Melawan Rasa Kasihan

36 12 46
                                    

Aku dan Inara mengambil podium masing-masing. Kami berdiri berseberangan. Seperti yang kuduga, penontonnya memang sangat banyak.

Bahkan kursi yang disediakan panitia, tidak mencukupi untuk jumlah mereka. Kebanyakan yang berdiri di belakang sih laki-laki karena masih banyak lelaki ramah untuk mendahulukan perempuan saja yang duduk.

Ya meskipun mereka melakukannya sambil menggoda, dan tidak semua perempuan merasa nyaman ketika digoda laki-laki di tempat umum. Apalagi secara terang-terangan.
    
Beberapa guru memang mengizinkan siswanya menonton debat ini karena mereka sendiri juga ingin menyaksikanku berdebat dengan Inara.

Namun, ada saja guru yang sangat ketat, tidak membiarkan siswanya keluar dari jam pelajaran bahkan tetap memberikan tugas ketika ada acara sekolah biasanya, bukan hanya pada acara debatku saja.

Guru seperti itu, pasti mendapat cukup banyak makian dari siswanya.
 
Untungnya di kelas kami, semua teman-temanku hadir di ruangan ini. Aku benar-benar butuh dukungan mereka.

Mereka sengaja berkumpul di satu spot sebagai pendukungku agar mereka kompak ketika tepuk tangan, tidak terpecah-pecah.

Dan cewek-cewek yang biasanya paling berisik di kelas, juga teriak dan membuat perhatian orang-orang sedikit teralihkan.

Perhatian orang lain padaku akhirnya berkurang, tegang juga terus dipandang banyak orang.

Ibu Zahra sudah menaiki tangga, berjalan menuju tengah panggung, membelah podiumku dengan Inara.

Beliau memberikan sambutan ke siswa dan dua dewan juri selain dirinya, serta sedikit menjelaskan latar belakang kenapa debat ini sampai diadakan.

Ibu Zahra sudah siap membacakan mosi di kertas di tangannya. Dan kertasku juga sudah kutaruh di podium, siap untuk kuutarakan.

"Silakan Saka dan Inara ke depan untuk mengambil undian, sebagai tim pro atau tim kontra,"

Beliau mengambil mangkok bulat dengan kaca terang yang sudah penuh diisi salju terbuat dari gabus.

Inara mengambil undian.

"Kontra," kata Inara setelah membuka gulungan kertas yang diambilnya. Otomatis aku sebagai tim pro. Kami berdua kembali ke podium semula.

"Mosi untuk hari ini adalah 'Orang Difabel Tidak Perlu Dikasihani'," kata Bu Zahra.

"Silakan Inara, waktu dan tempat Ibu berikan untuk menyampaikan argumen."

Inara sedikit mengangkat kertasnya, tetap berdiri di podium sejajar dengan para pendukungnya yang masih berteriak hingga Inara kesulitan membuka argumen.

"Penonton, harap tenang dulu," Bu Zahra membunyikan mikrofonnya di meja dewan juri.

Inara kembali menarik napas, ternyata gugup juga dia menghadapi orang sebanyak ini meski sudah terbiasa melakukannya. Karena kali ini, bukan cuma debat biasa.

"Difabel(different ability) adalah seseorang yang memiliki keterbatasan fungsi tubuh atau mental sehingga menjalankan aktivitas sehari-hari dengan cara yang berbeda dari orang pada umumnya."

"Penyandang disabilitas harus mendapat dukungan dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para penyandang disabilitas."

Inara menuturkan dengan tenang. Dia membalik kertas kecil, catatan argumennya dan menjaga mulutnya tetap dekat mikrofon ketika menyampaikan argumen.

"Mulai dari memberikan fasilitas yang cukup dari pemerintah seperti menyediakan kursi roda, trotoar yang ramah untuk tunanetra, dan toilet khusus difabel. "

"Serta menyediakan bimbingan psikologis untuk orang-orang yang belum bisa menerima keadaan fisik dan mental mereka,"

Inara menyediakan contoh-contoh konkret. Pasti menjadi poin tambahan bagi dewan juri.

Cacat Bicara [ TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang