14 . Rasa Penasaran

17 4 0
                                    

Keributan canda tawa parents burden terdengar saut-sautan . Adnan yang sedari tadi hanya terduduk terkulai tanpa suara seketika bangkit dari duduk dan beranjak pergi . Bahkan panggilan dari Isan dan yang lainnya tak dihiraukannya .

Hari ini ia tanpak begitu lelah . Sejak kejadian beberapa hari lalu , entah kenapa hatinya begitu gundah . Kacau balau layaknya siap diterpa badai puting beliung . Senyuman pun tak hadir diwajahnya . Hari-hari iya lalui dengan muram .

Entah kenapa semenjak satu tahun lalu kenal dengan Bianka , hingga saat ini ia tak mampu jauh dari gadis itu . Tak pernah terbesit dipikirannya untuk memiliki . Tapi ia sakit jika gadis itu terluka dan bersedih .

" Hah , " gerutunya menendang batu kerikil kecil dihalaman markas parents burden .

" Lo kenapa sih Nan ? " Tanya Zandi tak kalah serius . Namun hanya dibalas tatapan oleh Adnan . Lalu ia pergi dan hanya meninggalkan Zandi dengan sedikit asap motor bercampur rasa aneh .

Isan yang memperhatikan dari tadi , langsung menghampiri Zandi . " Lo lagi berantem sama si Adnan ? "

" Gue ? Yakali berantem sama si Adnan ! Lo pikir gue masih bocah kayak dulu ? Gue udh kelas 2 SMA coy , heheh . "

" Iya yak ? Perasaan masih tahun kemarin lu masuk SMA ! "

" Isan... Isan... Dasar kecebong Lo sih jadi rada susah ngomong sama keturunan katak gini ! " Ledek Zandi dan berlalu pergi .

" Mau kemana Lo Zan ? " Teriak Isan .

" Mantau jalanan ! Ikut ngk Lo dari pada nongkrong disini . Buang waktu , tenaga , sedangkan ketuanya aja ngk ada ! "

" Hm , ikut deh . Trus yang lain siapa jaga ? " Tanya Isan .

" Kan ada si Abian ! "

Lalu Isan dan Zandi pergi memantau jalanan yang sudah tak lama mereka pantau . Biasanya sering sekali terjadi kegaduhan jika mereka tak memantau . Tapi belakangan ini malah tak terdengar kabar keributan sedikitpun !

Memang bagus jika tidak ada keributan lagi . Tapi Isan merasa ada sesuatu yang terjadi . Ia sudah tahu betul keadaan jalanan . Dengan teliti ia pantau dari kejauhan terlihat aman tanpa keributan .

Tiba-tiba ...

" Ehh , mana uang pajak kau ? Sini ! Atau mau ku obrak-abrik ni lapak kau ! " Hardik  seorang pria paruh baya dengan wajah seram . Tak lupa iya mengantongi satu buah pisau lipat pada bagian belakang sakunya .

" Maaf bang , jualan saya belum ada yang beli bang . Nanti kalau sudah ada pembeli saya setor bang . " Ujar pedagang itu gugup .

" Awas kau bohong ya . Dan satu lagi , awas kau lapor ! Kalau kau berani lapor sama siapapun , ingat aja nyawa kau taruhannya . " Ancam pria itu dengan logat Batak .

" I...i...iiyaa... Bang . " Balas pedagang itu gugup .

Lalu pria itu pergi dan menghampiri setiap pedagang . Bukan hanya pedagang tapi juga para pengendara mobil dan motor . Pantas saja tidak ada terdengar laporan . Para pedagang takut akan ancaman pria itu .

Isan dan Zandi yang sedari tadi memperhatikan hanya diam sembari mematikan kameranya . Dengan perlahan iya dorong motornya menjauh dari jalanan itu lalu menggas tancap motornya .

Tok... Tok... Tok...

" Bentar ... Isan , Zandi ! Tumben kalian pada kesini ada apa nih ? " Tanya Dena tersenyum .

" Ni bang . " Sahut Isan sembari memperlihatkan rekamannya yang sudah ia ambil bersama Zandi dijalanan tadi .

" Kalian dapat dari mana ? " Tanya Dena tegas .

Kehendak TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang