Sekolah berjalan seperti biasanya, hanya saja terasa sedikit berbeda bagi dua remaja yang kini sedang terduduk di bangku kantin dengan makanan yang hanya diaduk-aduk. Kepergian Arin ke Jepang beserta kabar memilukan itu terjadi begitu cepat sehingga mereka masih merasa belum siap untuk semuanya.
"Makan Bel, jangan diaduk aja"
"Lu aja deh Dit yang makan, gak mood gue"
"Yauda si mana"
"Hilih babii" kata Bela sambil menyodorkan mangkoknya ke arah Adit "Gue ke Jepang juga kali ya"
Perkataan itu sukses membuat Adit tersedak pentol
"Lu gila ya? Mau ngapain? Jadi artis?"
"Artis boleh juga si"
"Gak beres nih cewek"
Di tengah perdebatan mereka yang sangat tidak penting, Bela menangkap objek seseorang yang tengah datang menghampiri mereka. Lelaki itu sangat tidak asing dan Bela merasa bahwa ia harus menyiapkan tenaga besar untuk menahan kemarahan Adit sebentar lagi.
"Halo Bel, Dit. Tau Arin dimana nggak?" ucapnya tanpa basa-basi
"Eh kenapa Vind, tiba-tiba banget nanyain Arin?"
Ya benar, lelaki itu adalah Arvind, lelaki yang dulu pernah menjadi belahan jiwa Arin tetapi lebih memilih untuk jatuh pada pelukan wanita lain. Adit yang awalnya sangat menikmati pentolnya kini mulai naik pitam melihat wajah lelaki yang paling dibencinya saat ini. Tanpa banyak bicara, ia tersenyum tulus pada Arvind sebelum akhirnya menghantam muka Arvind dengan pukulannya. Sontak saja keadaan kantin langsung ricuh.
"BERANI YA LO NANYAIN ARIN SETELAH SEMUA YANG LO LAKUIN, BRENGSEK!!" Cengkraman Adit pada kerah seragam Arvind makin kuat seolah menggambarkan kemarahan yang sudah ia timbun sejak dulu, "JANGAN PERNAH TANYA APAPUN SOAL ARIN KALO LO MASIH MAU HIDUP" Perkataan itu sekaligus menjadi penutup dari setiap gertakan yang diberikan oleh Adit, jika bukan Bela yang menahannya, mungkin semuanya masih belum berakhir.
Di sisi lain, Arvind yang tidak siap dengan semua ini hanya sibuk menahan perih di sudut bibirnya yang sudah berdarah dan berusaha mencerna apa yang sedang terjadi sekarang.
--
Setelah menerima pertolongan pertama di UKS, Arvind menuju ke kantor guru untuk menemui wali kelas Arin, Bu Risma.
"Permisi Bu, saya mau tanya Arin belakangan ini sering tidak masuk sekolah kenapa ya Bu? Padahal senin besok kan sudah ujian?"
"Arin sudah tidak mengikuti pembelajaran di sekolah ini lagi, Arvind"
"Hahh? Kok bisa Bu?"
"Ada sesuatu yang harus dilakukan sama Arin sehingga dia dipindahkan ke tempat lain"
Seolah semakin tidak mengerti dengan situasi yang dihadapinya sekarang. Arvind berlagak seperti orang linglung yang kehilangan jalannya untuk pulang. Kini dia berakhir di kamar mandi sekolah, mencuci wajahnya di westafel kemudian menatap pantulan diri di hadapannya.
"Gue perginya kelamaan ya, Rin?"
--
Lembaran hari sudah berganti ke lembar yang baru dan sekarang adalah pekan ujian bagi siswa kelas akhir. Sebentar lagi mereka akan lulus dan melanjutkan pendidikannya masing-masing ke jenjang yang lebih tinggi atau mungkin waktu bagi mereka untuk mulai bekerja. Tiap siswa sudah sangat siap dengan lembaran soal yang ada di hadapan mereka saat ini, dengan segenap kemampuan yang dimiliki masing-masing siswa, mereka mulai mengerjakannya dengan sepenuh usaha. Ada yang dengan yakin menghitamkan jawaban pada lembar yang dikumpulkan itu, ada pula yang disertai dengan keraguan dalam menggoreskan tiap jawabannya.
Bel tanda waktu pengerjaan telah selesai berbunyi selama beberapa hari terakhir, menandakan pekan ujian sudah usai. Semua siswa berhamburan keluar kelas dengan perasaan yang berbunga-bunga mengingat liburan juga akan segera tiba. Di samping itu mereka juga harus bersiap mencari universitas mana yang siap menampung mereka beberapa waktu ke depan. Di tengah riuhnya koridor sekolah, terdapat seorang siswa lelaki yang sibuk dengan handphonenya sambil sesekali menempelkan benda itu di telinganya seperti mencoba menghubungi seseorang.
"Angkat dong, Rin"
Beberapa waktu lalu setelah bertanya pada wali kelas Arin, Arvind berhasil menghubungi Arin lewat chat. Ternyata nomor yang Arin gunakan masih sama seperti yang dulu dan hal itu membuatnya sedikit lega. Respon yang diberikan oleh Arin pun masih sama, sangat hangat. Mengetahui fakta itu membuat Arvind merasa sangat bersalah atas semuanya. Dulu tak seharusnya Arvind melepaskan Arin begitu saja.
Kini Arin sudah jauh secara fisik dengannya, apakah sudah terlambat baginya untuk sekedar meminta maaf dan mengharapkan kesempatan yang lain dari cinta pertamanya itu? Dan di sinilah ia berakhir sekarang, lapangan basket sekolah, tempat pertamanya bertemu dengan gadis cantik nan manis itu. duduk dan hanya meratapi segalanya yang biasa disebut dengan masa lalu itu.
"Andai gue bisa cerita"
--
pov : Arvind
"KENAPA SI PAPA GAK PERNAH BISA NGERTIIN ARVIND?"
"Berani ya kamu sekarang bentak Papa!"
"ARVIND GAK PEDULI PA!! ARVIND CUMA MAU HIDUP SAMA APA YANG UDAH ARVIND PILIH!!"
"Kalo gitu pergi kamu dari sini Arvind, Papa gak butuh anak kaya kamu! PERGI!!!"
"Arvind juga gak butuh Papa yang kerjaannya jadi pelacur"
Tanpa berpikir panjang Arvind menyetujui keputusan itu dan pergi dari rumahnya dengan hati yang sudah tidak berbentuk. Papa yang selama ini selalu menjadi kebanggaannya ternyata begitu munafik.
Begitulah cara gue lepas dari orang-orang yang gak berguna bagi diri gue sendiri, jahat emang tapi gue dibohongi! selama ini gue dibohongi!. Kalian kira atas dasar apa gue pacaran sama Key? Gue dijual sama Papa gue sendiri karena kesalahannya! Suatu hari Papa pergi ke hotel ternama sama selingkuhannya dan melakukan hal yang gak seharusnya. Di saat yang bersamaan ada Key di sana dan kebetulan liat Papa sampai akhirnya tahu semuanya. Mereka yang sama-sama gak mau dirugikan buat perjanjian dimana gue yang kena batunya. Sampai pada suatu hari gue maksa Key buat cerita apa yang sebenarnya terjadi. Disaat itulah gue memilih untuk berontak yang berujung sama perceraian Papa dan Mama gue.
Hal tersakit yang gue dapat adalah gue kehilangan semuanya, termasuk Arin. Orang yang dari awal udah gue cinta, banget. Dan sekarang? Yang bisa gue lakuin adalah lari buat ngejar dia seelum jaraknya makin jauh. Tapi? Apa dia mau jalan bareng sama gue ke depannya nanti?
--
Setelah cukup lama menenangkan dirinya dan mengenang sedikit kisah yang tersisa di antara dirinya dengan Arin, Arvind beranjak menuju parkiran sekolah untuk mengambil motornya dan segera pulang ke rumah sebelum hari semakin sore.
"Ma, Arvind pulang"
Sebelumnya selalu ada jawaban setelah ia mengatakan hal tersebut, namun sekarang semuanya berbeda. Mamanya sudah tidak lagi 24 jam di rumah. Wanita itu harus bekerja di sebuah kantor untuk menyambung hidupnya dan anak semata wayangnya akibat perceraian yang dilakukan beberapa waktu lalu.
"Pria bajingan!" umpatnya seraya menangis
.
.
.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Tragedy
Teen Fiction(20.04.19) sebuah daun kering hanya bisa mengikuti apapun yang dihembuskan oleh sang angin, menimbulkan sebuah takdir yang bahkan tak diketahuinya. Entah berakhir mengenaskan atau dibawa sang angin ke tempat yang indah, kita tidak pernah berakhir di...