Di tempat lain, Kereta api tengah melintasi area penuh pepohonan lebat ketika jeritan dan teriakan memenuhi gerbong kelas dua. Gerbong ini berisi para pejabat pemerintahan maupun para pebisnis yang sedang melakukan perjalanan.
AAAAAAHHHHHHHH!!!!!!!!!!
CRAATT!!!
Teriakan ketakutan itu keluar dari mulut istri seorang pejabat. Teriakan istrinya itu disusul dengan erangan kesakitan suaminya karena terkena sabetan pisau di dadanya. Sementara itu orang-orang lainnya berhamburan ketakutan mencari jalan untuk keluar dan menyelamatkan hidup mereka.
Riven: jangan berlebihan begitu nyonya, anak buahku hanya menggores pisaunya saja. Suamimu tidak akan mati.
Ya, ini adalah pembajakan kereta api. Dan pelakunya...ulah siapa lagi kalau bukan kelompok bandit? Dan yang berbicara tadi adalah Riven. Ketua bandit yang ditakuti. Usianya masih muda. Dia kini menikmati suasana sembari bersantai di kursi kereta, sementara anak buahnya sibuk membuat kekacauan.
Riven: justru kalau kau berteriak sekencang itu dan membuatku terganggu kau akan....
Istri pejabat itu gemetar ketakutan melihat tatapan mata dingin dan tajam milik ketua Riven.
Pejabat1: masinis!!! Petugas kereta api! Lakukan sesuatu!!
Pejabat2: hentikan keretanyaa!!!!
Anggota bandit1: KALIAN BISA DIAM??!!!!
Riven: Tuan- Tuan dan Nyonya-Nyonya... Masinisnya sudah kami sandera dan dia akan tetap menjalankan kereta api ini. Lagi pula kalau kereta berhenti di tengah-tengah hutan belantara ini, apa yang akan kalian lakukan? Cari mati saja.
Para penumpang yang ketakutan mencoba saling bersembunyi di balik punggung satu sama lain.
Anggota bandit: serahkan harta kalian!!
Mereka pun menyerahkan harta mereka. Masing-masing menyodorkan sekantong koin emas dan perak kepada anak buah Riven.
Namun demikian, itu tak lantas menyelamatkan mereka dari ganasnya pisau anak buah Riven.
Gerbong pun dipenuhi para pejabat yang tergeletak di lantai gerbong dan suara erangan kesakitan.
Ketua Riven hendak menyudahi pesta pembajakan kereta api ketika matanya tertumbuk pada seorang pemuda yang duduk dengan santai memandangi hamparan pepohonan lebat dan semak belukar di luar jendela.
Riven melihat pemuda itu membawa katana yang tersarung rapat. Di ujung pegangannya tergantung seutas gelang buluk yang warna aslinya sudah tidak bisa diidentifikasi karena telah berubah menjadi keabu-abuan. Gelang itu terbuat dari tali goni kasar dengan simpul-simpul. Ada lonceng kecil di antara simpul-simpulnya dan sebuah kayu kecil.
Pemuda itu bernama Sanka. Dia menoleh ketika Riven berhenti dan menatapnya.
Riven jelas tau bahwa Sanka bukan orang biasa.
Riven: (menghunuskan pedang pada Sanka) kenapa kau hanya duduk bersantai di sini?
Sanka: karena aku tidak tertarik
Riven: kalau begitu aku akan membuatmu tertarik
Riven dengan cepat mengayunkan pedangnya, tapi yang mengejutkan, Sanka bereaksi sangat cepat sehingga bisa menangkis serangan itu.
Pertarungan di antara keduanya pun tidak bisa dihentikan.
Para penumpang yang sedari tadi ketakutan di sudut gerbong, kini takjub sekaligus ngeri melihat pertarungan sengit kedua pemuda menggunakan pedang.
Dua pemuda ini bertarung di dalam gerbong, suatu area sempit yang panjang dengan kursi-kursi penumpang. Sekejap saja belasan kursi rusak karena tebasan pedang mereka.
Walaupun orang-orang disekitarnya berpikir ini akan menjadi arena pertempuran mati-matian, tapi sebenarnya Sanka dan Riven hanya mengeluarkan tidak lebih dari 30% kemampuan mereka. Mereka hanya menguji kemampuan satu sama lain.
Lalu pertarungan itu berakhir seri. Atau bahkan mereka tidak menganggap itu sebagai pertarungan?
Mereka hanya menganggap itu sebagai bermain-main dan saling menyapa. Dan segera saja mereka menjadi akrab, sebagai rival.
Sanka menyarungkan pedangnya.
Riven: aku terhibur hari ini. Lain kali di medan pertarungan yang sebenarnya, kita harus mengerahkan semua kemampuan kita
Sanka tidak berkata apapun, tapi dari tatapan matanya dia menyetujui ucapan Riven.
Riven: hei! Perintahkan masinisnya menghentikan kereta
Saat kereta berhenti Riven dan komplotannya turun, lalu mereka pergi menghilang di balik rimbunnya pepohonan.
Bagi bandit seperti Riven dan kelompoknya, bertahan hidup di hutan, di gunung atau di manapun itu tidaklah masalah. Mereka sudah sering menjelajahi area-area yang cukup berbahaya bagi manusia biasa. Apalagi di hutan ini, mereka akan mudah menemukan jalan keluar menuju perkampungan. Tapi sebelum itu, mereka beristirahat di sebelah sungai kecil untuk minum.
Riven duduk bersandar di sebuah pohon. Para anak buahnya dengan patuh menyajikan air minum dan buah beri hutan. Lalu dia mengeluarkan suatu benda dari saku bajunya.
Riven: Sepertinya aku mendapat benda berharga.
Itu adalah gelang milik Sanka yang awalnya tergantung di katananya. Riven tidak sengaja memungut gelang yang terjatuh itu sewaktu Sanka tidak melihatnya. Sanka pasti tidak tau bahwa dia kehilangan benda berharga. Pada gelang goni itu terdapat kayu kecil yang di atasnya terukir sebuah kata.
"Migi"
/// /// ///
KAMU SEDANG MEMBACA
Autumn Momiji Rain
General FictionMigi: dimana pun dia berada, dia selalu menjadi bagian dari kemiskinan. Sanka: petarung kuat yang memeras pejabat agar harta mereka kembali ke rakyat. Riven: bandit kejam yang tidak segan membunuh orang Dunia mereka terlalu berbeda untuk petualanga...