Majapahit, 1357
Seorang Raja muda tengah berendam di sebuah petirtaan, matanya terpejam menikmati dinginnya air yang mulai merasuk kedalam kulit tembaganya. Ditemani kicauan burung yang saling bersahutan, Hayam Wuruk tengah memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.
Setelah peristiwa besar beberapa waktu lalu, ia merasa begitu tertampar. Pernikahannya dengan sang putri kerajaan Sunda harus diperabukan. Ia tak menyangka, Mahapatih yang begitu ia percaya ternyata berkhianat. Namun Hayam juga bodoh, ia sadar betul dengan ambisi Mahapatih Mada yang begitu gencar ingin menguasai Nusantara, termasuk kerajaan Sunda.
Seharusnya ia tak sepenuhnya menyerahkan urusan pernikahannya pada Mahapatih Mada. Menjadikan calon istrinya sebagai upeti, sama saja mencoreng harga diri Kerajaan Sunda. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Calon istrinya tak akan kembali, yang sudah terjadi biarlah terjadi. Yang perlu ia lakukan hanya memperbaiki.
Hayam memberi cuti panjang kepada Mahapatinya, memang secara tidak langung ia mengusir Mada secara halus dari Majapahit untuk sementara. Mulai sekarang, Hayam tidak lagi bergantung pada Mahapatih Mada dalam mengambil keputusan, ia akan terjun secara langsung. Ia juga berjanji akan merubah pemerintahan Majapahit menjadi lebih terbuka.
Belum lagi, hasil perundingan para petinggi kerajaan tadi pagi yang membuatnya semakin pusing. Baru saja calon istrinya meninggal dunia, ia sudah dijodohkan dengan putri Sudewi, sepupunya sendiri. Kadang Hayam berfikir, mengapa ia harus dilahirkan sebagai seorang raja.
Raja harus menikah dengan seorang putri raja juga, pernikahan juga terjadi bukan atas dasar cinta tetapi pemerintahan. Hayam ingin menemukan cintanya sendiri, hidup bahagia dengan keluarga kecilnya.
Jika bisa memilih, Hayam hanya ingin terlahir sebagai manusia biasa. Ia bebas melakukan apapun yang ia mau tanpa menanggung beban seorang Raja. Ia ingin hidup dimana manusia bisa berkembang, miskin bisa menjadi kaya, kaya bisa menjadi miskin.
Hidup ini adalah ajang persaingan antar manusia, bukan perebutan wilayah. Semua orang bisa jadi raja, semua orang sama rata. Tidak mungkin ada yang ingin dilahirkan sebagai manusia dengan kasta terendah. Sejak saat itulah Hayam bertekad untuk lebih fokus dalam mensejahterakan rakyatnya, perluasan wilayah ia serahkan pada Mahapatihnya
Entahlah, argumen argumen semacam itu sering muncul di otaknya dan terkadang mengganggunya. Tidak ada lagi perebutan wilayah, semua manusia hidup berdampingan ditengah perbedaan. Saling menghormati satu sama lain, tanpa tau apakah ia seorang bangsawan atau bukan. Karena kita semua terlahir dalam keadaan yang sama.
Hanyam tak pernah mendapatkan jawaban dari pertanyaan pertanyaannya. Jawaban yang ia dapat tidak jauh dari ajaran para dewa dan takdir. Saat dirinya belum diangkat menjadi raja, ia pernah menanyakan hal ini pada ibunya, beliau berkata bahwa hal itu tidak pantas untuk ditanyakan oleh seorang calon raja. Setelahnya, Hayam tak pernah bertanya tentang hal itu lagi.
"Sebentar lagi hujan Yang Mulia" Ucap salah satu pelayan. Ke empat dayang Raja itu menatap cemas saat Hayam tak kunjung mentas. Rintikan gerimis sudah mulai turun, dua dari mereka sibuk memayungi mahkota dan asesoris Raja supaya tidak terkena air hujan.
Langit sudah mulai mendung, seolah mengetahui isi hati Sang Raja yang tengah gundah setiap memikirkan masa depan kerajaannya. Rintikan gerimis mulai turun mengenai wajahnya. Kedua mata tajam itu masih senantiasa terpejam. Hayam justru menikmatinya. Ketika hujan mulai deras, Hayam Wuruk baru menyudahi waktu berendamnya.
oo0oo
Malamnya....
"Tinggalkan semua barang berhargamu Hayam, bertapalah, dan kau akan mendapat jawaban dari pertanyaanmu"
KAMU SEDANG MEMBACA
PURNAMA
Fiksi Sejarah"Aku Raja Hayam Wuruk pemimpin kerajaan Majapahit , dengan ini menyatakan bahwa mulai sekarang kau resmi aku angkat menjadi pelindung raja selama aku berada di tempat aneh ini" Sedetik kemudian, lengan kekar itu menarik pinggang kecilnya. Bibir pri...