Sore ini ada jadwal ekskul debat. Aku memutuskan untuk mengikutinya bersama Athaya, dia sudah sering mengikuti ekskul ini. Daripada berkutat dengan kendala bicara, lebih baik aku berlatih saja.
Aku memberanikan diri melepas masker agar terbiasa bicara seperti manusia pada umumnya. Setelah setahun membiasakan diri menggunakan aplikasi, baru tahun ini aku berani mengikuti ekskul debat ini.
Setelah pulang sekolah, aku dan Athaya langsung menuju Lab. Bahasa. Namun saat keluar kelas, ternyata seorang perempuan dari kelas lain, berjalan di depan kami.
Perempuan tidak terlalu tinggi dengan celana jeans. Memakai baju kaos hitam polos dengan kemeja kotak-kotak dililit di pinggang. Rambutnya panjang, dikuncir, dan sedikit poni di kanan.
Dari perawakannya yang tinggi, dan caranya berjalan dengan sangat tegak, aku merasa belum mengenalnya. Aku berniat menyapa, tapi nyaliku belum terkumpul sepenuhnya ternyata.
Aku hanya berjalan dibelakangnya, dia berjalan ke arah yang sama.
Tunggu, tunggu. Jangan-jangan dia ikut ekskul debat juga? pikirku belum yakin.
Sampai perempuan itu masuk ke Lab. Bahasa juga. Dia bahkan memegang kuncinya, berarti dia orang kepercayaan Bu Zahra?
Cukup lama aku memperhatikannya. Sampai Ibu Zahra tiba, memecah suasana. Pertama-tama beliau membagi 12 peserta menjadi dua, tim pro dan kontra. Sebagai tim pro, aku mendapat peran mendukung pernyataan.
Sedangkan tim kontra akan menyanggah pernyataan. Ibu Zahra membacakan tema debat hari ini atau yang disebut mosi.
Mosinya adalah "Melakukan bully di sekolah, harus dipenjara."
Karena masih permulaan, beliau mengarahkan ini seperti diskusi. Kami diberi waktu 15 menit, menyiapkan argumentasi.
Aku yang kenal betul sakitnya di-bully, mengingat kembali apa yang kurasakan tentang orang-orang yang pernah memberiku masa kelam.
Aku mengingat, betapa marah dan tidak berdayanya aku saat itu, ketika berteriak minta tolong sekuat tenaga namun mulut tak mampu mengeluarkan suara apa-apa. Hanya bisa meringis ketika dianiaya.
Jika bisa melakukannya, aku sangat ingin membuat mereka jera. Entah itu dihukum dengan didera dan kalau bisa, dipenjara.
Debat dimulai. Ibu Zahra meminta tim kami membuka argumentasi. Kami serahkan ke Athaya, yang paling banyak memberikan materi. Athaya berdiri dengan percaya diri, membacakan argumen pertama seakan ingin langsung membungkam tim kontra.
"Saya Athaya, perwakilan tim pro. Kami percaya bahwa bully, selain menyakiti fisik siswa, juga merusak mental siswa. Mereka akan kehilangan percaya diri, hingga terasingkan dari pertemanan."
" Melakukan kekerasan dan menyakiti orang lain untuk kepuasan sendiri atau melampiaskan kekesalan, adalah perbuatan kriminal yang tidak seharusnya dibiarkan begitu saja. Harus ada langkah yang membuat mereka jera, yaitu penjara," kata Athaya dengan tegas mengakhiri argumen pertama tim kami, lalu kembali ke tempat.
"Bagaimana tim kontra? Sudah siap menanggapi?" tanya Bu Zahra melanjutkan perdebatan.
Seorang perempuan berdiri di sebelah sana. Dia orang yang sama dengan yang kuikuti sampai ke ruangan ini. Sepertinya dia yang pertama akan melawan argumen tim kami.
"Saya Inara, tim kontra," katanya.
Aku mengangguk. "Nama yang indah," pikirku.
"Kita semua sepakat bahwa bully dalam bentuk kekerasan harus dilawan, dilaporkan, dan diberi hukuman. Tapi penjara, jelas terlalu berlebihan. Masa depan siswa dipertaruhkan. Catatan kriminal pernah dipenjara, akan menghalangi mereka mendapat pekerjaan. Sedangkan korban harusnya juga diedukasi untuk belajar keterampilan berinteraksi, bukan selalu diam dan menyendiri," kata Inara mencengangkan pemikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cacat Bicara [ TERBIT ]
Teen FictionSaka, lelaki bisu yang berpura-pura bisa bicara menggunakan aplikasi pengubah teks menjadi suara agar dianggap normal, tidak di-bully, dan bisa mendapat pacar. Text to Speech : Aplikasi yang membawa Saka bertualang menjadi manusia bisu yang ramah...