Chapter 18

1 1 0
                                    

Happy Reading

"Jika seseorang tidak beruntung di satu sisi. Percayalah! Dia memiliki keberuntungan di sisi yang lain."

Sabrina Anggraini.

___________________________________

"Ma, kenapa nangis?" Aku berusaha meraih pergelangan tangan yang basah karena tetesan air mata.

Ruangan putih beraroma khas obat, dengan gorden putih pada tiap jendela dan pintu ini penuh dengan suara tangis Mama. Aku tidak tahu, kenapa beliau sampai menangis tersedu-sedu seperti itu.

Mama memaksa tubuh lelahnya untuk beranjak dari ranjang yang kutempati. Keluar kamar dengan langkah tertatih-tatih. Aku menatapnya heran sekaligus cemas, berniat untuk menyusulnya tapi urung, karena seseorang tiba-tiba masuk dengan raut wajah kaget dan masih memakai seragam sekolah yang kusut berantakan. Ika. Tak pernah sekali pun kulihat dia seawut-awutan ini. Karena ia adalah gadis yang selalu menjaga penampilan. Matanya yang merah sembab semakin membuatku bertanya-tanya. Dia kenapa?

Aku kembali berusaha mendekat dan memeluknya. Namun, dia yang lebih dahulu menghambur memelukku. Tangisan pilunya menjadi pengisi suara di ruangan ini. Namaku terlontar lirih dari bibirnya. "Aku harap ini mimpi, Na!" ujarnya monolog.

"Apanya?"
Pertanyaanku itu sepertinya tak didengar oleh Ika. Ia melanjutkan ucapannya.

"Jangan tinggalin gue! Gak ada yang mau temenan sama gue setulus lu, Na. Tadi pagi lu masih sempet nge-chat gue, tapi kenapa tiba-tiba sekarang lu kek gini?!" Dia semakin histeris.

"Gue gak ninggalin lu, Ka. Gue di sini! Masa lu gak ngeliat gue!"
Omong kosong apa yang dia katakan? Jelas-jelas aku berada di sisinya—satu ruangan.

Aku mencoba menyentuh pundaknya, tapi ... apa ini?! Tanganku seperti menyentuh angin. Tembus dan aku tak dapat merasakan pundak itu.
Aku mencobanya berkali-kali, hasilnya tetap sama.

Tidak!
Ini tidak mungkin!

"Gue di sini, Ka ..." ucapku merintih.

Tangisan Ika semakin keras, hingga ia memutuskan keluar ruangan untuk menenangkan diri. Berganti dengan wanita cantik berpakaian perawat, bermaksud mengambil sebuah catatan dokter yang ketinggalan di atas nakas. Juga, melepaskan beberapa selang medis yang tak kuketahui namanya.

Samar-samar aku mendengar ia bersuara panik memanggil  dokter. Elektrokardiogram kembali menampilkan grafik, yang kupikir hal itulah penyebab sang perawat berteriak histeris. Aku mulai merasakan suhu ruangan yang dingin. Napasku seakan tersendat dan berat, seolah terhimpit benda besar yang menyesakkan. Jemariku bergerak perlahan. Aku seakan baru dilahirkan kembali, tapi dengan badan yang remuk. Penuh luka dan jahitan.

Terdengar derap kaki yang berjalan cepat ke arah tempatku terbaring. Sepertinya itu langkah kaki seorang dokter yang semakin mendekat, lalu sebuah alat—sepertinya, stetoskop—ditempelkan di dadaku. "Denyut jantungnya mulai stabil." Suara bariton dokter, memasuki pendengaran. Dilanjutkan dengan selang oksigen yang dipasang di hidungku. Serta merasakan jarum infus yang juga baru dipasang.

Lalu, aku mendengar orang-orang sedang bercakap begitu dokter itu keluar ruangan. Aku merasakan hidup kembali, setelah kilas kehidupan yang hitam dengan jiwa yang kupikir, keluar dari raganya.

Apakah tadi aku menghadapi kematian?

Kecelakaan itu.

Bagaimana dengan semua temanku?
Apakah mereka selamat?

Ya Tuhan ... kegiatan yang semula kami pikir menyenangkan, ternyata membawa musibah bagi kami.

***

Suara derit pintu terdengar. Seseorang berpakaian persis seperti yang tadi kulihat—mungkin, bisa disebut 'saat aku menjadi arwah'—. Wajahnya sembab dengan air mata mengalir di kedua pipinya. Mama.

I'm LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang