GPP, kan?

2.9K 647 54
                                    

"Nyebelinnya cinta ya kayak gini, Mbak Julia. Kalau nggak berakhir bahagia, cinta cuma bikin kita sakit hati pada akhirnya."

Aku mengaminkan apa ucapan Kapten di sebelahku ini, mataku yang terasa begitu panas kini kupejamkan, sungguh aku butuh istirahat untuk sejenak dari rasa patah hati yang menguras tenaga ini.

"Kalau saya tahu ternyata patah hati bikin sesak nafas, perut mulas, dan jantung tidak nyaman sepertinya dari awal Julia bakal mikir buat nggak sembarangan kebaperan sama orang, Bang. Rasanya kayak sakit tapi nggak ada luka fisik yang terlihat." Keluhku pelan, aku sudah kehabisan kata-kata lagi untuk mendeskripsikan betapa kecewanya diriku sekarang, tapi tanpa aku harus menceritakan, seorang yang lebih berpengalaman seperti Bang Akmal pasti akan tahu bagaimana perasaanku sekarang, mungkin jika orang lain yang menemukan keadaanku yang menyedihkan mereka akan menertawakanku, mengataiku konyol dan lebay karena patah hati, tapi Bang Akmal, dia hanya melihatku menangis dan meraung dalam diam, tidak mengguruiku atau mengataiku.

Untuk hal ini aku sangat bersyukur dengan adanya dirinya.

Untuk beberapa saat aku memejamkan mata, mengistirahatkan tubuh dan berdamai dengan hatiku jika sesuatu yang kita inginkan memang terkadang tidak bisa kita miliki. Untuk sekarang aku boleh bersedih, tapi saat aku kembali ke rumah nanti, kesedihan itu tidak boleh ada lagi.

Aku kemarin gagal menunjukkan pada Mas Hamka jika aku baik-baik saja saat dia menampik perasaanku, maka sekarang aku akan membuktikan jika apapun yang dia lakukan, sama sekali tidak berpengaruh untukku.

Tapi rencana hanyalah tinggal rencana, aku mungkin berencana untuk tetap terlihat kuat tidak terpengaruh apapun, tapi sepertinya takdir sedang ingin menguji perasaanku secara berturut-turut, tidak membiarkanku menghela nafas barang sebentar untuk meredakan kekecewaan.

Rasanya baru sebentar aku memejamkan mata, suara Bang Akmal yang keheranan membuatku kembali membuka mata, dan saat aku membuka mata aku di buat terkejut dengan apa yang aku lihat, rumahku memang tidak pernah sepi dari tamunya Ayah, tapi dari van sebuah EO terkenal yang terparkir di halaman membuatku bertanya-tanya sedang ada acara apa di rumah yang tidak aku ketahui.

Aku menatap Bang Akmal penasaran, ingin tahu yang terjadi tapi ekspresinya tidak jauh berbeda denganku. "Bapak sedang nggak ada jadwal ketemu petinggi, atau semacamnya, Mbak! Ibu juga nggak ada acara, pokoknya ini nggak ada jadwal apapun."

Aku semakin di buat bertanya dengan ucapan dari Bang Akmal, jika bukan Ayah dan Ibu yang sedang ada acara berkaitan dengan Kedinasan, lalu untuk apa orang EO ada di rumahku?

Hingga satu kemungkinan melintas di kepalaku atas ingatan tentang Mbak Maya yang berada di outlet perhiasan bagian cincin pertunangan, dengan ragu aku mengutarakan apa yang ada di kepalaku.

"Mbak Maya nggak mungkin tunangan tanpa ngasih tahu aku kan, Bang Akmal?"

Bang Akmal yang akhirnya menghentikan mobil ini mengangkat bahunya perlahan, "jika iya, masak Mbak Maya nggak ngasih tahu, Mbak Julia."

Aku hanya tersenyum miris mendengar perkataan Bang Akmal, jika melihat ke belakang bagaimana sikap Mbak Maya terhadapku, hal itu bukan hal yang mustahil.

Tidak mau menebak-nebak apa yang terjadi aku bergegas turun, menyeruak di antara orang yang berlalu lalang sedang menyiapkan dekorasi di luar rumah, dan saat akhirnya aku masuk ke dalam, seluruh tubuhku terasa membeku seketika melihat nama yang tertulis di rangkaian bunga indah di backdrop yang terpasang.

Maya dan Hamka.

Berulang kali aku mengerjap, memastikan jika aku tidak salah lihat, tapi sayangnya bukan mataku yang bermasalah, nama yang tertera disana memang nama Maya dan Hamka. Fix, aku benar-benar di permainkan dan di khianati oleh dua orang yang paling aku percayai.

Melihat dua nama yang bersanding dengan indah tersebut memantik kemarahan yang sebelumnya aku redam sekuat tenagaku saat aku memutuskan untuk pulang.

Kedua tanganku terkepal, ingin rasanya aku melampiaskan semua perasaan marah yang membuat seluruh tubuhku terasa gemetar dengan hebat ini. Bagaimana bisa aku tidak marah saat Kakakku yang aku percayai untuk mendengarkan betapa aku jatuh cinta pada Hamka justru bermain belakang seperti ini terhadapku?

Jika memang Mbak Maya memiliki hubungan dengan Mas Hamka, kenapa dia diam saja dan membiarkanku seperti orang bodoh bercerita betapa aku jatuh cinta pada seorang yang melamarnya sekarang? Kenapa Mbak Maya tidak jujur dari awal dan malah membuatku seperti badut yang menjadi lelucon untuknya?

Pasti sangat menyenangkan untuk Mbak Maya dan Mas Hamka mempermainkanku seperti ini. Sungguh aku tidak menyangka Kakakku bisa sejahat ini kepadaku, dia melambungkan harapanku begitu tinggi, dan sekarang dengan menyakitkan dia memperlihatkan kenyataan jika dialah pemilik dari hati orang yang aku cintai.

Aku akan berbesar hati jika Mbak Maya jujur dengan semua kenyataan ini, tapi jika caranya seperti ini, hanya orang mati yang tidak sakit hati.

Air mata yang sebelumnya masih bisa menetes sebagai ungkapan rasa kecewaku kini tidak bisa mengalir lagi, sungguh aku membenci keduanya yang membohongi dan mempermainkanku.

"Dari mana saja kamu, Julia? Dua hari loh kamu ngilang gitu saja, Bunda sama Ayah sampai puyeng mikirinnya."

Sentuhan dari Bunda yang menegurku membuatku berbalik, sebisa mungkin aku berusaha tersenyum, tidak ingin kemarahan dan kecewaku atas dua orang yang namanya terpajang di belakang ini terlihat di hadapan Bunda.

"Julia ada project baru, Bun. Mau nggak mau Julia harus lembur! Nih sampai mata Julia sembab saking capeknya Julia lembur." Sebelum Bunda bertanya alasan kenapa mataku sembab dan wajahku kuyu, lebih dahulu aku berkilah, sangat tidak mungkin jika aku menceritakan pada Bunda jika tersangks yang sudah membuayku menangis dalah calon menantunya. Aku menggandeng tangan Bundaku ini semakin masuk ke dalam rumah, melewati beberapa orang EO yang melihatku dengan pandangan bertanya karena penampilanku terlalu aur-auran untuk seorang anak Wakasad, tapi aku sama sekali tidak peduli dengan penilaian orang. Bersikap seolah tidak ada yang menyakitkan untukku, aku bertanya pada Bunda hal yang sedari tadi membakar kemarahanku. "Ooh ya Bun, ini mau ada acara pertunangan kok mendadak banget."

Mendengar pertanyaanku seketika membuat Bunda menghentikan langkahnya. "Semua ini yang nyiapin Maya sama Hamka sendiri, Li. Kata Maya dia sama Hamka sudah mempersiapkan semua hal ini hampir sebulan yang lalu, dan tiga hari kemarin Hamka datang melamar secara pribadi ke Ayahmu, baru hari ini acara pertunangan mereka. Sama kayak kamu yang kaget, Bunda juga kaget waktu Hamka datang ke Ayah dan bilang kalau mau lamar Maya."

Aku tersenyum kecut, sebulan yang lalu, tepat di saat aku baru saja curhat dengan Mbak Maya. Sungguh, aku tidak habis pikir dengan Kakakku itu.

"Selama ini Bunda lihatnya Hamka dekatnya dengan kamu, Li. Bunda kira dia mau lamar kamu, tapi ternyata....."

"........ " Ternyata yang di lamar Mbak Maya ya, Bun. Sungguh dua orang tersebut adalah manusia paling munafik yang aku tahu.

"Kamu nggak apa-apa, kan?"

Belahan Hati Julia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang