4 - Sabtu Sore di Rumah Arkha
Bagi Arkha berdekatan dengan Jihan itu layaknya uji nyali. Bikin gugup dan degdegan tapi anehnya menyenangkan. Itu yang ia rasa selama ini.
Seperti hari ini. Ia kembali bertemu Jihan di fotokopian, tentu saja bukan kebetulan. Arkha ingat kemarin makalah Jihan belum selesai di-print sehingga baru bisa diambil hari ini. Dan sekarang Arkha--- berkat bantuan Resya tentunya--- datang ke fotokopian hanya untuk nge-print dua lembar bahan tugas yang sebenarnya tidak begitu penting. Tentu saja dengan tujuan agar bisa bertemu Jihan, secara kebetulan.
"Loh, Arkha nge-print juga?" tanya Jihan ramah. Arkha yang tengah menunggu abang tukang fotokopi segera menoleh lalu balas tersenyum.
"Iya, Ji. Buat tugas." Omong kosong! Kalau bukan karena Jihan mana mau Arkha nge-print bahan tugas di luar, toh di rumahnya ada printer.
"Bang, makalah punya saya udah beres belum ya? Atas nama Jihan Pradipta."
"Bentar, Neng saya cari dulu." Si abang fotokopi segera mencari makalah tersebut di dalam kardus khusus.
Setelah mendapatkan makalahnya Jihan segera beranjak diikuti Arkha yang juga sudah selesai mengambil kertas materi untuk tugasnya.
"Lo ada kelas pagi, Kha? Kok tadi Caca belum siap-siap pas gue berangkat." Jihan membuka obrolan sembari berjalan keluar dari fotokopian.
"Gak ada, cuman lagi ada keperluan aja sama temen. Kelas gue masih dua jam lagi sih."
"Oh, ya udah gue duluan ya!"
"Em, Jihan!" Langkah Jihan terhenti saat Arkha tiba-tiba memanggil namanya.
"Kenapa?" tanya gadis itu.
"Em, itu handphone gue rusak kemarin. Gue juga ganti nomor. Boleh minta nomor si Caca gak?"
"Oh ... kirain apa. Sini hape lo!" Jihan menadahkan tangan meminta handphone Arkha. Mengetikan nomor Resya di sana.
"Sekalian nomor lo kalau boleh."
"Lo kalau mau nomor gue bilang, Kha." Jihan mendongak, tersenyum geli melihat wajah Arkha yang sedikit merona. "Nih, udah gue save juga nomor lo di handphone gue."
Arkha tersenyum, mengambil kembali handphonenya dari tangan Jihan. Dulu ia punya nomor Jihan dari Resya tapi tak pernah ia hubungi karena tak punya alasan untuk itu.
"Nanti gue hubungin lo kalau si Caca ngebo, biar minta lo buat bangunin dia." Arkha hanya bercanda saat mengatakan alasan tersebut. Tapi candaannya ternyata berhasil membuat senyum di wajah Jihan memudar seketika.
Demi Caca ternyata.
"Udah selesai 'kan? Gue mau ke kelas."
Arkha mengangguk cepat dengan senyuman tampan. "Udah kok. Thank's ya." Tanpa tahu bahwa ada hati yang kembali berantakan karena senyumannya.
***
Memeriksa kembali laporan keuangan dan segala tetekbengeknya sudah bukan hal yang baru bagi Aresh. Ia terbiasa dengan pekerjaannya bahkan sejak bekerja di perusahaan mertuanya dulu. Iya, dulu sebelum gugatan cerai itu melayang ke pengadilan.
Helaan nafas berat terhembus pelan. Aresh memijit pelipisnya saat merasakan kepalanya yang mendadak pening.
Selalu seperti ini.
Mengingat Feli membuat kepalanya pening seketika. Darahnya bergejolak hingga mengantarkan denyut nyeri ke ulu hati.
Cinta kadang sesakit itu. Dan Aresh benci perasaan sakit ini. Rasa sakit karena terlalu cinta. Rasa sakit karena terlalu kecewa. Semua menjadi satu hingga yang tersisa hanyalah hati dengan luka yang kian menganga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Ganteng
Novela JuvenilPernah merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama ke pada seseorang? Resya pernah merasakannya, merasakan euforia jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi sayang beberapa detik setelahnya ia terpaksa harus merasakan patah hati untuk pertama kaliny...