya ingin tidur dengan memelukmu apa itu salah!?"

"Salah! Kenapa tidak meminta kehangatan ke-Sora saja?"

Tawa Jeno membuat Renjun bingung, dia tau Jeno tidak sadar. Dan ini pertama kalinya Jeno pulang dengan keadaan mabuk,

"Renjuna... Kau tau.. aku hanya mencintaimu sungguhhh."

Renjun hanya diam saat Jeno menubrukkan tubuhnya kedalam pelukan Renjun."Hiks... Aku juga lelah... Aku hanya ingin tidur denganmu.. tapi kau menolak... Aku terluka."

"Kau harus kembali kekamarmu Jeno."

Jeno menggeleng dipelukannya,
"Kamarmu adalah kamarku juga."

Renjun tidak bisa berbuat apapun saat Jeno mendominasi seluruh keadaan diruangan yang hanya beberapa meter.
Dengan keadaan mabuk, Jeno membawanya kedalam kemabukan yang berbeda.


.
.
.
.

Sakit, Renjun merasakan seluruh tubuhnya nyeri. Dengan memejamkan matanya pelan Renjun mencoba menghilangkan rasa sakit itu, namun yang keluar hanya rintihan saat dia mencoba menggerakkan tubuhnya.

Suara burung berterbangan diatas langin dengan riang, menyapa pertama kali ditelinga Renjun, dia menghentikan pergerakannya saat melihat wajah yang seakan tak berdosan Jeno terpampang.
Renjun baru sadar keduanya masih telanjang bulat, helaan nafas mengahiri acara berfikir Renjun. Dengan pelan tangannya mengguncang Jeno yang masih terlelap dijam dengan angka yang menunjuk angka 7.

"Jeno... Kau harus bekerja."

Lenguhan Jeno terdengar, tanda dirinya terganggu dan tersadar dari tidur lelap
Pagi ini. Tangan yang hendak memeluk dirinya, Renjun hentikan dengan tangannya sendiri.

"Maaf."

Renjun menggerlingkan matanya jengah,"aku tidak memintamu minta maaf, pergilah bekerja."

"Sepertinya hari ini aku tidak akan bekerja,"

Anggukan kecil Renjun tunjukan dengan menyikap selimut dan mulai berdiri membuat Jeno menatapnya aneh. Saat Jeno hendak menyentuh tubuh kecil Renjun, sang empu menepisnya kasar.

"Jangan menyentuh ku Lee Jeno."

"K-kenapa? Aku hanya ingin membantu sayang. Aku benar-benar minta maaf."

Renjun berdecak kesal, dia menggerakkan badannya berdiri. Menahan sakit, dia meraih bathrobe dan berjalan kearah kamar mandi. Meninggalkan Jeno yang menatap pintu itu nanar, dia mengusap wajahnya kasar. Kepalanya pusing bukan main, namun rasa bersalah lebih mendominasi,

"Aku juga lelah.."

Semuanya sudah jelas, Renjun hanya menunggu waktu.. kalian tau kan apa waktu yang Renjun tunggu? Waktu dimana  ini semua berakhir, entah apa yang berakhir itu. Rasa lelah? Drama memuakan ini? Atau hidupnya yang berakhir? Renjun menggelengkan kepalanya kuat dengan pemikirannya sendiri, dia membuka pintu kamar mandi menghasilkan suara decitan benda itu. Hal pertama yang ia lihat adalah Jeno dengan wajah yang lebih segar dengan baju khas rumahannya.

"Hari ini.. mau berjalan jalan?"

Renjun yang tengah memilih baju baju yang hendak iya pakai berhenti sejenak mendengar suara itu, "Aku tidak ingin."

"Bukannya kau selalu ingin?"

"Sekarang tidak."

Jeno menyugar Surai hitamnya yang basah, dia dalam hati menyemangati dirinya agar tidak lelah meluluhkan kembali hati istrinya.

"Jelaskan," Gerakan tangan Renjun terhenti saat mendengar kata yang keluar dari mulut Jeno.

"Jelaskan apa?"Gumamnya dengan masih menyiapkan vitaminnya.

Jeno menghela nafas. Dia meraih tangan Renjun untuk digenggam."Diam, aku hanya ingin bertanya."Cicitnya dengan menahan tangan Renjun yang hendak memberontak tak ingin disentuh.

"Siapa?"Alis Renjun terangkat bingung membuat Jeno berdecak."Kemarin yang bertemu denganmu, yang kau bilang teman. Sejak kapan kau mempunyai teman seperti itu?"

Mulut Renjun berkelu, dia merasa direndahkan."Kau pikir karena aku tidak normal, aku tidak punya sama sekali teman?"

Mata Jeno bergerak panik,"Tidak! Bukan begitu, hanya kau tidak pernah cerita."

Renjun melepas genggaman Jeno yang mulai melemah,"Dia temanku, dia juga dulu bertetangga dengan kita. Dia anak dari Tuan Wong."

Jeno mengerutkan dahinya bingung,
"Tapi, aku tidak pernah bertemu? Apa aku lupa?"

"Sudahlah, jangan membahas hal tidak penting."Jeno paham Renjun tidak ingin membahas hal yang menurutnya tidak penting, tapi menurutnya itu penting.
Kemarin mereka terlihat sangat dekat dengan Renjun yang sampai tertawa.

Jeno tidak suka.

"Apa aku harus bertanya dulu baru kau jelaskan Jeno?"Lamunan Jeno buyar saat Renjun menyuarakan pendapatnya.

"Huh?"Hanya dengungan, hingga Jeno tersadar kearah mana Renjun berucap.

"Sora dan aku... Sungguh, hanya makan siang bersama. Dia memaksaku."

Renjun menganggukan kepalanya dan tertawa kecil,"Tapi kau juga menikmati
Hal itu kan Lee."

"Ren.."

"Iya iya, maaf hanya bercanda. Aku percaya."

Meskipun tidak yakin, Jeno menghela nafas lega saat Renjun percaya padanya. Hingga suara bel memecahkan atensi mereka.

"Siapa yang pagi pagi begini bertamu,"Keluh Jeno.

Renjun yang sudah selesai dengan acara berpakaiannya hanya memajukan bibir bawahnya juga heran sama dengan Jeno. Dia tanpa pikir panjang langsung menuju ruang tengah dengan diikuti Jeno yang memasang wajah murung, kesal dan sedikit datar.

Tanpa berfikir apapun Renjun langsung membuka pintu itu, hingga dibalik pintu itu terlihat membuat Renjun berfikir sebenarnya hidupnya itu apa?Renjun merasa banyak sekali kejutan disetiap langkahnya.

Dia menatap orang yang berada dibalik pintu besar itu, mata itu.. mata yang selalu menatapnya tajam, benci dan seolah dirinya sangat menjijikan.

"N-nenek.. apa yang kau lakukan disini?"Jeno gelagapan saat melihat wajah tua itu, sementara Renjun hanya terdiam saat sang Nenek menatapnya tajam dan tersirat banyak sekali kebencian.

"Ada banyak sekali hal yang ingin aku bicarakan,"

Our Story [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang