Part 19 : Dari Jeongyeon 💔

116 28 29
                                    

gak kerasa banget besok dah 2022:)
semoga di tahun 2022 akan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya yaa🥰

Jangan lupa vote and comment guys💓
_________________________________________

Sore ini, aku pulang dari sekolah sendirian. Nayeon bilang, ia ingin pergi berenang bersama teman-teman kelasnya, termasuk dirimu.

Aku membuka pintu kamarku dan segera menidurkan badanku yang lelah di kasur empuk kesayanganku. Ini sungguh terasa nyaman. Namun, di balik rasa nyaman itu, ada rasa khawatir yang entah dari mana datangnya.

"Jeong," Aku terkejut ketika Ibuku tiba-tiba memanggilku yang sedang melamun.

"Iya Bu?" jawabku lemas.

"Ada yang datang," ucapnya, lalu aku bergegas dari zona nyamanku.

Aku melihat wanita tua yang berumur sekitar 65 tahun sedang duduk di sofa ruang tamu. Dia adalah ibu dari ayahku atau lebih tepatnya, nenekku.

"Nenek!!!" Aku memanggilnya sambil bersemangat lalu berlari ke arahnya. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan nenekku. Sekitar sepuluh tahun, mungkin?

"Cucuku," ucapnya sambil berpelukan denganku. Aku benar-benar merindukannya.

"Kau sudah besar, sayang." ucap nenekku lagi sambil mengelus-elus puncak kepalaku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

°•°•°

"Makan dulu, Bu." ajak ibuku ketika aku dan nenek yang sedang asyik berbincang lama di ruang tamu.

Aku dan nenek pun berjalan menuju ruang makan dan mulai makan malam bersama ibuku.

"Anak buangan itu masih tinggal disini?" ujar nenekku sembari mengambil gelas yang bertuliskan 'Nayeon♡' di meja makan.

"Anak buangan siapa maksud nenek?" tanyaku sembari menghentikan kegiatan makanku.

"Gadis yang mungkin kau anggap saudarimu selama ini," jawab nenek sambil memalingkan wajahnya dariku.

"Kenapa nenek menyebutnya anak buangan?!" Nada bicaraku sedikit meninggi. Jelas, aku akan emosi jika Nayeon disebut dengan panggilan tidak pantas seperti itu.

"Bu, kita sudah berjanji untuk tidak membahas hal ini," potong Ibuku. Wajahnya terlihat sangat khawatir.

"Asal kau tahu, Nak. Ibumu memungut Nayeon dari panti asuhan. Aku tidak tahu dia anak siapa, karena itulah aku melarang ibumu untuk mengapdosinya. Namun, Ibumu yang keras kepala ini tetap bersikeras ingin merawat anak buangan ini." Nenek menatap Ibu dengan tajam, seakan semua ini adalah salah wanita yang melahirkanku itu.

"Cukup, Nek. Apa kau tahu kebenarannya?" Nada bicaraku semakin meninggi.

"Jeongyeon," Ibuku memegang pergelangan tangan kiriku, bermaksud untuk menahanku untuk tidak mengatakan apa-apa.

"Ini sudah waktunya Nenek untuk tahu semuanya," jawabku.

"Dengarkan aku baik-baik, Nek. Kau seharusnya berterimakasih pada Tuhan karena memiliki menantu yang sangat baik seperti Ibuku. Apa kau pernah menemukan seorang wanita yang rela merawat anak dari suaminya yang berselingkuh?"

"Apa m-maksudmu?"

"Kau pasti ingat, wanita yang meninggal bersama ayahku saat kecelakaan mobil 17 tahun lalu. Wanita yang kau ketahui sebagai sekretarisnya, ternyata bukan. Jadi kau tahu apa kesimpulannya kan?"

Nenek terlihat sangat terkejut dengan apa yang aku sampaikan. Jujur, aku sudah tidak bisa menahan rahasia ini lagi. Aku tidak bisa membiarkan nenek menyalahkan Ibuku ataupun Nayeon.

Setelah beberapa saat, aku mendengar pintu ruang tamu yang terbanting cukup kencang. Aku berpikir kalau Nayeon mendengar semuanya.

"Aku rasa dia mendengarnya," kataku lalu berlari mengejarnya. Namun, aku benar-benar kehilangan jejak.

Aku mencarinya di sekeliling komplek rumah, barangkali dia masih berjalan di sekitar sana, tapi nihil.

Aku berpikir keras sampai akhirnya berniat untuk ke rumahmu. Berharap kalau Nayeon ada disana.

Sskitar tiga menit berjalan kaki dengan rasa khawatir, tiba juga aku di dekat rumahmu. Tapi yang kulihat sungguh menyakitkan, Jim. Aku melihat Nayeon memelukmu erat, begitu juga denganmu. Kau membalas pelukan itu.

Jujur saja, walaupun sebelumnya aku mengatakan kalau aku merelakanmu, aku rasa itu kata-kata paling munafik yang kulontarkan. Aku masih mencintaimu, Jim.

Kau melihatku yang sedang mematung malam itu. Tapi sesegera mungkin aku berlari menjauh. Tidak ingin melihat hal itu lagi. Apa aku harus benar-benar merelakanmu, Jim?

Tak terasa, air mataku jatuh dari tempat asalnya. Ini menyakitkan, Jim. Sangat menyakitkan.

Aku terus berjalan menjauh, entah kemana. Sampai akhirnya aku tak sengaja menabrak seorang lelaki. Taehyung.

"Jeong? Kau... tinggal di daerah sini?" ujar Taehyung kepadaku sambil membawa paperbag yang mungkin isinya adalah barang belanjaannya.

Aku hanya mengangguk.

"Tunggu, kau menangis?" Tanyanya lagi. Aku cepat-cepat menghapus air mataku sambil menggelengkan kepala.

"Mau cerita kepadaku?" Akhirnya aku dan Taehyung berhenti di suatu minimarket. Aku duduk bersamanya di depan tempat penuh makanan itu.

"Aku tidak apa-apa, Tae." Ujarku setelah menyeruput kopi yang ia traktir.

"Aku tahu pasti ada sesuatu yang terjadi, tapi jika kau tidak ingin bercerita tidak apa-apa," Taehyung tersenyum padaku, mungkin berusaha menghiburku. Kau jangan coba-coba merajuk karena ini, Jim.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau ada disini?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Tak mau mengingat apa yang sudah kulihat tadi.

"Aku menginap di rumah pamanku dekat sini," Aku hanya mengangguk tanda mengerti.

Tak lama kemudian, ponselku berdering pertanda ada panggilan masuk. Layar ponselku menunjukkan kata "Ibu is calling". Aku segera mengangkatnya dan terkejut dengan apa yang dikatakannya.

"Taehyung, aku pamit dulu. Terima kasih untuk kopinya," Aku segera berlari menuju rumah sakit yang dikatakan ibu tadi.

°•°•°

Aku melihat Nayeon, berbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Sedangkan aku, hanya berdiri mematung, tak tahu dengan apa yang terjadi.

Aku melihatmu lagi, Jim. Aku melihat wajah sedihmu itu. Ini sebenarnya ada apa?

_________________________________________

hayoo ada apa hayoo

don't forget to vote and comment yeahh💓 luv u

tinggal 1 part nih guys

Langit, Hujan, dan Senja✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang