Raga Kosong

6 0 0
                                    

Era media sosial, memudahkanku berkenalan dengan siapa saja. Terlebih bagiku yang tidak punya suara.

Mengobrol lewat chat, jauh lebih mudah dibanding bahasa isyarat. Memungkinkan dua pengguna media sosial, jatuh cinta meski tak pernah bertatap mata.

Bermodal foto profil dan kata "Hai" yang disengaja lalu berlanjut saling tanya dan cerita. Meski tak kumengerti bagaimana, katanya rasa sayang yang tercipta di dunia maya, rasa sakitnya bisa sampai ke dunia nyata.

"Bisakah aku merasakannya juga?"

Sakit hati mungkin akan membuatku lebih terasa hidup, daripada tidak merasakan apa-apa. Seperti raga kosong tanpa penyegar jiwa. Hanya hampa.

Semua orang punya kenangan tentang melelahkannya harus telepon-teleponan sampai tengah malam mendengar curhatan pasangan.

Bagaimana melelahkannya menghadapi mood perempuan yang berubah-ubah dan minta diperhatikan lebih. Sementara aku belum punya pengalaman apa-apa tentang pacaran.

Selama ini aku hanya bermain dalam bayangan, seakan-akan mengerti tentang cinta padahal cuma chatting dengan orang-orang acak di media sosial.

Aku chatting dengan 10 orang dari media sosial yang kusukai profilnya. Kuseleksi satu per satu mencari yang ramah dan asyik, hingga tersisa 5 ruang chat.

Kemudian kupilih lagi menjadi 3 orang yang memiliki kemungkinan untuk pacaran, dan kupilih satu untuk diseriusi. Sisanya ya, sebagai cadangan saja.

Aku juga pernah mencoba mengatakan rahasiaku pada teman online, karena tidak terlalu berisiko. Aku hanya ingin tahu reaksi mereka. Dan benar, perempuan itu jadi menjauh.

Pada akhirnya, aku hanya melampiaskan gabut sebagai badut.

Yah, sudah pernah beberapa kali kulakukan, memercayai seseorang yang memang terbuka saat chatting-an.

Jessie, salah satu temanku di dunia maya. Dia rela berbagi rahasia tentang hal-hal konyol yang pernah dilakukannya.

Padahal kami belum pernah bertemu sama sekali. Selama ini, kami tidak mempermasalahkan kata-kata sekasar apapun dalam percakapan kami sebelumnya.

Ketika sudah mengetahui rahasia terbesarku, sangat terasa dia jadi sangat berhati-hati membalas chat-ku.

Takut menyinggung?

Justru hal itu yang membuatku makin tersinggung, dianggap berbeda! Begitulah kepercayaan, meski berusaha menerima perbedaan, ketidaksiapan tetap tidak bisa ditutup-tutupi.

Dimana-mana, diskriminasi memang terjadi pada orang-orang sepertiku. Bukan hanya di dunia nyata, di media sosial juga. Aku akan tetap merahasiakan kebisuanku, kepada pacar sekalipun.

Pelajaran biologi sedang berlangsung. Ibu Evi sedang ada urusan sebentar dan meninggalkan tugas untuk kami kerjakan secara berkelompok.

Aku, Bagas, dan dua orang yang duduk dibelakang kami, Zea dan Athaya menjadi satu kelompok.

Ibu Evi meminta kami menyiapkan bahan untuk dipresentasikan di depan kelas ketika beliau datang. Membahas struktur tubuh berbagai jenis tumbuhan dengan nama latin dan marganya.

Kami sibuk dengan handphone masing-masing, mencari artikel yang diperlukan. Bagas asyik sendiri membuka media sosial, dan menggoda Athaya mengajaknya bercanda.

Aku terhenti pada sebuah artikel, merasa kenal dengan judulnya,

"Zea Mays." Zea? Bukannya itu namanya? pikirku sambil melirik Zea.

"Kamu lahir bulan Mei?" tebakku, penasaran.

"Tahu darimana?" Zea heran.

Bagas dan Athaya pun memandangiku serius. Aku mulai yakin, nama Zea diambil dari bahasa latin "Jagung". Itu sebabnya foto profil WA nya yang kulihat beberapa waktu lalu, foto jagung.

"Nama lengkapmu Zea-gung?" Aku mengejeknya.

"Kok terdengar kayak jagung?" Bagas nimpalin dan Athaya senyam-senyum menahan tawa.

"Zea Chayra Aiza," tegasnya menghentikan tawa kami. "Kenapa bahas namaku, sih?"

Aku menunjukkan ke mereka artikel yang kubaca. Bagas dan Athaya mendekatkan wajah ke layar handphone-ku. Bergegas Zea mengambilnya dan membaca dengan saksama. Dia mengetik sesuatu, seolah ada artikel yang ingin dia cari juga.

"Daripada kamu, tempe," kata Zea ke arahku, balik mengataiku. Aku masih memproses maksud Zea mengataiku tempe.

"Namamu Saka kan?" sambungnya lagi.

Aku mengambil kembali handphone-ku.

"Ya... tapi tidak semua orangtua menamai anaknya dari bahasa latin, kan?" Aku langsung membela diri.

"Jagung dan tempe? Kalau dijadiin lauk, enak tuh,"

oceh Bagas menambah tidak nyaman suasana antara aku dan Zea, sedangkan Bagas dan Athaya terlihat puas tertawa.

"Nanti siapa yang presentasi?"

Tiba-tiba Athaya mengalihkan pembicaraan. Aku terdiam, menengok Bagas dan Zea.

"Yang jelas bukan gue, kalian tahu kan, gue bagaimana," kata Bagas seakan menyombongkan kebodohannya.

Sudah menjadi hal yang biasa ketika kerja kelompok, akan ada siswa yang cuma menitip nama, tidak mengerjakan apa-apa.

Disisi lain akan ada siswa yang satu-satunya diandalkan untuk mengerjakan tugas atau mendapat tugas lebih banyak dari yang lain.

Aku paling benci jika berkelompok secara acak, dan malah mendapat tim kroco yang menggantungkan semuanya padaku.

Anehnya, meski tidak terlalu pandai, Bagas dianggap siswa yang berprestasi dan sering mendapat surat dispensasi.

Enak sekali mereka yang jarang masuk sekolah dengan alasan dispensasi. Tidak belajar tapi dikenal sebagai siswa berprestasi. Bagas orangnya memang lawak tapi juga atlet paskibra.

"Zea aja yang presentasi, pasti sangar, kayak orangnya," tunjuk Bagas.

"Malas ah. Saka saja," tolak Zea.

"Aku tidak bisa," kataku mengetik dengan cepat.

Zea buang muka sambil mengecutkan bibir, sengaja menghembuskan napas agak keras.

"Dasar mental tempe!" katanya.

"Kenapa tidak bisa?" Athaya ikut mendesak.

"Pokoknya tidak bisa," kataku, tidak bisa berkelit.

Tidak mungkin juga kujelaskan ke mereka yang sebenarnya. Belum ada yang tahu bahwa aku bisu, termasuk Bagas.

Meski selalu merasa berdosa telah membohonginya, namun setahun, terlalu cepat rasanya untuk memberi tahunya. Bahkan kalau bisa, sampai lulus, rahasia ini akan kujaga saja.

"Ya sudah, aku saja," Athaya mengajukan diri.

Ini sudah presentasi ke sekian kali yang tidak bisa kutaklukkan. Aku terus-terusan meminta teman satu kelompok mempresentasikan hasil kerja kami.

Meski punya keberaniannya, aku tetap tidak bisa melakukannya. Terlalu sulit melakukan di depan umum tanpa penghalang apapun.

Tak masalah jika cuma melepas masker, tapi mulut yang harus bergerak seolah-olah sedang bicara, aku belum terbiasa.

Belum lagi speaker di dagu yang terkesan seperti tindik, haruskah tetap kusembunyikan?

Cacat Bicara [ TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang