RENJUN menatap kosong kamarnya yang kini sudah ia rapihkan, rasa sakit kembali menyergapkan, dadanya sesak mengingat tentang apa yang Jeno lakukan padanya kemarin.
Matanya memanas namun Renjun tidak bisa mengeluarkannya. Ia melepas alat bantu dengarnya dengan paksa dan langsung meletakkannya diatas meja.
Renjun berbaring di pinggir kasur, matanya terpejam, tubuhnya bergetar dan napasnya memburu.
Pikiran-pikiran tentang kemarin masih sangat membekas diotaknya.
Bagaimana Jeno menyentuhnya.
Bagaimana adiknya itu memaksa.
Renjun menekuk kedua kakinya, meringkuk. Ia benar-benar merasa kotor dan hina. Bahkan rasa sakit pada lubangnya pun masih sangat terasa.
Ketukan dipintu kamarnya berbunyi semakin cepat dan Renjun sama sekali tidak mendengarnya.
"Renjun ... Renjun ini aku Haechan! Biarkan aku masuk, ok?" teriak Haechan dari luar namun Renjun hanya terdiam.
Pintu kamarnya tidak terkunci. Jeno sama sekali tidak mengembalikan kunci kamar milik Renjun, pemuda itu berpikir bahwa ia akan menyimpannya agar kakaknya tidak akan pernah bisa lari dari dirinya.
Haechan membuka pintu kamar Renjun secara perlahan, matanya menatap seluruh kamar yang sekarang sudah sangat rapih. Haechan terpaku pada alat bantu dengar Renjun yang dilepasnya di atas meja.
Pemuda tan itu terdiam sebentar, Haechan mengerti jika Renjun mungkin saja tidak mendengar teriakannya karena hal itu.
Kakinya melangkah mendekati Renjun yang memunggungi. Haechan menyentuh lembut bahu Renjun agar tidak begitu mengganggunya.
Renjun tersentak kaget, ia langsung membalikkan tubuhnya menghadap Haechan, pandangan paniknya terlihat begitu jelas.
Haechan langsung menjauhkan tangannya dan meminta maaf dengan bahasa isyarat.
'Maafkan aku, Renjunie. Apa yang mengganggumu?'
Renjun menggeleng lemah, ia mendudukan tubuhnya disamping Haechan yang kini juga duduk di pinggir kasurnya.
'Aku pikir kau Jeno.'
Haechan mengerutkan keningnya bingung saat Renjun menyebutkan nama Jeno.
'Jeno?' ulang Haechan dan Renjun mengangguk sebagai jawabannya.
Haechan langsung menatap seluruh tubuh Renjun namun tidak mendapatkan hal yang membuatnya curiga sama sekali.
'Apa yang dia lakukan padamu?' tanya Haechan.
'Bukan apa-apa, Jeno kemarin hanya mengagetkanku saja, Haechan. Jangan khawatir.' Renjun tersenyum tipis.
Haechan memincingkan matanya dan menajamkan pandangannya pada Renjun. Ia tidak bisa begitu saja percaya pada Renjun, tetapi seorang Lee Renjun bukan pembual ulung, pemuda itu tampaknya tidak pernah berbohong.
'Kenapa melepas alat bantumu?'
'Aku hanya sedang ingin saja ....' Renjun kembali tersenyum pada Haechan, mencoba menyakinkan teman terbaiknya itu.
Haechan mau tidak mau harus percaya pada Renjun yang tidak mungkin berbohong.
Kepalanya mengangguk pelan dan Haechan tersenyum, 'mau main ke rumahku?' tanyanya.
Mengingat banyaknya alat lukis dan alat musik di rumah Haechan membuat Renjun sedikit bersemangat. Tanpa babibu, Renjun langsung mengangguk dengan cepat.
Renjun mengangkat kedua ibu jarinya.
'Ayo!'
"Tidak."
Itu Jeno.
Haechan memutar kedua bola matanya malas, "apa yang kau permasalahkan, bocah?"
"Aku bilang tidak ya tidak. Renjun tetap di rumah, aku harap kau mengerti, Lee Donghyuck." Jeno menekan nama yang ia ucapkan terakhir.
Nama lahir Haechan.
Haechan mendengus kesal dan kemudian tertawa kecil saat Jeno sudah keluar dari kamar Renjun. Sementara Renjun tampak begitu ketakutan, tubuhnya menegang dan Haechan dapat melihatnya.
Haechan benar-benar berpikir bahwa kakak beradik ini mungkin sedang bertengkar, lagi.
'Pulang, Haechan ....'
Renjun mengecup pipi Haechan sebelum menyuruh temannya itu untuk pulang, Haechan mengerti.
'Baiklah ... aku pulang, ya?' tanya Haechan dan Renjun mengangguk.
'Jika kau ada masalah, hubungi aku. Lempar batu ke jendela kamarku kalau kau perlu.'
Renjun tersenyum geli, Haechan benar-benar memperhatikannya. Kepalanya mengangguk menyakinkan Haechan.
Setelah dirasanya sudah cukup, Haechan langsung melangkahkan kakinya untuk pulang, meninggalkan Renjun kembali sendirian.
"Kemana Ibu dan Ayah?"
Jeno bertanya, Renjun menoleh padanya, ia langsung mengalihkan pandangannya. Renjun gugup.
"Aku tanya, Ibu dan Ayah, mereka kemana? Sudah tuli dan sekarang bisu? Tidak bisa bicara?"
Jeno berjalan mendekati Renjun yang beringsut mundur, tangannya yang bergetar menyentuh dada Jeno untuk menahannya agar tidak semakin mendekat.
"Mereka - pergi."
Jeno mengangkat sebelah alisnya, "kemana?"
"Ke - rumah - Nenek."
"Lagi?" Renjun mengangguk dan langsung menghela napasnya lega saat Jeno menjauhi dirinya.
"Aku akan pergi dengan Giselle." Ucap si Adik.
Ia melanjutkan, "jangan menghubungiku saat aku keluar. Giselle tidak menyukainya. Dan jangan bilang pada Ayah dan Ibu jika aku meninggalkanmu sendirian."
Renjun hanya terdiam mendengarkan kata-kata yang Jeno ucapkan padanya.
Jeno sudah berjalan memunggunginya.
Kurang ajar. Renjun tidak boleh pergi ke rumah tetangga tetapi Jeno pergi dengan kekasihnya?
Setelah berganti pakaian, Jeno langsung mengambil kunci motornya serta helm untuk dipakai. Pemuda itu meninggalkan Renjun di rumah sendirian.
Renjun menatap kepergian Jeno dari dalam rumah, ada rasa lega menyeruak dalam dirinya, ia seakan terbebas dari Jeno hari ini.
Ia sungguh tidak masalah jika harus tinggal sendirian untuk hari ini. Bukankah itu lebih baik daripada harus berdiam bersama adiknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
☑️ lost. - noren, hyuckren
Fiksi PenggemarWhen Jeno lost his mind and Renjun lost his life and Haechan who saved his life. TW/CW; incest, disgusting, raped, traumatic. Jeno dengan segala kelakuan paling bodoh didunia yang pernah ia lalukan terhadap sang kakak. "Maaf..." Jika maaf bisa membu...