Tiga

24 10 3
                                    

Kepada Cinta, Apa yang Kamu Harapkan dari Orang Sepertiku?

“Tolong berhentilah mengejarku, sebab aku bahkan tidak pernah berlari di depanmu. Kamu yang berlari terlalu cepat, kamu yang bersinar terlalu terang, kamu yang terlalu jauh dari jangkauanku.


----------

Samudra berdecih, lagi-lagi dia membuat masalah dengan Kirara. Mengingat bagaimana cara Kirara menatapnya tadi, entah mengapa membuat Samudra tidak nyaman.

Apa seharusnya Samudra minta maaf?

Samudra berdecih lagi ketika memikirkan itu. Tapikan itu bukan salahnya, itu salah Kirara yang keras kepala mengejarnya.

Samudra mengertakkan rahangnya, dia mempercepat langkahnya, pergi ke perpustakaan. Dia pusing, kepalanya berdenyut dengan menyakitkan, dia akan melewatkan pelajaran terakhir dan tidur di perpustakaan.

Samudra memberi salam pada pejaga perpustakaan, sebelum kemudian mengisi daftar pengunjung, setelah selesai dengan itu Samudra pergi ke rak buku. Samudra menggapai buku terdekat yang dilihat matanya, lalu setelah itu dia pergi ke sudut, ke meja yang berada di pojok ruangan dekat jendela. Sudut yang paling jauh dari pintu perpustakaan. Tempat itu menjadi tempat favoritnya akhir-akhir ini. Karena itu adalah tempat paling sepi, paling nyaman dan orang-orang tidak akan menyadari jika dia tidur di sana.

Dari sana Samudra dapat melihat ke luar lewat jendela yang menghadap langsung ke lapangan.

Samudra menoleh ke arah jendela, melihat ke langit yang entah sejak kapan berwarna gelap. Akhir-akhir ini hujan sering turun, mungkin memang karena waktunya sudah memasuki musim penghujan.

Ah, Samudra tidak ingin mengingatnya, tidak lagi. Semua kenangan menyakitkan itu, Samudra ingin menghapus semua kenangan itu dari kepalanya. Tapi hujan selalu saja membawa kenangan itu kembali padanya.

Itu adalah kejadian tujuh tahun yang lalu saat usianya sepuluh, hari itu adalah hari berhujan di awal Februari. Awan posesif mendekap langit dengan aura suram yang dingin.

Itu adalah pagi setelah lonceng gereja berdentang dengan keras. Hujan turun rintik-rintik, hampir tidak berbunyi. Beberapa tetesnya mengumpul di atas dedaunan, lalu jatuh lewat pucuk-pucuk dedaunan seperti embun.

Samudra, selalu membenci hujan. Dia benci aroma tanah basah, dia benci udara berembun yang bertiup dingin, dia benci suara hujan yang berdansa dengan hembusan angin. Karena semua tentang hujan, selalu mengingatkannya pada kesepian, tentang lubang di hatinya yang selalu terasa hampa.

Lima Februari adalah kemarin, hari peringatan kematian Mama tercintanya, Mama Anna. Sosok yang selalu menjadi napasnya. Ketika Mama pergi dipanggil Tuhan, Samudra tahu dia kehilangan hidupnya. Padahal itu adalah kejadian dua tahun yang lalu, tapi luka di hatinya masih basah, berdarah, teriris-iris dengan cara yang buruk.

Setiap kali perasaan itu datang, Samudra selalu kesulian menarik napasnya. Tapi dia tidak menangis, entah sejak kapan, Samudra tidak bisa lagi menangis.

Ketika Mama pergi, Papa berubah menjadi bajingan besar, lalu perlahan-lahan hidup Samudra yang baik-baik saja berubah menjadi neraka.

Samudra tidak tahu dosa apa yang telah dia lakukan di masalalu sampai Tuhan mengambil Mama darinya. Kenapa Tuhan mengambil semua milik Samudra yang berharga? Ketika Samudra kecil terus-terusan memikirkannya, dia berakhir di sini. Duduk di bangku ayunan taman bermain di ujung perumahan, tempat di mana dulu dia sering menghabiskan waktu bersama Mama.

My Hero(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang