Chapter 7

18 6 26
                                    

Happy Reading 🌻

Adakah yang bisa memberiku alasan mengapa kita tidak bisa mengucapkan huruf 'R' di dalam hati?

- Sabrina Anggraini.

____________________________

"Terima kasih, ya, Mas." Ujarku seraya menjulurkan selembar uang pada supir ojol yang mengantarku dengan selamat sampai rumah.

Setelah motor matic itu meninggalkan kawasan rumah, aku segera masuk tatkala gerbang dibuka lebar oleh penjaga kediaman keluarga Argawinata -Pak Jupri.

"Pak, Papa udah pulang?" Tanyaku dengan mata berbinar.

Pria yang lebih tua dari Papaku itu mengangguk,"Iya, Non. Tuan sudah pulang bersama Nyonya sekitar satu jam yang lalu."

"Oke, thank you, Pak Jupri."

Aku segera melesat ke dalam rumah. Mengucapkan salam yang tak ada sahutan. Mungkin mereka sedang istirahat.

Biarlah, aku kembali melangkah, kali ini menuju kamarku, bersiap untuk membersihkan diri yang tentu sudah lengket akibat berpeluh.

Sekitar dua puluh lima menit kemudian, aku sudah rapi dengan baju rumahan dan badan yang wangi segar.

Tak lama, perut kempes ini mulai berbunyi. Memaksaku untuk segera turun menyantap hidangan yang sudah tertata rapi di meja makan.
Namun, hal itu urung kulakukan, tatkala mendengar deru ponsel yang terus berbunyi.

Panggilan telepon.

Menggeser ikon warna hijau dan meletakkan benda pipih itu di indera pendengaran.
"Halo." Sapaku pada orang yang memiliki nomor asing di ponselku.

"Halo, Sayang. Lama gak denger suara indahmu."

Deg!

Suara itu membuatku lemas dan seketika tremor. Dapat kudengar orang di seberang sana terkekeh geli.

Laki-laki itu lagi!

Tolong, katakan jika ini mimpi!

Aku masih belum bisa menyadarkan diri, diam membeku dengan deru napas kencang.

Sedetik kemudian, telepon dimatikan sepihak. Sedangkan, aku mulai berkedip, menatap pantulan diri di kaca lemari. Penampilanku sangat berantakan.

Peluh sebesar biji jagung terus keluar dari kelenjar keringat dan pori-pori.

Bertahun-tahun lamanya aku berusaha melupakan kejadian pelik itu, lalu kenapa sekarang harus terulang kembali?

Ketahuilah, rasanya seperti masih baru!

Air mata mulai mendiami pelupuk mata. Berkedip dan mengucur deras layaknya air terjun.

Aku meringkuk di lantai dengan memeluk kedua lutut. Aku terus menangis tersedu-sedu.

Rasa sesak menghambat alur pernapasan, membuatku sesegukkan dan mengambil udara sebanyak-banyaknya.

"Non, makan malam sudah siap. Tuan dan Nyonya juga sedang menunggu kedatangan Non." Ujar Asri --asisten rumah tangga yang bekerja di keluarga kami.

Sebisa mungkin aku membuat suaraku terdengar normal. "Iya, Bi. Sebentar lagi saya akan turun. Mama dan Papa makan duluan aja."

"Baik, Non." Setelahnya, hanya terdengar langkah kaki yang menjauh dari pintu kamarku.

Menarik napas panjang, kedua orang tuaku tidak boleh tahu jika orang itu menghubungiku lagi.

Bisa lebih panjang lagi urusannya.

I'm LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang