Aku ingin sekali ikut berkumpul di tongkrongan, menyapa semua orang, berbagi cerita menarik yang kualami akhir-akhir ini.
Mendengar keluh kesah dan bercandaan mereka juga. Mereka semua dihubungkan dengan suara, itulah satu-satunya hal yang tidak kupunya.
Hidupku sunyi, hanya diisi nyanyian tak berbunyi. Mana ada orang yang bisa berteman dengan orang yang sepenuhnya diam sepertiku, sekalipun mereka mau.
Bahkan handphone dalam mode senyap pun masih bisa bergetar untuk memberitahu bahwa ada pesan atau panggilan masuk. Bercengkerama dengan manusia, selalu kujadikan cita-cita. Aku selalu mencari cara untuk bisa mewujudkannya.
Secercah harapan mulai muncul ketika aku mencari cara berbicara menggunakan bantuan perangkat elektronik.
Aku sudah lulus SMP, dan orangtuaku menghadiahi sebuah smartphone. Aku mulai mencari sumber bacaan dari Google, menonton Youtube, untuk mencari hal-hal yang mungkin bisa membantuku berinteraksi.
Setelah kucari tutorial di channel sana-sini, mempelajari segala hal yang berkaitan dengan suara, aku malah menemukan "Cara Membuat Konten Video Menggunakan Suara Robot."
Video itu berisi cara menyampaikan narasi atau penjelasan dalam video, menggunakan sebuah aplikasi. Bahkan dijelaskan cara mengatur agar suara yang dihasilkan mirip dengan suara Si Kreator.
Sepertinya video itu ditujukan untuk mempermudah konten kreator yang kepayahan ketika membuat rekaman.
Di Indonesia sendiri, hal seperti itu memang cukup dibutuhkan. Mengingat seringnya abang-abang pedagang asongan lewat di depan rumah.
Setelah susah payah mengatasi kegugupan di depan kamera dan kadang masih salah bicara hingga harus direkam berulang-ulang. Namun, ketika sudah benar-benar siap, ada-ada saja gangguannya.
Bunyi mangkok diiringi teriakan khas Abang penjual bakso lah, nada dering penjual es krim lah, dan kadang yang lebih menjengkelkan lagi, suara knalpot brong yang berisiknya minta ampun, sukses membuat semua orang refleks menutup telinga.
Entah berapa banyak konten kreator yang sudah menceritakan maupun memparodikan secara komedi, kegelisahan mereka ketika memproduksi video.
Dari tutorial tersebut, aku menemukan sebuah aplikasi bernama Text to Speech ; sebuah aplikasi pengubah teks menjadi suara.
Sistem tersebut sebenarnya sudah cukup lazim digunakan di masa sekarang. Contoh mudahnya, buku audio ; buku yang dibacakan. Dimana bacaan tersebut sudah direkam untuk didengarkan sambil beraktivitas.
Artikel berita yang dibacakan asisten Google juga menggunakan sistem yang mirip. Atau bagi yang sering menggunakan kamus online, pasti pernah mengetik kata atau kalimat untuk mendengarkan cara pengucapan bahasa asing.
Dari beberapa artikel yang kubaca tentang sistem ini, katanya itu adalah teknik fonetisasi dalam bidang pemrograman. Dimana sebanyak-banyaknya kata atau fonem, direkam dan dikumpulkan dalam satu server.
Setiap kalimat yang diketik pengguna aplikasi, diambil dari kata yang sudah terekam dan tersimpan di server tersebut lalu diterjemahkan menjadi suara. Suara Google, contohnya.
Meski sudah memasang aplikasi TTS, aku masih belum tahu harus memanfaatkannya seperti apa.
Suara seperti apa yang ingin kugunakan untuk menggantikan suaraku ketika bicara nanti. Aku mencoba belajar mengatur suara robot itu agar terdengar normal, meski tetap sedikit kaku.
Di aplikasi ini sudah dilengkapi pengaturan kecepatan bicara dan tinggi rendahnya ucapan. Sehingga aku bisa mengatur tempo jika ingin bicara santai, meninggikan nadanya ketika emosi, atau merendahkan area suara ketika sedih atau tidak semangat.
Sedangkan jeda bicara bisa diatur dengan menambahkan koma, atau titik, jika ingin jedanya lebih lama.
Nada bertanya bisa dibuat dengan menulis tanda tanya di akhir kalimat, sedangkan penegasan kata, bisa dengan menambahkan tanda seru.
Hanya saja, mengetik teks panjang lalu diterjemahkan menjadi suara, butuh waktu cukup lama.
Jadi tidak mungkin aku bicara panjang lebar saat berinteraksi langsung dengan orang lain. Setidaknya saat ini.
Awalnya aku mencoba menggunakan aplikasi itu untuk membaca. Kutulis satu per satu kalimat yang ada di buku lalu kukirim untuk diterjemahkan jadi suara.
Setelah beberapa paragraf mendengarkan suara robot yang sudah dipersonalisasi, aku mulai terbiasa dan menganggap file suara dari IBM Watson itu jadi suara milikku.
Tekstur suara laki-laki agak parau dengan nada sedikit kaku. Dan akan semakin jelas terdengar kaku atau robotik seperti suara Google, jika kalimat yang kutulis cukup panjang.
Aku juga mencoba aplikasi ini untuk berbicara dengan kucing dahulu. Masih takut berbicara dengan orang lain. Seekor kucing kelaparan sedang mengunjungi rumahku.
Di kampung, tidak ada rumah yang memiliki pagar tinggi atau penghalang yang rapat agar kucing tidak sembarangan masuk rumah. Aku memberi kucing itu ikan mentah yang belum digoreng. Hasil aku memancing tadi siang.
Aku sangat suka anak kucing. Mereka masih imut dan menyenangkan aja bermain bersama anak kucing. Karena ketika mereka sudah besar, mereka jadi mulai ngeselin. Ada saja ulahnya yang membuat gaduh suasana rumah.
Entah meja makan yang amburadul karena dia mencari makanan, atau sofa yang robek karena sering digaruk kucing. Belum lagi suaranya yang berisik ketika terus mengeong di sampingku, saat aku makan.
Dia membuatku terlihat jahat karena tidak memberinya makan. Sedangkan, kalau kukasih makananku ke dia, lalu aku makan apa? Ikan kami terlalu sedikit untuk berbagi bersama 5 anggota keluarga. Apalagi kalau dibagi ke kucing.
Saat mau masuk SMA, aku memutuskan untuk merahasiakan semuanya, kebisuan dan caraku berkomunikasi.
Aku tidak ingin masa lalu kelam seperti saat SMP, harus kualami lagi. Sudah menyerah diperlakukan begitu parah. Seolah-olah aku tidak pantas hidup damai. Selalu saja ada pengganggu, yang usil dengan kebisuanku.
Sudah kukatakan, aku berbicara menggunakan aplikasi pengubah teks menjadi suara. Aku harus belajar berpura-pura, menutupi kecacatanku, seperti menutupi kebiasaan burukku.
Hal paling sulit, ketika bicara menggunakan aplikasi ini adalah mengetik tanpa menatap layar agar terlihat natural.
Mengetik di layar sentuh, jauh lebih susah dibanding mengetik di laptop atau di mesin ketik. Ingin rasanya kembali ke handphone manual yang ada papan ketiknya.
Sayangnya, tidak mendukung aplikasi secanggih ini.
Hal selanjutnya yang harus kupikirkan juga adalah mencari cara agar suara itu seakan-akan muncul dari mulutku, bukan keluar dari speaker handphone.
Untuk itu, aku menghubungkannya dengan speaker bluetooth agar tidak ribet dengan urusan kabel, lalu meletakkannya di sekitar area mulut.
Karena tanpa kabel, otomatis harus rutin mengisi daya sebelum memakainya dan tidak bisa bertahan seharian jika terus diaktifkan.
Sekarang segala keperluan telah rampung. Aku siap menjalani fase baru, masa remaja kehidupan SMA.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cacat Bicara [ TERBIT ]
Подростковая литератураSaka, lelaki bisu yang berpura-pura bisa bicara menggunakan aplikasi pengubah teks menjadi suara agar dianggap normal, tidak di-bully, dan bisa mendapat pacar. Text to Speech : Aplikasi yang membawa Saka bertualang menjadi manusia bisu yang ramah...