Aku lupa membawa handphone. Sepertinya ketinggalan di kamar sedang di-charge. Ini hal yang biasa terjadi pada teman-temanku yang sering nge-charge ketika bangun tidur.
Ingin menaikkan semangat dengan melihat daya baterai handphone, full 100%. Belum sabar namanya jika charge belum penuh saja sudah dicabut. Namun, aku malah kelupaan ketika fokus mempersiapkan seragam sekolah dan mengisi buku di tas.
Ini jadi masalah besar bagiku, karena Alesha sudah mendesakku untuk segera komunikasi tentang permasalahan yang kami hadapi.
Tadi malam, aku sengaja tidak membalas chat-nya setelah menceritakan bahwa aku cuma pakai sepeda dan status sosial yang kupunya. Aku sadar, lambat laun dia akan tahu dengan sendirinya, jadi lebih baik kuceritakan saja.
Jika dia tidak bisa menerima, mungkin sudah sebaiknya kami putus saja.
Kata orang-orang, jangan menyelesaikan masalah ketika sedang marah. Tapi kadang-kadang, aku sengaja membuat dia marah dan lepas kendali agar kejujuran bisa terkuak. Agar unek-unek yang selama ini dia tahan, bisa kupaksa keluar.
Aku bisa tahu pemikiran buruk apa saja yang selama ini ia simpan.
"Kita harus komunikasi sekarang juga, aku nggak mau pergi sebelum masalah ini selesai," kata Alesha menggebu-gebu.
Aku yang sudah bersiap semalaman, mengumpulkan banyak argumen untuk berbagai macam kemungkinan, tidak bisa menjelaskan apa-apa karena lupa membawa alat bicara.
Alesha juga tidak bisa menggunakan bahasa isyarat seperti Zea.
"Saka!" Alesha setengah berteriak, melihatku diam saja.
"Hubungan kan bisa baik kalau kita komunikasi. Kalau kamu diam gini, gimana masalahnya bisa teratasi?" desaknya.
Aku hanya diam. Tidak bisa menyahutnya sepatah kata pun.
"Sa… ka… " Dia menggoyangkan bahuku, memelas memintaku bicara. "Kenapa diam saja?"
Aku bisu. Itulah alasanku sebenarnya!
"Terserahlah." Dia berpaling sebentar, lalu menengok ke arahku.
Karena tidak kutahan, wajar dia meninggalkanku. Dia pasti marah didiamkan begitu.
Aku mengurung diri di perpustakaan selama jam istirahat untuk menghindari interaksi dengan orang lain. Aku tidak bisa menyapa atau menjawab sapaan orang-orang yang mengenalku saat berjalan menuju perpustakaan.
Di depan pintu, aku berdiri melihat-lihat spot sepi yang enak untuk bersantai. Aku merasa mengenal cara berjalan sosok perempuan yang menyisiri lemari buku.
Perawakannya yang elok dengan rambut lurus, sedikit keluar di punggung dibalik kerudungnya, membuatku semakin merasa kalau itu adalah Zea. Karena penasaran, aku mencoba mendekati dan melihat wajahnya. Sesuai dugaanku, memang Zea.
"Bisa bicara? Bisu saja," pintaku menepuk bahu Zea, dan menggunakan bahasa isyarat.
Hanya dia saat ini yang bisa kuajak bicara. Aku menceritakan perbedaan status sosial yang kumiliki dengan Alesha. Tidak ada bedanya dengan Zea, yang juga setiap hari diantar sopir.
"Perempuan baik, pasti mau menerima kondisi lelaki yang dia sukai." Zea menjadi lebih bijak dengan bahasa isyarat.
"Pondasi hubungan kalian itu lemah," komentar Zea.
Aku pun menyadari itu. Kadang-kadang aku merasa jahat juga, pacaran dengan Alesha setelah ditolak Inara dan untuk mendapat pengakuan dari orang-orang bahwa aku bisa punya pacar. Meski tidak dapat kupungkiri aku juga tertarik dengan Alesha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cacat Bicara [ TERBIT ]
Teen FictionSaka, lelaki bisu yang berpura-pura bisa bicara menggunakan aplikasi pengubah teks menjadi suara agar dianggap normal, tidak di-bully, dan bisa mendapat pacar. Text to Speech : Aplikasi yang membawa Saka bertualang menjadi manusia bisu yang ramah...