Meja Zea tidak jauh dari pintu. Saat aku masuk kelas, otomatis melewati depan mejanya dulu.
Dari depan pintu, aku melihat Zea nampak tenang memainkan kubus enam sisi warna-warni. Dia meletakkan timer di atas mejanya.
Dengan warna keenam sisi kubus yang sudah teracak, Zea menempelkan kedua tangannya di timer, lalu secepat kilat mengambil kubus itu dan dalam hitungan detik, warna-warna kubus itu sudah tersusun rapi seperti semula.
Aku takjub, kehilangan kendali dan langsung menghampiri.
"Berapa detik?" pikirku, bola mataku gelagapan mencari angka di timer milik Zea.
"15 detik?" batinku.
Entah berapa waktu normalnya menyelesaikan itu, menurutku tadi itu sangat cepat.
Zea menurunkan mainannya, menaikkan pandangan, menatapku tanpa ekspresi, jelas menunjukkan tidak menerima kedatanganku.
Zea terus menatapku seakan menagih penjelasan kenapa aku masih di depan mejanya. Aku mengambil handphone di kantong jaket hitamku,
"Mainan itu, apa namanya?"
"Rubik," jawab Zea.
"Ajarin, boleh?" aku mengetik dengan wajah berseri.
Zea terlihat mengamatiku. Matanya menyipit, bola matanya ke atas seolah sedang berpikir.
"Suaramu aneh," katanya tiba-tiba, membuatku tidak tahu harus menjawab apa.
"Mau belajar rubik?" tanya Zea.
"Beli aja, lalu cari tutorial sendiri. Kenapa jadi nyusahin orang, sih?" sambungnya, ketus.
Aku pergi dengan hati berapi-api. Ingin sekali suatu saat kutunjukkan di depan mata Zea, bahwa aku juga bisa melakukan tanpa bantuannya.
Belum aku duduk di kursi, sebuah notifikasi berbunyi, dari nomor baru yang masuk mengisi beranda WA. Setelah kuperiksa, namanya Alesha.
Katanya sih, adik kelas yang suka dengan puisiku yang dipajang anggota OSIS di mading sekolah. Aku membalas dengan hati-hati. Antara senang dan tidak siap punya penggemar seperti ini.
Saat jam istirahat, aku mencoba mencari Alesha, ingin melihatnya dari kejauhan dulu. Kutemukan Alesha di taman sekolah, sedang sendiri.
Sekilas kulihat, aura wajahnya biru kelam bersedih. Terkadang, kuning terang bahagia.
"Bagaimana sebenarnya dirimu?"
Apakah putih bersih tanpa cela atau hitam pekat penuh ego?
"Aku hanya hijau rindang, penuh penantian. "
Aku tidak berniat menghampiri. Ingin menunggu postingan status dari Alesha, lalu berkomentar disana saja, baru chatting setelahnya.
Sembari menunggu, aku chatting dengan Inara. Bagiku, tidak ada salahnya juga mendekati beberapa perempuan. Dengan begitu, peluang keberhasilan mendapatkan pacar akan lebih besar. Mencari yang paling cocok agar hubungan berjalan lancar.
"Inara, ini aku Saka. Simpan nomorku ya," aku mengirim pesan WA ke Inara.
"Iya, ini aku simpan," ternyata dia langsung membalas.
"Sore ini, ada jadwal ekskul debat, kan?" tanyaku dan diiyakan Inara. Sampai jam pulang sekolah tiba, belum ada tanda-tanda dari Alesha.
Sepulang sekolah, aku menyisiri kota dahulu, mencari toko mainan yang menjual rubik. Sudah beberapa toko mainan kusinggahi, namun tidak ada yang menjual mainan yang kumaksud.
Aura wajahku berubah dan langsung menghentikan genjotan sepedaku, ketika melihat mainan itu ada di sebuah toko yang sedang kusinggahi.
Aku menunjuk mainan yang disebut rubik, dan menanyakan harganya. Tidak terlalu mahal ternyata, setelah mendengar penjual mengatakan bahwa harga mainan itu cuma 20 ribu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cacat Bicara [ TERBIT ]
Teen FictionSaka, lelaki bisu yang berpura-pura bisa bicara menggunakan aplikasi pengubah teks menjadi suara agar dianggap normal, tidak di-bully, dan bisa mendapat pacar. Text to Speech : Aplikasi yang membawa Saka bertualang menjadi manusia bisu yang ramah...