/// /// ///
Beras telah habis. Biji jagung kering tinggal segenggam saja dan berita buruknya kayu sudah menipis sekali. Untuk membuat api saja Migi telah memikirkan berbagai cara. Sekarang dia harus lebih ekstrim dalam berhemat. Dia harus bertahan tanpa makanan selama 24 jam dan hanya minum air sungai tanpa dimasak.
Kesulitan demi kesulitan bukan hanya dirasakan oleh Migi, namun juga dirasakan oleh seluruh masyarakat desa. Kini tumpuan satu-satunya hanyalah bantuan dari pejabat Mokade. Dalam sebulan sekali keluarga pejabat akan memberi bantuan sekantong kecil beras. Tapi tetap saja bantuan kecil itu tidak bisa mencukupi kebutuhan makanan satu keluarga, bahkan hanya cukup untuk makan beberapa hari saja.
Saat Migi dalam perjalanan pulang, dia melihat orang-orang ramai berkumpul di suatu rumah. Dengan rasa penasaran dia mendekati rumah itu lalu bertanya pada seorang lelaki paruh baya yang ternyata seniornya sesama pekerja.
Migi: Paman,
Paman: oh, kau si anak kurus yang bekerja di ladang Tuan Mokade... Siapa namamu?
Migi: Migi Paman
Paman: oh iya, Migi. Kau pasti pulang terlambat
Migi: ah, iya... Ehm.. ini ada apa paman? Kenapa banyak orang berkumpul di sini?
Paman: itu...ada keluarga yang meninggal
Migi: meninggal??
Paman: sepertinya meninggal karena kelaparan, mungkin sudah berhari-hari mereka tidak makan...
Saat mendengar kalimat itu, jantung Migi seperti berdetak tak beraturan. Beberapa orang yang berkerumun saling bercerita.
Tetangga: iya, sudah beberapa hari mereka tidak keluar.. aku tidak mengira mereka kelaparan hingga meninggal
Tetangga2: mungkin suaminya sedang sakit, aku juga tidak melihatnya berangkat bekerja
Tetangga 3: tapi aku dengar istrinya sudah menemui Tuan Mokade untuk minta bantuan?
Tetangga1: apakah mereka tidak mendapat bantuan?
Tetangga 3: entahlah, aku juga tidak tau..
(Tetangga-tetangga saling berbisik)
Migi mencoba melangkah lebih dekat untuk melihat keadaan dalam rumah. Di dalam rumah usang itu, tiga tubuh terbaring dingin di atas alas tidur tipis di atas tanah. Para warga telah menutup jenazah mereka dengan selembar kain. Tapi migi masih dapat melihat dua pasang kaki milik suami dan istri terbujur di depannya.
Dadanya sesak seperti terjerat sesuatu sehingga membuatnya sulit untuk bernafas.
Yang membuatnya semakin tertegun adalah tubuh kecil yang juga terbaring di samping mayat ibunya.
Berapakah usianya?
Anak sekecil itu...
Membayangkan penderitaan macam apa yang menimpa keluarga ini, membuat Migi memalingkan wajahnya. Sekuat tenaga dia menahan sesak dalam dadanya yang semakin sakit hingga membuat tubuhnya gemetar.
Sesaat dia seperti melihat bayangan mayat-mayat berdarah. Hanya sekelebat saja. Namun dia tidak tau bayangan apa itu.
De javu?
Migi tidak bisa bertahan dari perasaan yang menghimpitnya sejak tadi. Tahu-tahu, dia sudah menyingkir dari kerumunan itu. Kepalanya berat, dan tanpa sadar dia telah menyusuri jalanan pulang.
Senja di penghujung musim kemarau itu masih tetap hangat. Matahari masih menunjukkan sinar kemerahan sebelum tenggelam di horizon.
Tapi anehnya, dia merasa dingin.
/// /// ///
Tetangga: iya, sudah beberapa hari mereka tidak keluar.. aku tidak mengira mereka kelaparan hingga meninggal
Tetangga2: mungkin suaminya sedang sakit, aku juga tidak melihatnya berangkat bekerja
Tetangga 3: tapi aku dengar istrinya sudah menemui Tuan Mokade untuk minta bantuan?
Migi terngiang-ngiang dengan obrolan tetangga yang tadi didengarnya.
Jika mereka mengetahui keadaan keluarga itu sedang kesulitan, mengapa mereka tidak membantu?
Mereka tau suami dari keluarga itu menderita sakit, kenapa tidak ada yang peduli?
Kenapa mereka tidak membagi makanan atau obat-obatan?
Migi: apakah aku sedang menyalahkan orang lain?
Migi menghela nafas panjang
Migi: kalau saja aku lebih sering melihat keadaan desa ini, mungkin aku bisa sedikit membantu mereka
Migi: Bagaimana aku bisa membantu mereka?
Tapi dia tidak tau bagaimana dia akan membantu orang lain sedangkan untuk mencukupi kebutuhan makanannya sendiri saja dia tidak bisa.
Migi: tetangga-tetangga keluarga itu juga kesulitan, kalaupun mereka ingin membantu, mereka pasti berpikir keluarga sendiri sudah sangat kelaparan. Bagaimana caranya membagi makanan dengan keluarga lain?
Lalu keluarga pejabat Tuan Mokade. Bukankah mereka bisa membantu?
Tidak, mereka bukan membantu. Tapi mereka memang bertanggung jawab sebagai pejabat desa untuk menyelesaikan masalah rakyatnya.
Walaupun begitu, mereka tidak melakukan apapun. Mereka tidak memberikan bantuan makanan pokok. Bahkan mereka tidak menyediakan obat-obatan atau dokter di desa.
Sebebarnya, apa yang terjadi? Kenapa kemiskinan ini tidak berakhir? Lalu kini, korban nyata pertama telah jatuh. Hidup manusia bagaikan di hutan belantara. Jika seseorang tidak dapat mempertahankan keberadaannya, maka dia tereliminasi dan terseleksi.
Benarkah demikian?
/// /// ///
KAMU SEDANG MEMBACA
Autumn Momiji Rain
General FictionMigi: dimana pun dia berada, dia selalu menjadi bagian dari kemiskinan. Sanka: petarung kuat yang memeras pejabat agar harta mereka kembali ke rakyat. Riven: bandit kejam yang tidak segan membunuh orang Dunia mereka terlalu berbeda untuk petualanga...