13b. KENAPA DIA KAKU SEKALI?

311 53 6
                                    

"Selamat sore, Ibu Joy."

Kedua alis Joy bertaut, mendapati Angela di ambang pintu. Bukan karena makhluk cantik itu, tetapi pada sosok jangkung di belakang Angela. Joy semakin yakin, pria itu memang tidak menyukainya. Tatapan Leander sangat tidak bersahabat.

"Silakan duduk, J8." Joy mempersilakan tamunya lantas menoleh pada Angela. "Perjanjian kontraknya dicetak rangkap empat, ya, Angela. Setelah itu bawa ke ruangan saya."

"Baik, Bu."

Kontras dengan Angela yang berbalik badan ke luar ruangan, J8 berjalan ke arah sofa. Pria itu duduk tanpa banyak bicara. Ransel hitam yang tersampir di bahu diletakkan di samping kursi empuk.

"Sudah tahu teknis pekerjaanmu, J8?" tanya Joy setelah duduk bergabung di seberang meja, sejajar dengan pria itu. Joy mengembuskan napas saat tidak mendapati perubahan wajah dari sosok di depannya ini. J8 terlalu kaku, dia sampai kebingungan harus melakukan apa untuk menghadapi pria itu.

Maka, Joy bangkit ke meja kerja lantas mengambil ipad, kemudian kembali ke sofa. Layar mungil di genggamannya menyala menampilkan tugas dan tanggung jawab para pengawal. Joy menjelaskan dengan singkat, ada sorot kebosanan pada raut Leander.

"Saya harus menginap di rumah klien?"

Pertanyaan tiba-tiba itu memintas semua kata yang telah Joy siapkan. Dia meletakkan iPad di meja lantas menatap Leander kemudian berdeham beberapa kali sebelum melanjutkan. Entah mengapa, aura yang muncul pada mata sipit seperti menyeramkan. Seperti ada keinginan ... membunuh.

"Tidak setiap hari, nanti ada jadwal shift dengan J3. Ah, namanya Brian. Kamu sudah pernah bertemu dengannya."

"Tetapi intinya saya akan berada di samping klien selama 24 jam pada jadwal shift saya?"

"Ya," tandas Joy. Tepat bersamaan dengan Angela yang muncul di ambang pintu.

"Silakan, Bu. Diperiksa dulu." Senyum Angela menguar, wajah wanita itu berubah pasi saat lirikan Joy menusuk tajam, bahkan sampai ke belakang kepala.

"Bukannya saya sudah bilang supaya kamu pakai celana panjang?"

Angela meringis malu, "Maaf, Bu, bukannya tadi pagi saya sudah bilang kalau saya hanya punya rok."

"Astaga." Joy pusing jadinya. Dia menahan kejengkelan yang serasa menumpuk di ubun-ubun. Memang, Angela sudah menolongnya. Namun, sikap apatis pria di depannya ini terus saja memantik emosi bergejolak. "Apa gajimu kurang sampai kamu nggak bisa beli rok?" sindir Joy.

"Tapi Ibu cantik pakai rok itu," kata Angela.

"Besok-besok tolong jangan ke kantor pakai rok," pinta Joy menahan sebal.

Angela batal menutup pintu, wanita itu mengangguk sembari mengulas senyum termanis. "Baik, Bu."

Joy mengibaskan tangan. Bisa tekanan batin kalau harus menghadapi Angela, Adam, dan Leander secara bersamaan. Joy kembali pada tumpukan file di atas meja, kemudian mengulurkan pada Leander.

"Kamu baca dulu, kalau ada yang tidak dimengerti tanya saja."

Ah, Joy kebingungan harus berbuat apa menanti Leander selesai membaca dokumen. Iseng, dia membuka ponselnya. Ada beberapa pesan memuja dari Adam Tamabrata. Pria itu memang pantang menyerah. Joy harus menyiapkan kesabaran ekstra menghadapi duda genit itu.

Pak Adam Tamabrata:

Kamu cantik sekali tadi pagi, sekali-kali pakailah rok.

Sebentar, apa iya dia secantik itu? Pipi Joy memanas. Kalau pujian Angela dianggapnya cuma sekadar usaha agar tidak didamprat, lalu harus dianggap apakah pujian Adam?

Pak Adam Tamabrata:

Lukisan di belakang mejamu bagus. Saya berharap berdiri di sana juga.

Joy tiba-tiba menoleh ke belakang. Sempat-sempatnya Adam Tamabrata mengomentari isi ruangannya. Dia mendengkus kesal sebelum membawa pandangannya kembali pada layar ponsel pintarnya.

Pak Adam Tamabrata:

Lain kali, kancing blazernya jangan dibuka. Saya nggak rela ada orang lain yang lihat.

"What?"

Kesiap muncul pada wajah pria di depan Joy ketika dia mengumpat. Perlahan, semua darah mengumpul di wajah saat Leander mengikuti arah tatapan Joy yang menunduk, menekuri dada sendiri. Pria itu melengos ke samping, meraih ransel kemudian berdiri.

"Saya sudah tanda tangan perjanjian kontraknya, permisi."

"Tunggu," Joy menahan Leander.

Ini memalukan, tapi Joy merasa perlu meyakinkan diri mengenai penampilannya. Kalau dia memang lebih menarik mengenakan rok, kenapa tidak dicoba kan?

"Apa menurut kamu saya lebih bagus pakai rok?"

Leander membeku di tempatnya berdiri.

"Kenapa lihat ke lukisan? Lihat ke saya," pinta Joy.

Wajah Leander memerah. "Bagi saya sama saja."

"Sama cantiknya atau sama jeleknya?"

Leander tidak bergeming. Joy jadi kasihan.

"Kamu cuma ditanya gini saja tegang banget seperti mau dihukum mati." Joy tersenyum. "Ya sudah, silakan keluar."

***

The J8Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang