Chapter 11

13 5 11
                                    

Happy Reading 💜

Ingat baik-baik, ya. Dunia bukan tempat tinggal, tapi, tempat kita meninggal.

- Sabrina Anggraini.

_____________________________

Sepulang bersenang-senang dengan Ika, aku langsung menanyakan pada Mama perihal Sultan.

Raut wajah wanita yang sekarang duduk di sofa ruang tamu itu, tampak kusut. Biasanya, jika aku pulang dari bepergian, beliau selalu bertanya dan mengobrak-abrik barang yang aku bawa.

"Mama, kenapa, sih?" tanyaku akhirnya.

"Nggak papa, Sabrina. Soal Sultan, tadi dia cuman nanya 'kamu ada di rumah atau nggak?' Terus Mama jawab, kamu lagi pergi sama Ika. Udah itu aja. Mama mau istirahat dulu di kamar, capek tadi habis bersihin tanaman." Tanpa menunggu balasan dariku, Mama langsung melenggang pergi.

Tak ingin terlalu pusing memikirkan semua yang terjadi, aku pun pergi ke kamar. Hasrat untuk meng-unboxing barang-barang yang tadi aku beli, sudah meletup-letup.

***

Hari Senin yang sangat sibuk. Mulai dari berangkat pagi, sebab, masih ada upacara yang wajib diikuti, lalu ada deretan mata pelajaran killer yang selalu diselingi tugas.

Hah! Rasanya benar-benar penat.

"Perhatian! Bagi seluruh murid SMAN Padjadjaran, diharapkan untuk berkumpul di lapangan utama, sebab upacara akan segera dimulai." Suara dari loud speaker memecah kegiatan para warga SMAN Padjadjaran.

Semua segera bersiap-siap, untuk mengikuti kegiatan wajib setiap hari Senin tersebut.

"Eh, Sabrina!" Langkah kakiku terhenti mendengar namaku disebut.

Seseorang mendekat untuk melanjutkan ucapannya. "Tadi, gue liat Ika dikeroyok sama gengnya Claudia di gudang!!" Gadis berambut sebahu itu mengatakan dengan intonasi yang menggebu sama halnya dengan napasnya.

Aku membulatkan mata,"lo seriusan, Sil?!"

Siswi bernama Sisil itu mengangguk mantap. Sial! Aku sama sekali tidak menemukan tanda kebohongan dari setiap gesturnya.

Memang sejak aku datang, sama sekali belum bertemu dengan Ika. Biasanya, dia akan datang dulu dan merecoki pagiku yang tenang.

Seusai berterimakasih, aku segera melesat ke arah gudang. Pikiranku mulai kalut, bagaimana bisa hal ini terjadi lagi?

Tak ada pikiran lain, selain tentang Ika. Gadis baik yang selalu bersamaku, memberi semangat agar aku tak terus-terusan merasa sendirian.

"Na, semoga kita bisa terus bareng kayak gini, ya!" ucapnya kala itu dengan semangat yang menggelora. Aku menanggapinya dengan anggukan, kami sama-sama tersenyum cerah, merasakan persahabatan tulus yang diiringi harapan; tak akan pernah ditelan waktu.

Aku semakin mempercepat laju lari, disaat semua murid berjalan berlawanan arah hendak ke lapangan. Tentu saja, hal itu menimbulkan banyak pasang mata yang menatapku aneh.

Akhirnya, aku tiba di sebuah lorong yang memang selalu sepi, sebab, dari ketiga ruangan yang ada hanya digunakan sebagai gudang. Terlebih, terdapat rumor horor yang entah sejak kapan membooming.

Membuka satu persatu pintu, tapi, aku tak menemukan apapun. Kosong. Sepi. Hanya tumpukan bangku dan berkas-berkas usang yang sengaja disimpan.

Napasku masih tak terkontrol, cemas, peluh, juga penampilanku yang acak-acakan, menyatu dalam diri ini.

I'm LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang