17 - Dia
Semua perkataan Resya terus terngiang di telinga Arkha membuat tidurnya tak nyenyak malam ini. Arkha mendesah lelah lalu bangun. Ia lirik jam yang masih menunjukan pukul 3 pagi. Masih terlalu dini untuk memulai aktivitas.
Dengan segala kegabutan yang melanda, ia singkap selimutnya lalu turun dari ranjang. Mungkin tidur ditemani tiga kucingnya bisa menjadi opsi terbaik saat ini.
Arkha keluar dari kamar lalu mematung saat mendapati Aresh masih berkutat dengan laptop di ruang tengah. Niatan Arkha yang hendak masuk ke kamar sebelah urung, ia belokan langkahnya ke tangga dan menghampiri Aresh di ruang tengah.
"Om belum tidur?" Pertanyaan Arkha ternyata cukup untuk mengagetkan Aresh.
"Kamu bikin kaget aja, Kha."
"Om juga bikin aku kaget tadi, ngapain jam segini masih kerja? Istirahat, Om!"
Aresh membetulkan letak kacamata yang sedikit melorot di hidungnya. "Tanggung, sebentar lagi selesai."
Arkha yang sudah hapal dengan kalimat tersebut menatap malas. "Nanti kalau udah selesai om mulai lagi kerjaan baru. Udah biasa, udah hapal udah hatam aku sama kebiasaan ini."
Aresh tersenyum tipis mendengar omelan khas tersebut. Di rumah ini tak ada perempuan, tak ada manusia bawel yang disebut ibu. Jadi, saat Arkha marah-marah dan mengomelinya, Aresh sedikit terhibur.
"Tapi ini beneran, bentar lagi beres dan om bakal istirahat." Aresh menjeda sejenak ketukan jarinya di atas keyboard lalu menoleh pada Arkha. "Kamu sendiri kenapa belum tidur? Atau justru kebangun?"
"Ya gituh." Arkha duduk di sofa di samping Aresh yang lesehan di atas karpet. Memang itu posisi nyamannya, sudah kebiasaan sejak jaman SMA dulu, sekalipun kuliah di luar negeri kebiasaan ini tak pernah berubah.
Aresh lebih nyaman duduk lesehan di karpet dengan laptop dan berkas-berkas berserakan di atas meja. Posisi ini memudahkannya untuk melihat laptop dan berkas-berkas tersebut walau harus merelakan punggungnya pegal duduk lama seperti itu.
"Aku tadi udah tidur tapi kebangun dan gak bisa tidur lagi." Arkha menyandarkan punggungnya di sofa, kepalanya ikut menyandar membuat wajahnya mendongak. Langit-langit ruangan menjadi satu-satunya hal yang Arkha pandangi saat ini.
"Kamu lagi ada masalah?" tanya Aresh sebelum kembali fokus pada laptopnya.
"Dikit, tapi bukan masalah serius sih, tenang aja."
"Kalau ada apa-apa jangan sungkan cerita, walaupun sibuk om bakal usahain buat bantu."
Arkha mengangguk tanpa suara. Sedetik kemudian ia terinagt sesuatu. "Papa gak pulang ya?"
"Pulang, lagi istirahat di kamarnya."
"Tapi aku gak denger suara mobilnya tadi."
"Kamu udah tidur kali, tadi dia sempet lihat ke kamar kamu kok."
Arkha melirik kesal. "Dih, ngapain?"
"Ya nengokin anaknya yang seharian belum ketemu sama dia."
Perusahaan memang sedang ada project besar membuat Kento dan Aresh sibuk bukan main. Ayah satu anak itu sering berangkat subuh pulang dini hari, bahkan tak jarang sering menginap di kantor. Jangan heran, Arkha sudah terbiasa.
"Baru sehari gak ketemu, apa lagi kalau aku tinggal sendiri di apartment. Lagian, aku udah gede gak perlu dicek udah tidur apa belum." Di mulut bicara pedas seolah kesal. Tapi setiap malam Arkha sengaja tak mengunci pintu, membiarkan papanya menengok keadaannya di dalam kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Ganteng
Roman pour AdolescentsPernah merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama ke pada seseorang? Resya pernah merasakannya, merasakan euforia jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi sayang beberapa detik setelahnya ia terpaksa harus merasakan patah hati untuk pertama kaliny...