Pengakuan.

43 13 35
                                    

Beberapa siswa sedang dihukum guru.

Alesha bertanya. "Mereka dari kelas kamu kan? Dihukum kenapa? "

"Ketahuan merokok, " jawabku.

"Emang ada? Laki-laki yang tidak bisa merokok? Tinggal  hisap doang, apa susahnya? " tanyanya penasaran.

Ada lah. Pertama, tidak semua orang tahan dengan asap rokok. Kedua, meskipun cuma dihisap, kalau tenggorokan tidak tahan, atau terasa gatal, akan jadi batuk. Terus kalau dipaksa menghabiskan sebilah rokok, bisa jadi sakit kepala. Aku contohnya.

Aku bermain rubik di taman, mempelajari tahap ketiga yang sudah Zea ajarkan, sembari menunggu Alesha yang memintaku bertemu di tempat favoritnya. Hari ini wajahnya lebih cerah, namun sedikit salah tingkah. Aku sudah terbiasa duduk bersampingan dengan Alesha.

"Ada yang ingin kamu katakan?" tanyaku heran dengan sikap Alesha.

"Kamu bisa merokok?" tanya Alesha

"Semua laki-laki juga bisa. Tinggal hisap, apa susahnya?" kataku, mencoba bercanda.

"Maksudku, kamu perokok atau bukan? Soalnya bibir kamu hitam, kayak kebanyakan perokok pada umumnya."

"Aku bukan perokok," kataku. "Bibirku, memang begini warnanya."

"Kenapa nanyain tentang rokok?"

Masa lalu Alesha yang kehilangan ibunya karena menjadi perokok pasif dari ayahnya yang perokok aktif. Membuatnya tidak ingin menjalin hubungan dengan orang yang merokok.

Ibuku meninggal karena paru-parunya kotor.
Ibumu perokok?
Perokok pasif. Ibu sering terhirup asap rokok Ayah.

Kenapa jadi ibumu yang mati duluan?
Kan yang perokok aktif, ayahmu? Harusnya dia dulu dong.
Maksud kamu? Kamu nyumpahin ayahku mati?

"Ini penting," katanya. "Tadinya aku ingin bilang langsung, tapi nggak sanggup."

"Mau bilang apa?" tanyaku. "Kalau memang penting, katakan saja."

"Mmm… bentar, kutulis di kertas aja ya, jadi puisi," balas Alesha dengan wajah berseri.

Alesha mencoba merangkai kata, menulis lalu menghapus lagi, berusaha mencari kata paling tepat untuk menyampaikan perkataannya. Aku tidak tahu kenapa dia harus serepot itu untuk mengatakannya. Jelas dia tidak membiarkanku melihat tulisannya.

Aku hanya mengamati, sambil memainkan rubik milik Zea. "Nih," unjuk Alesha dan langsung pergi meninggalkanku bersama puisi pemberiannya. Di bangku taman sekolah, aku membaca dengan hati-hati, mencari inti yang menjadi jantung puisi.

Belum selesai aku mencermati, Inara datang menghampiri. "Kenapa Alesha pergi?" kata Inara seakan sudah mengamati kami dari tadi. "Lagi baca apa?" tanyanya lagi.

"Oh, ini, puisi dari Alesha." jawabku. Tak perlu juga menyembunyikannya. "Akhir-akhir ini kemana?" Inara sudah hilang kabar selama beberapa hari.

"Mempersiapkan ujian. Aku ingin masuk universitas negeri," jawabnya.

"Bagus, dong," Aku menyemangatinya.

"Mungkin kita, tidak akan sempat diskusi lagi," ungkap Inara.

Aku suka diskusi dengan Inara sebulan belakangan ini. Bagaimana kami mendebatkan sebuah permasalahan. Mungkin bisa dianggap sebagai latihan, agar kalau nanti menjalin hubungan, bisa mengurangi intensitas pertengkaran. Entahlah, aku tidak terlalu yakin dengan hubungan mana yang harus kuseriusi.

Aku cukup sering merasakan hal yang menggetarkan hati saat bersama Inara. Namun, aku juga mendapat kode dari Alesha dalam puisinya.

Seperti malam biasa yang kulalui, aku mencoba mengutarakan isi hati dengan menulis. Syukur-syukur kalau bisa jadi puisi dan dipajang di mading sekolah, lagi.

Cacat Bicara [ TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang