Di desa ujung barat ini pernah ada bangunan sekolah sederhana yang cukup untuk menampung anak-anak desa untuk belajar. Tapi kini yang tersisa hanya bekas pondasinya saja.
Para wargalah yang telah melenyapkan satu-satunya tempat pendidikan di desa itu. Mereka mengambil atapnya, tiang kayunya, perabotan-perabotan yang ada di dalamnya agar bisa dijual.
Kayu-kayu yang tidak laku terjual mereka gunakan untuk kayu bakar. Di musim panas begini mereka tidak perlu menyalakan perapian, tapi untuk memasak nasi mereka tetap perlu kayu bakar. Lalu bagaimana nasib warga jika musim dingin tiba?
Pada awalnya mereka masih bisa membeli seikat kayu bakar dari rumah pejabat. Namun di saat segalanya jadi semakin sulit, para warga hampir-hampir tidak mampu lagi membelinya.
Persediaan kayu di desa ini suatu saat akan habis. Migi melihat pohon-pohon juga hampir habis ditebangi. Kini dia hanya bisa mengumpulkan ranting-ranting yang terbatas jumlahnya dan rumput kering yang cepat terbakar. Jadi, untuk mengatasi masalah ini dengan sabar dia harus menanam ilalang dan alfalfa. Jika kayu bakar habis, dia bisa membuat api kecil dari ilalang kering. Dan dalam keadaan lapar dan tidak ada apapun untuk dimakan, dia akan mengambil segenggam rumput alfalfa untuk direbus.
Di suatu siang Migi tengah beristirahat dari pekerjaannya yang mirip kerja rodi itu. Dia duduk di bawah pohon pisang bersama seorang pekerja.
Migi: paman, di sini tidak ada bangunan sekolah, tidak ada rumah sakit juga. Memangnya apa yang terjadi?
Paman: siapa yang butuh sekolah dalam keadaan begini? Tidak ada yg bisa membiayai. Dokter pun tidak ada yang mau datang karena tau kami tidak bisa membayar. Yah, dulu kami memang punya klinik dokter kecil. Tapi sekarang sudah tinggal tanahnya
Migi: kenapa?
Paman: karena material dan barang-barangnya sudah kami jual
Migi: lalu bagaimana jika ada yang sakit?
Paman: dibiarkan saja. Kalau sakitnya tidak parah pasti sembuh sendiri. Atau terkadang kita membeli obat dari Tuan Pejabat.
Migi: eh, paman tau gubuk tua yang ada di ujung jalan setapak?
Paman: emmm...gubuk tua? Oh! rumah tua yang sudah tidak terpakai itu?
Migi: iya. kenapa rumah itu masih ada? Kenapa para warga tidak mengambil material bangunannya untuk dijual juga, Paman?
Paman: aah... aku ingat dulu ada yang mengambil lemari, meja dan kursinya. Yah, pada dasarnya itu rumah yang tidak banyak perabot. Hanya seorang pencuri saja yang berani mengambil barang-barang itu. kami tidak berani mengambil apapun
Migi: kenapa?
Paman: karena di rumah itu, dulu ada manusia yang berubah jadi monster!
Migi: haah..? (Alis migi mengernyit karena heran) Paman jangan bercanda. Mana ada manusia berubah jadi monster?
Paman: kau ini tidak percaya ya?? Aku melihatnya sendiri! Dengan mata kepalaku sendiri!
Migi: monster...seperti apa, Paman?
Paman: dia dulunya adalah pemuda normal. Tapi suatu hari dia sakit, lalu kemudian tubuhnya berubah dipenuhi rambut hingga ke wajahnya. Dia berubah menjadi manusia serigala!!
Migi: manusia serigala??
Paman: para warga pun takut dengannya. Lalu dia menjadi lelaki yang kejam, dia suka memukuli orang. Semua orang jadi semakin takut padanya! Suatu hari orang-orang tidak tahan dengannya, lalu dia dibunuh oleh warga.
Migi: ...paman, itu...sangat menyeramkan
Paman: itu kejadian 15 tahun yang lalu. Saat itu aku juga merasa takut padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Autumn Momiji Rain
General FictionMigi: dimana pun dia berada, dia selalu menjadi bagian dari kemiskinan. Sanka: petarung kuat yang memeras pejabat agar harta mereka kembali ke rakyat. Riven: bandit kejam yang tidak segan membunuh orang Dunia mereka terlalu berbeda untuk petualanga...