Petikan Pengalaman

3 0 0
                                    

Aku masih terdiam, tidak tahu harus menyikapi pernyataan Zea bagaimana. Tidak kusangka, kata itu keluar dari orang yang selama ini selalu cuek pada semua orang. Aku tahu, dia hanya lelah bicara. Makanya dia banyak cerita setelah tahu, aku bisa bahasa isyarat sepertinya. Dia juga beberapa kali membantuku. Mengajarkanku bermain rubik dan mengumpulkan argumen untuk debat kemarin. Aku yakin, maksudnya menyukaiku, artinya aku adalah orang yang cocok menjadi temannya bercerita. Itu saja. Tapi kenapa dia berusaha menghancurkan hubunganku dengan menggoda menciumku dan mengungkap rahasiaku?

"Karena aku bisa bahasa isyarat kan?" Akhirnya aku bisa merespon pernyataan Zea.
"Karena kamu Saka. Kamu tampan. Kamu keren. Kamu berani. Aku suka," katanya.
"Aku pacar Alesha," tegasku.

Sontak semua orang di kelas menengok ke arah kami. Mereka jadi fokus mendengarkan pembicaraan kami. Kuambil tangan Zea, membawanya keluar kelas untuk menyelesaikan pembicaraan yang sudah dimulainya ini.

"Dia tidak bisa bahasa isyarat. Kamu lebih cocok denganku," lagi-lagi dia mencoba membuatku ragu. Kulepas genggaman tanganku di tangannya.
"Kamu lelah bicara, aku susah bicara. Dimana cocoknya?" aku mendebatnya.
"Kita bisa mengobrol dengan bahasa tubuh. Romantis kan?" ocehnya.
"Zea, kenapa kamu jadi begini?" Tidak pernah kubayangkan Zea bisa berkata semanis itu.

"Justru kamu yang kenapa," katanya. "Selama ini, aku yang mendorongmu melawan semua orang, aku yang mendukungmu menghadapi itu semua, tapi kamu," Zea memalingkan muka, "malah balik ke Alesha," ucapnya lirih, dan bibirnya bergetar.

Aku tahu dia banyak membantuku dan aku sudah berterima kasih untuk itu. Sebagai balasannya, aku bahkan mengajarinya cara menggunakan aplikasi TTS agar dia tidak lagi lelah bicara. Aku juga menyarankan sebagai teman, agar dia mau mencoba jatuh cinta agar energinya selalu terisi bersama seseorang yang dia suka, tapi bukan aku.

"Seperti yang kamu bilang, 'perempuan baik akan menerima status sosial laki-laki yang dia sukai'," aku mengutip kata-katanya sebelumnya, "Alesha melakukan itu," tegasku.
Kamu juga bilang, "Teman sejati tidak akan meninggalkan, Alesha melakukan itu juga," Aku menjelaskan kebersediaan Alesha. "Aku bersalah, sempat ingin menerima ciumanmu. Jadi kali ini, aku tidak ingin mengecewakannya lagi," kataku.

"Artinya, kamu cuma kasihan padanya. Kamu cuma menghargai usahanya," Zea malah membalikkan semua perkataanku. "Dalam cinta, juga tidak boleh dilandasi rasa kasihan," lagi-lagi dia mengajariku.

Aku berdiam sejenak. Merenungi kembali, perasaanku sebenarnya pada Alesha. Apakah benar cinta atau rasa kasihan? Atau cuma pelampiasan saja setelah ditolak Inara? Ah, benar-benar susah memahami perasaan sendiri.

"Kamu juga menyukaiku kan?" Zea melanjutkan, padahal dia sudah mulai kelelahan. "Kamu pernah mengakui di depan kelas, kalau aku yang paling cantik," kata Zea. "Kamu mau menerima ciumanku, karena cinta kan?" desaknya bertubi-tubi.

"Karena nafsu," jawabku. "Lelaki mana yang tidak goyah imannya, saat bibir mungil perempuan, hampir menyentuh bibirnya?"
"Kalau aku menciummu sekarang?" Zea semakin menggila. Apa dia tidak jijik mengatakan itu? Aku bahkan tidak tertarik lagi mendengar ucapannya.
"Tentu saja akan kutolak," kataku. "Maaf Zea, bagaimana pun perasaanku ke Alesha, cinta atau pun kasihan, perasaanku ke kamu tetap sama," jelasku. "Kita cuma teman."

Zea mendengus, kembali ke kelas, sudah puas mendengar penolakanku.

Aku tidak menyangka, sampai di titik menolak perempuan. Karena sebelumnya, aku bahkan tidak dilirik siapa-siapa. Aku hanya lelaki lemah yang sering ditindas karena lahir dengan kemampuan bicara yang terbatas. Ternyata benar, jika karir kita mulai membaik, sudah selesai dengan diri sendiri, perempuan akan datang dengan sendirinya.

Aku harus segera kembali ke kelas juga. Pak Arif sudah menuju kelas kami. Ketika aku melewati meja Zea, dia bahkan tidak sudi melihatku. Di tempat duduk, aku bertanya sekali lagi tentang perasaanku untuk Alesha. Tidak sempat terjawab, Pak Arif sudah memberi salamnya. Aku harus kembali fokus dengan pelajaran fisika.

Dari tadi malam, Alesha tidak membalas ketika dihubungi. Pagi ini juga. Aku mencoba mencari di kelasnya, tapi kata teman-temannya, Alesha tidak masuk. Masalahnya, tidak ada surat izinnya, dan teman-temannya pun tidak ada yang tahu Alesha kemana. Apa dia sedang sakit? Aku harus mencari ke rumahnya setelah pulang sekolah. Tapi aku takut jika setelah melihat rumah besarnya, aku jadi insecure dengan status sosialku.

Atau jangan jangan, Alesha melihatku lagi, berduaan dengan Zea kemarin? Kalau sampai dia salah paham lagi, mungkin tidak akan ada maaf untukku karena Alesha mengira aku terus-terusan membuat alasan. Dia tidak pindah sekolah gara-gara hal sepele semacam ini kan? Aku mencari semua kemungkinan, kenapa Alesha tidak masuk sekolah hari ini. Bahkan tidak ada kabar.

Sebelum ke kelas, aku sempat mampir ke ruang staf tata usaha. Bertanya ke guru yang bertugas disana, apakah Alesha pernah mengurus berkas untuk pindah sekolah. Ternyata tidak. Mungkin dia cuma sedang sakit, toh ini belum sehari. Sangat kusadari, aku tidak ingin kehilangan Alesha secepat ini. Jika tidak segera kutunjukkan perasaanku, bisa-bisa perasaannya padaku juga memudar. Mulai sekarang, aku akan mengisi kepalanya dengan kenangan-kenangan indah bersamaku.

Aku memandangi ruang chat-ku dengan Alesha. Banyak pesan yang ku spam ke WA nya. Namun semuanya cuma centang satu, belum diterimanya. Jarang sekali internetnya dimatikan selama ini. Tiba-tiba, aku mendapat pesan baru dari nomor tidak dikenal. Dia menyebut namaku. Lalu menyebutkan namanya. Aku senang sekali ketika tahu kalau itu Alesha. Dia menjelaskan handphone-nya yang pecah gara-gara tadi pagi, tidak sengaja tersenggol saat buru-buru bersiap ke sekolah. Namun tetap tidak sempat, karena dia bangun kesiangan dan pagar sekolah sudah ditutup.

"Terus, tadi malam? Kenapa chat-ku gak masuk juga?" tanyaku, bisa sedikit gaul di chat.
"Ya nge tes kamu aja sih, nyariin aku gak, kalau gak ada kabar dariku. Eh, malah bangun kesiangan karena tidurku nyenyak sekali. Banyak hal baik terjadi akhir-akhir ini," Alesha menerangkan.

Aku masih memikirkan momen penembakan paling romantis yang bisa aku berikan untuk Alesha. Aku tahu dia suka puisi, tapi kalau cuma membacakan puisi di tempat tertutup dan romantis, rasanya kurang berkesan. Kalau kulakukan di tempat terbuka di hadapan banyak orang, rasanya terlalu dramatis. Kami berdua tidak terlalu menyukai itu.

Setelah beberapa hari memikirkan, aku belum menemukan cara yang paling pas untuk menyatakan cinta. Hal paling romantis yang bisa kupikirkan adalah menerbitkan buku puisi buatanku untuk Alesha. Namun, hal itu masih sulit untuk kulakukan sekarang. Jadi aku hanya menunjukkan perasaanku sejujurnya saja. Di sebuah kafe tidak terlalu mahal, mengingat kantongku yang tidak terlalu tebal, dengan makanan yang tidak terlalu banyak mengingat Alesha yang tidak suka makanan berminyak.

Sekarang Alesha tepat di depanku. Menunggu kata itu keluar dari mulutku. "Aku cinta kamu," kataku.

Hari itu, aku memberikannya sebuah tebak-tebakan kecil agar dia semakin mengingatku.

Ketika kecil, aku punya kepala tapi tidak punya leher.
Ketika besar, aku tidak punya kepala juga tidak punya leher.
Tanpaku, bumi dan langit tidak akan ada.
Tanpaku, dunia dan cinta tidak akan lengkap.
Siapakah aku?
Nyerah, kata Alesha.
Masa sudah menyerah? Aku kasih clue lagi,
Aku ada di ujung sungai dan di ujung api.
Sungai mana ada ujungnya, kata Alesha. Di ujung api cuma ada asap. Au ah, nyerah.
Jawabannya, huruf "i"

Teka-teki panjang lebar, jawabannya cuma satu huruf?
Itulah kenapa aku tidak suka teka-teki. Selalu mengecewakan ekspektasi, kata Alesha.

Kalau aku? Mengecewakanmu juga? Tanyaku.
Beberapa kali, sahutnya. Tapi aku masih ingin bersamamu.

Cacat Bicara [ TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang