Langkah Pertama

36 8 3
                                    

Hari pertamaku di sekolah bisa dibilang tidak terlalu baik. Atau mungkin disebut buruk? Atau justru sial? Tapi bukannya hampir setiap hariku memang begitu? Bahkan sebelum menginjakkan kakiku di kota baru dan juga sekolah baru, termasuk suasana yang baru. Anggap saja hari pertamaku di sekolah baru kemarin, sebagai pengingat diriku di masa depan. Itupun kalau aku masih bisa bertahan dengan segala tetek bengek penyakit sialan ku ini.

Ah, selain kejadian buruk di hari pertama masuk sekolah baru, tidak banyak hal yang aku ingat selain aku berkenalan dengan beberapa teman baru. Atau tepatnya hanya Keisha dan Arvind? Hahah, aku tidak terlalu berharap bisa mendapatkan banyak teman disini. Bahkan sebelumnya pun aku tidak memiliki banyak teman di kota tempat tinggalku yang lama.

Bicara tentang arvind, apa aku boleh menyebutnya sebagai teman baru hanya karena dia menolongku ketika pingsan? Umm, aku tidak yakin. Tapi mengingat kebaikannya, aku sangat ingin menyebutnya sebagai teman. Teman yang baik. Bagaimana tidak? Setelah berkenalan kemarin, dia mengantarku pulang dan ini adalah pertama kalinya bagiku, luar biasa untuk diriku yang begitu kaku. Bahkan kami saling bertukar nomor meskipun tidak ada pesan masuk tadi malam. Sekali lagi, memangnya siapa aku? Selalu saja begini, berharap pada sesuatu yang tidak pasti mengapa selalu menyedihkan?

Menginjakkan kakiku di depan kelas yang sudah ramai oleh obrolan-obrolan siswa-siswi, aku berharap hari kedua di sekolah baru akan lebih baik dari kemarin. Atau setidaknya jangan ada drama pingsan lagi. Entah, siapa lagi yang akan direpotkan olehku kalau saja aku mendadak pingsan. Cukup Arvind saja.

“Pagi Rin...”

Aku menoleh saat panggilan ramah itu mampir di telingaku. Adit, Ketua kelas dengan tampang ramahnya yang hangat. Hampir sama dengan Arvind, hanya saja ada suatu hal kecil yang berbeda, akupun tak tahu apa itu.

“Ah ya pagi Dit.”

“Gue denger lo kemarin pingsan? Lo baik-baik aja kan?” Tanyanya dengan nada penasaran.

Aku belum terlalu terbiasa dengan panggilan Lo-Gue yang memang biasa digunakan setelah pindah ke kota ini. Tapi setelah ini mungkin aku kan lebih terbiasa.

“Aku baik, cuma kecapekan aja sih. Aku pindah belum lama, jadi mungkin masih menyesuaikan.”

Adit mengangguk-angguk menanggapi jawabanku. “Oh ya, gue Cuma mau nyampein kalau Lo mau ikutan ekstrakulikuler atau enggak. Walaupun kita udah kelas 3 dan gak wajib punya kegiatan ekskul, tapi kita masih dibolehin ikutan. Jadi gimana?”

“Emm ekskul ya... Aku belum kepikiran mau daftar ekskul apa sih, Dit.”

“Its okay Rin. Ekskulnya bukan ekskul wajib. Gue cuma nawarin aja siapa tau lo berminat daftar salah satu ekskul disini. Kalau lo ada kepikiran buat daftar, lo temuin gue aja.”

Aku mengangguk setuju atas tawaran Adit. Aku memang belum terpikirkan mau masuk ekskul atau tidak. Aku mungkin akan fokus belajar karena ini tahun terakhir SMA. Ya, seharusnya kan seperti itu.

“Oke, terimaksih dit.”

“Hmm gak masalah"

Beberapa menit setelah Adit kembali ke mejanya dan mengobrol dengan anak lain, bel masuk berbunyi. Sepanjang pelajaran hari itu aku sedikit tidak fokus. Beberapa hal tak penting mampir ke pikiranku dengan sengaja. Memikirkan Arvind misalnya. Ya, seperti semalam, pagi ini pun aku masih memikirkan lelaki itu. Bagaimana kabarnya hari ini? Apa dia juga sedang melamunkan diriku, seperti aku yang tak bisa lepas darinya? Apa kami akan bertemu lagi hari ini?

“Shafarin Aluna, berhenti mikirin Arvind terus deh, plis. Fokus belajar fokus belajar. Oke!” Gumamku tanpa ketahuan yang lain sebelum aku fokus dengan pelajaran yang diterangkan oleh guru di depan kelas.

Seperti biasa, hari ini aku akan pulang sendirian. Tapi sebelum benar-benar pulang, aku memilih duduk di pinggiran lapangan basket, bergabung dengan siswi lain yang memerhatikan beberapa murid pria sedang bermain basket dengan seragam sekolah yang sudah basah oleh keringat.

“Pantas aja ramai. Orang itu yang main basket cowoknya keren-keren.” gumamku sendiri memerhatikan murid perempuan yang terang-terangan mengagumi beberapa pemain basket yang bisa dibilang tampan.

Di sekolah lamaku ada juga yang seperti itu. Namanya Samuel, ya walaupun Samuel tidak lebih tampan dari salah satu murid pria yang sedang bermain basket di tengah lapangan itu, tapi Samuel adalah murid paling populer dikalangan murid perempuan di sekolahku yang dulu.

Mengalihkan perhatian dari tengah lapangan, aku melihat pepohonan yang tumbuh di sekeliling lapangan basket. Musim hujan membuat semua terlihat lebih indah, bunga yang tadinya kering kini sudah mulai bermekaran, kumbang dan kupu-kupu sudah mulai beterbangan ke sana kemari dengan anggunnya. Dan tunggu... mataku menangkap sosok tampan itu lagi, membawa kamera, mukanya terlihat begitu lelah di antara kerumunan itu, tetapi tetap tersenyum manis dan begitu hangat. Aku memandanginya terus tanpa sadar wajahku sudah terlihat bodoh. Tuhan, bagaimana mungkin kau menciptakan manusia setengah malaikat seperti itu. Setelah cukup lama aku terpaku oleh keindahan seorang Arvind, aku sedikit terkejut ketika menyadari bahwa, kerumunan itu ternyata adalah anak-anak klub fotografi, terlihat jelas dari kaos yang mereka gunakan. Sedetik kemudian aku mendapatkan ide yang sangat cemerlang.

“Aku akan segera bergabung bersama kalian, dengan begitu aku akan selalu tersenyum sampai benar-benar gila, bukan? Arvind..... aku datang”

Setelah memastikannya dengan mantap, esoknya aku segera mendaftar ke klub fotografi.

“Apakah saya harus memiliki kemampuan yang hebat agar bisa diterima?”

“Hei, tentu saja tidak, kita di sini sama-sama belajar”

“Oh, baiklah kalau begitu saya akan bergabung”

“Oke, silakan mengambil form yang sudah kami sediakan, mulai minggu depan kau sudah bisa bergabung dalam kegiatan kami”

“Benarkah? Terima kasih banyak”

Tak kusangka akan semudah ini, bahkan tanpa tes apapun? Apa mereka kekurangan anggota? Ya sudahlah, langkah pertama sudah kudapatkan kini saatnya berjuang hehe. Entah berjuang untuk apa? Untuk Arvind mungkin?

Hari demi hari sudah terlewati, satu minggu yang kunantikan akhirnya tiba, aku sangat senang tetapi juga begitu gugup. Sungguh sangat berlebihan. Di hari pertamaku ini aku hanya mengikuti pembagian materi fotografi untuk para pemula, tidak banyak yang bisa dilakukan, ternyata ini sangat membosankan. Di sisi lain sosok yang kutunggu kehadirannya itu juga tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Setelah materi usai, kami langsung diperbolehkan pulang, apa-apaan ini? Aku semakin merasa tidak ada gunanya di sini.

“Aku hanya membuang umurku untuk hal yang sia-sia, sialan! Kurasa mengikuti kelas memasak akan jauh lebih baik daripada harus diam memerhatikan ucapan kakak-kakak idiot itu! Aku ingin mengutuk mereka! Apa susahnya memotret? Mengapa harus ada materi yang tidak jelas dan hanya memenuhi kepala aja, sih”

Aku merutuki diriku sendiri atas kebodohan yang kulakukan, untuk apa aku bertindak sampai sejauh ini? Bahkan melirikku saja dia enggan, mungkin. Ternyata benar kata orang, cinta bisa terasa sebodoh ini. Hari ini aku tidak melihatnya sama sekali di sekolah, aku rasa masa bagi kita berdua sudah selesai.

TINGG!!

Aku bisa merasakan ada pesan masuk dari HPku yang bergetar, tetapi aku sedang malas membukanya lagipula aku masih dalam perjalanan pulang, jadi kubiarkan saja. Sampai di rumah aku langsung merebahkan diriku di kasur yang selalu menggoda seseorang untuk menjadi pemalas. Ketika aku membuka HP, betapa terkejutnya aku, ternyata pesan tadi dikirimkan oleh Arvind.

“Tau gini, dibuka di jalan tadi juga bisa kan, hehe”
.
.
.
.
.
.
.
Maaf baru bisa update lagi ya teman-teman, minggu kemarin ada beberapa hal yang tidak bisa diganggu gugat. Terima kasih sudah setia dan sabar menunggu, ehehee. Selamat membaca:)

Our TragedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang