Migi

13 2 0
                                    

Ini sudah kelima kalinya Migi dipanggil ke ruangan kecil milik bosnya. Sore itu sangat gerah, ditambah lagi berada dalam satu ruangan sempit penuh barang antah berantah. Wajah lelaki berkumis lebat dengan perut gembul di depan Migi terlihat merah karena kesal dan gerahnya sore itu membuat emosinya naik berkali lipat.

"Migi..." Pak Thapo menyilangkan tangannya di atas meja.

"SUDAH BERAPA KALI AKU BILANG KITA INI SEDANG BISNIS!?" raungnya.

"Ya Pak..." Migi hanya menunduk, pandangannya mendarat pada ubi rebus di atas meja yang tinggal separuh.

Pak Thapo menghela nafasnya lalu meraih kipas bambu di sampingnya. Dengan tidak sabar dia mengipasi tubuhnya. Seolah tungku, hawa panas keluar dari dirinya.

"Jadi Migi, kita menjalankan bisnis pasti untuk mencari keuntungan, kan?"

"Ya Pak!" jawab Migi. Pak Thapo hanya bisa menatap pemuda yang kira-kira 19 tahun di depannya. Dia menghela nafas lagi karena rasa marahnya selalu lenyap melihat mata Migi.

"Mana bisa aku marah-marah kalau melihat mata melasnya itu? Seperti mata anak bebek kehilangan induknya."

Gerakan kipas Pak Thapo memelan, "Nah, bagaimana kamu akan bayar kerugiannya?"

"Emm.. potong saja gaji saya, Pak. Dan ini...ada 9 keping koin nikel. Saya sudah hitung ini cukup untuk melunasi kerugian penjualan hari ini"

Pak Thapo menepuk jidatnya. Jelas! Anak ini naifnya tidak tertolong lagi.

"Hahh... baiklah..." akhirnya Pak Thapo menerima koin itu, tapi dia menyodorkan kembali 2 keping koin perak kepada Migi.

Migi menatap wajah gemuk bosnya, Pak Thapo meraih tangan kurus Migi dan menjejalkan 2 koin perak itu ke telapak tangannya. Lalu dia mengibaskan tangan memberi tanda agar Migi cepat keluar, daripada nanti dia terkena darah tinggi.

Ketika sampai di pintu Pak Thapo memanggilnya lagi.

"Ya Pak?"

"Kamu harus berpikir untuk dirimu juga. Bagaimana kamu bisa bertahan hidup kalau setiap jualanmu kau berikan pada anak-anak?"

"Baik Pak" jawab Migi, mengerti kekhawatiran Pak Thapo. Meski begitu Pak Thapo yakin Migi akan tetap memberikan mainan-mainan itu pada anak-anak. Yah, dia tidak rugi juga sih karena Migi membayarnya. Tapi apa tujuannya bekerja jika dia malah membayar pada bosnya?

Saat Migi keluar dari ruangan bosnya, dia melihat seniornya masuk. Dia meletakkan sebuah keranjang bambu di dekat pintu. Itu pasti sisa jualannya hari ini.

"Oi Migi!"

"Hai Kak Marel,"

"Kau dimarahi bos lagi ya?"

Migi tertawa pasrah, "Ahahaha..."

"Kamu ini tidak pernah belajar, ya" Marel meletakkan tas kainnya di atas tumpukan keranjang.

Migi mengemasi berbagai macam mainan anak dari kayu dalam keranjang yang cukup besar. Mainan-mainan itu akan di jual di Provinsi Barat.

"Kau akan pergi ke Provinsi Barat besok siang kan?"

"Iya, Kak Marel. Aku harus mengemas semuanya malam ini"

"Aku akan membantumu, tapi aku mau ke kamar mandi sebentar."

"Baik, Senior! aku sangat terbantu"

"Apa kau sudah makan?"

"Ah, aku belum makan sejak pagi"

"Aku tadi membawa sekantong biskuit di dalam tas, ambil saja kalau mau" Marel berlalu sembari mencium bajunya, kemudian bergumam pelan, "bau gosong".

Autumn Momiji RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang