Kenangan

23 7 2
                                    

Selamat membaca ya, teman-teman:)

Arin, kamu ikut klub fotografi ya?

Eh, iya Vind hehe

Bagus deh kalo gitu

Kenapa emangnya?

Ya, kita bisa ketemu terus

“Sa ae lu” tentu saja Arin mengumpat dalam hatinya saja, mana mungkin dia berani mengatakannya pada Arvind. Dia sadar, meskipun percakapannya dengan Arvind hanya sebentar, semua ini sudah berhasil membuat pipinya memerah sempurna.

“Arvind gila! Semua cowok sama aja ya ternyata, nggak pekaan” gumamku masih dengan perasaan yang sama.

TOK TOK TOK

Terkejut mendengar pintu kamar yang diketuk, aku segera menyadarkan pikiranku kembali.

“Arin... cepetan mandi, bentar lagi papa pulang kita langsung makan malam!” teriak mamaku dari balik pintu.

“Iya, Ma” jawabku seraya melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 5 sore

Setelah mandi, aku tidak langsung makan karena papa belum pulang dan mama masih menyiapkan beberapa menu lagi. Sebenarnya aku ingin sekali membantu mama, tapi mama selalu saja menolak, alasan yang diberikannya juga selalu sama, menurutnya aku tidak boleh terlalu lelah. Aku tahu semua itu benar adanya, karena aku adalah orang yang sedang “sakit”.

Aku mengambil sebuah buku di meja belajarku, tampilannya memang sangat sederhana, hanya menampilkan goresan minimalis yang membentuk wajah dari seorang gadis dengan beberapa bulan di atas kepalanya. Dia menggenggam setangkai bunga, mencium baunya yang tampak begitu wangi dan menutup matanya. Memang terlihat sangat tidak berguna, tapi buku ini kudapatkan dari seseorang yang begitu hebat yang bisa membuatku berjuang sampai sejauh ini. Lagipula seluruh perjalananku sudah tergores dengan rapi di sini.

(05.02.17)
Tuhan, apapun bisa kuterima sekarang. Selama ini yang kutunggu memang malam berbintang, tetapi jika kehendakmu akan mendatangkan gerhana yang membuat semua gelap. Aku tak bisa berbuat apapun. Aku suka waktu dimana papa membelai rambutku dan waktu saat mama menghias wajah cantiknya dengan senyuman, satu saja doa dari seorang anak yang sedang berjuang ini, Tuhan. Jadikan mereka orang tua paling bahagia nantinya, meskipun aku sudah tiada.

“Arin.. ayo makan, sayang” perintah mama yang langsung kuiyakan.

Aku menaruh buku itu kembali pada tempatnya, sambil mengenang betapa bahagianya diriku dulu, masih sanggup tertawa meskipun aku terbaring dengan infus yang menancap, masih sanggup bergurau meskipun semua serasa tak mungkin lagi, tapi kini salah satu dari sisi tawaku itu sudah benar-benar pergi dan aku hanya bisa menerima. Aku segera ke meja makan meninggalkan tangis yang sempat menetes membasahi buku diary itu.

Kini semua sudah berkumpul di meja makan, papa, mama, kakak dan aku. Terkadang saat berkumpul seperti inilah yang menjadi waktu krusial bagiku untuk menangis. Tidak bisa dipungkiri, aku sudah sangat menyusahkan mereka, keluargaku. Dan hal yang perlu kulakukan di sisa hidupku hanyalah berjuang sampai waktunya benar-benar tiba.

“Arin, gimana sekolah barunya, Nak?” tanya papa yang tentunya membuyarkan ketenanganku.

“Mmm.. ya gitu, Pa” jawabku sambil tersenyum

Our TragedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang