Jakarta, 2022.
Seorang gadis tengah duduk bersantai disebuah taman sepi dekat kantornya selepas pulang kerja. Gadis itu ialah Roro Ayu Wulansari. Ditemani segelas coklat hangat yang baru ia beli sembari menikmati udara dingin malam, ditemani ribuan bintang yang bertebaran di malam yang cerah ini.
Purnama pun tidak seperti biasanya, bulan tampak tak malu untuk mamancarkan kilaunya, seolah menemani gadis kecil yang hidup sendiri ditengah hiruk pikuk kota Jakarta.
"Menunggu sempurna itu hanyalah menghalangi kamu dari berproses. Yang penting itu progress. Ga perlu sempurna, kamu hanya perlu melakukan yang lebih baik dari sebelumnya"
Wulan tersenyum melihat quotes salah satu postingan yang lewat di beranda social medianya. Tangannya tergerak untuk menyukai postingan itu.
Quotes itu sangat relate dengan keadaanya saat ini. Dituntut untuk jadi sempurna, salah satu penyakit yang menjangkit banyak orang termasuk dirinya sendiri bernama perfeksionis.
Well, itulah yang dirasakan Wulan setiap hari. Hidup sendiri sebagai perantau di kota metropolitan,hingga ia harus dipaksa dewasa oleh keadaan. Ibunya meninggal ketika ia berumur empat tahun sedangkan ayahnya meninggal saat ia kelas 2 SMA. Setelahnya, ia hanya tinggal dengan sang kakak yang kini sudah berkeluarga.
Wulan belajar mati matian hanya untuk mendapatkan beasiswa dan masuk ke universitas impian almarhum ayahnya, hingga impian itu tercapai dan sampai dititik ini dimana ia sudah bekerja di salah satu perusahaan besar berkat impian ayahnya.
Rasanya ingin menangis mengingat perjuangannya, karena menjadi sarjana bukanlah impiannya. Gadis itu tau, ia bukan dari keluarga berada. Ia bekerja sangat keras untuk dapat mencapai semua ini, ada impian orang tua yang ia tanamkan dalam hatinya.
Wulan tak pernah sekalipun menyalahkan ayahnya, ia yang menuntut dirinya sendiri untuk bisa memenuhi keinginan ayahnya. Tetapi Wulan tetap bersyukur bahkan sangat bangga pada dirinya sendiri, ia berhasil melewati semua ini
Wulan juga terus berterima kasih kepada kakaknya yang selalu mendukung Wulan untuk menempuh pendidikan sampai sang kakak rela untuk tidak menikah sebelum Wulan lulus kuliah.
Kini, kakaknya sudah berjaya, gagah dengan balutan baju loreng khas abdi negara dan hidup bahagia dengan keluarga kecilnya di pulau sebrang. Andai ia bisa bertemu lagi dengan ayahnya walau hanya satu menit, Wulan hanya ingin berkata bahwa ia berhasil.
Wulan meletakkan ponselnya, gadis itu menatap gemerlap bintang di langit dengan tangan yang terkepal di depan dada. Gadis itu sedang berdoa untuk kedua orang tuanya yang sangat ia rindukan.
Harta yang ia miliki sekarang tak ada artinya jika dua orang paling penting dalam hidupnya telah tiada. Gadis itu benar benar kesepian.
Wulan memejamkan matanya, ia mulai mencurahkan segala harapan dan keinginannya, semoga semesta mengabulkannya.
"Beri aku kebahagiaan tuhan"
Satu harapan terakhir ia ucapkan dengan begitu tulus dan putus asa. Satu persatu air mata mulai jatuh dari mata indahnya, gadis itu terisak pelan.
Hidupnya memang terlihat baik baik saja, gadis itu hanya lelah memendam segalanya sendiri. Wulan tak mau menceritakan beban yang ia rasakan kepada kakaknya, ia tidak ingin mengganggu kehidupan kakaknya yang tengah berbahagia sekarang ini. Apalagi, kakaknya sebentar lagi akan menjadi seorang ayah.
Wulan menenangkan dirinya, gadis itu memukul kepalanya pelan. Tak seharusnya ia mengiangat ingat kesedihan ini lagi, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti meratapi nasibnya.
"Lo apaan sih, Wulan. Kan kemarin udah janji ngga akan nangis nangis lagi, huftt" Ucapnya. Gadis itu mengusap pipinya yang basah oleh air mata, ia kembali meminun coklat hangatnya untuk mengembalikan mood.
Wulan meraba kalung yang ada di lehernya, jemarinya melepaskan kalung itu. Ia mengusap liontin berbentuk melati pada kalung yang ia kenakan.
Satu satunya barang paling berharga yang ia punya, kalung emas pemberian ayahnya yang warnanya sudah mulai memudar dan beberapa kali putus. Kalung ini lebih berharga dari segala kekayaan yang ia miliki sekarang. Ayahnya bilang, ini adalah kalung milik ibu dari hasil kerja keras ayah. Sekarang, kalung itu menjadi miliknya.
"Wulan kangeeeeen banget sama ayah dan ibu. Wulan bahkan udah ngga inget wajah ibu terakhir kali" Ucapnya sedih sembari menatap liontin berbentuk bunga melati itu.
Ingatannya benar benar payah, ia hanya tau wajah ibunya bermodalkan foto pernikah kedua orang tuanya, selebihnya hanya samar samar.
Matanya menelisik menatap cahaya yang memantul diliontinnya, gadis itu mendongak melihat bulan yang terang benderang sampai sinarnya bisa ia lihat dari pantulan kalung.
Wulan menatap bulan purnama dan kalungnya selama bergantian. Bibir manis itu mulai melengkung membentuk senyuman.
"Wah, kok bisa sih. Tumben bulannya gede banget, gak kaya biasanya" Ucapnya dengan mata berbinar menatap bulan di langit. Tangannya tergerak untuk menyimpan kalung kesayangannya ke dalam saku jaket jeans miliknya yang ia letakkan di samping tempat duduknya.
Mata Wulan menatap cahaya aneh di langit, seperti ada sebuah cahaya berwarna putih kecil yang bergerak kesana kemari dengan cepat. Gadis itu menatap aneh melihatnya, batinnya bertanya tanya.
Itu bintang? apa pesawat? Kok larinya cepet banget? Emang bintang bisa lari?
Alisnya menyatu menatap dengan keheranan, bahkan mulut gadis itu ternganga tak mengerti. Tak disangka, tiba tiba cahaya itu menuju kearahnya dengan cepat.
"KYAAAAA"
Wulan berteriak kaget. Spontan gadis itu memejamkan matanya dan menunduk, cahaya putih itu benar benar menuju ke arahnya dan begitu menyilaukan mata.
Jantungnya sampai berdebar debar karena ia begitu kaget, Wulan panik bukan main. Gadis itu pun mulai berkeringat dingin, ia harus cepat cepat pulang.
Astaga, apa itu tadi?
Pelan pelan Wulan membuka matanya, dengan jantung yang masih berdebar ia kembali dikagetkan dengan kemunculan sesosok manusia tepat didepannya. Matanya melotot melihat seorang laki laki berdiri tepat didepannya. Tanpa mengenakan busana alias TELANJANG.
Dengan posisinya yang duduk, tentu mata Wulan yang suci ini langsung berhadapan dengan "itu" laki laki di depannya.
Dengan mulut menganga, matanya mulai naik menatap siapa laki laki mesum ini. Kedua mata mereka saling bersitatap, setelahnya pandangan Wulan mulai menggelap.
Wulan pingsan.
👑👑👑
Halo! ini sasacutiess1803. Ini adalah cerita pertama aku guys, aku bener bener masih jelek banget dalam hal menulis. Oiya, aku juga kurang begitu paham sama penggunaan tanda baca. Tolong di koreksi yaaa entah itu kesalahan tanda baca, typo, atau lainnya :D
Aku sangat berterima kasih buat kalian yang mau mengoreksi, memberi kritik yang membangun, vote, komen, atau bahkan hanya untuk sekedar membaca cerita ini. Karena melalui cerita ini, aku berharap bisa belajar tentang menulis yang baik dan benar sekaligus dipraktikan guyss, biar terbiasa😆
Terima kasih<3333
KAMU SEDANG MEMBACA
PURNAMA
Historical Fiction"Aku Raja Hayam Wuruk pemimpin kerajaan Majapahit , dengan ini menyatakan bahwa mulai sekarang kau resmi aku angkat menjadi pelindung raja selama aku berada di tempat aneh ini" Sedetik kemudian, lengan kekar itu menarik pinggang kecilnya. Bibir pri...