Cahaya terang menutupi seluruh jarak pandangnya.
Itu sangat silau sampai membuat matanya sakit. Ia memejam sejenak, sebelum membuka matanya kembali ketika merasakan cahaya itu meredup.
Perlahan-lahan apa yang ada di depannya terlihat walau agak buram. Matanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri.
"[Name] sayang..."
Didengarnya suara lembut yang memanggilnya penuh kehangatan.
"Suara ini...."
Ia mengenalnya jelas walau sempat hilang dalam memorinya. Rekaman yang direkam otaknya berputar secara refleks, membuat ia menyadari dengan jelas siapa pemilik suara itu.
"Mama?" gumamnya pelan.
Pupil semerah darah itu perlahan membaik, pemandangan indah terpampang nyata di depannya.
"Ini..."
"[Name] sayang, ayo sini."
Suara itu lagi.
Sesuatu dalam dirinya seperti bangkit setelah tertidur sangat lama. Perasaan yang sudah lama tidak ia harapkan, ia buang jauh-jauh, kini kembali menghampiri.
"Apa-apaan ini?"
Itu indah, seharusnya ia bahagia. Tapi ia tak bisa jatuh begitu saja pada pemandangan yang sudah jelas adalah ilusi semata.
"[Name], sedang apa kamu?"
Suara tegas namun penuh sayang ditangkap oleh indera pendengarnya.
"Ayah?"
"Iya. Mari kita ke sana. Kamu yang mau ke sana, kan?"
Dua sosok bersurai hitam itu tersenyum lembut padanya, menatap ia penuh kehangatan.
Sinar matahari yang mengenai kulitnya terasa hangat, namun hatinya terasa juga ikut disinari matahari. Hangat dan penuh... kerinduan?
"Kakimu sakit, [Name]?"
Wanita yang ia kenal sebagai ibunya berjalan mendekati dengan wajah bingung.
[Name], yang hanya berdiri diam tak bergerak, perlahan menggeleng dengan kaku.
"A-apa ini?" Ia tak tahu kenapa ia tergagap.
"Apa ini? Ini pantai." Sang ibu menjawab tenang. "Kamu kenapa? Kita sudah bertahun-tahun di sini. Kamu tidak mungkin lupa."
Bibir [Name] sedikit terbuka. Hendak melontarkan keterkejutannya, namun tidak bisa.
Jelas ia tahu di mana ini. Ini pantai. Ombak pasang surut tak jauh darinya, pasir lembut ada di telapak kakinya yang tanpa alas. Tapi bukan itu yang ia tanyakan.
Apa ini? Kenapa ayah ibunya masih hidup? Kenapa dia tiba-tiba ada di pantai? Itu hal-hal yang ingin ia tanyakan.
Untuk menjadi mimpi atau ilusi, ini terlalu jelas. Perasaan pasir dan sinar matahari yang mengenai kulitnya begitu realistis.
[Name] menggeleng lagi.
"Kenapa aku ada di sini?"
"Apa?"
"Apa baru saja kamu katakan, [Name]?"
Kedua orangtuanya bertanya keheranan.
Bukan untuk mereka pertanyaan yang baru saja [Name] lontarkan. Tapi pada alam semesta palsu itu.
[Name] menatap tangan dan kakinya.
Ini tubuh anak berusia lima belas tahun yang akan beranjak enam belas tahun. Ini tubuhnya yang sekarang. Ibunya berkata mereka sudah bertahun-tahun ada di sini.
Mereka pindah? Pindah ke pantai. Sepertinya itulah gambaran yang ada dalam dunia palsu ini.
Dia harus pergi dari sini.
Maka [Name] mencubit tangannya sendiri.
"Sstts..." Ia meringis pelan.
"Aku masih di sini?"
Tak ada yang berubah.
"[Name], kamu kenapa?" Rin bertanya dengan khawatir.
"Ini terlalu kuat untuk menahan ku tetap di sini. Cara biasa bangun dari mimpi tidak mempan."
[Name] mulai memikirkan banyak hal untuk pergi dari dunia indah tersebut.
"Aha!"
"Maaf."
[Name] menunduk sedikit.
Sepertinya tak ada cara lain selain yang ia apa yang ada dalam pikirannya.
"Kenapa minta maaf, [Name]? Anak Mama tidak punya salah."
Rin memegangi kedua pundak anaknya, menatapnya dengan lembut.
"Aku ingin tetap di sini, bahagia bersama kalian." [Name] berbicara pelan tanpa menatap ibunya.
"Apa?" Haru dan Rin keheranan bersama.
"Tapi kenyataan masih membutuhkanku. Ini dunia yang mengikatku, seolah tak mengizinkan ku keluar dengan memberikan apa yang aku inginkan."
"..."
[Name] memantapkan niatnya untuk melakukan hal itu.
Bagaimanapun, ia masih harus memberi salam perpisahan karena ini terlihat sangat realistis.
"Perasaan ini sudah kubuang. Maaf tapi aku benar-benar harus bangun."
"[Name] apa yang kamu bicarakan?"
"Aku berharap kalian tenang di tempat peristirahatan abadi."
[Name] tersenyum kecil.
Tangannya bergerak naik dan kedua jarinya sudah ada tepat di depan mata kanannya.
"Selamat tinggal, Mama, Ayah."
Jleb!
"[NAME]!"
Jarinya persis menerobos masuk ke dalam rongga matanya, membuat darah turun dengan derasnya.
Rasa sakit sangat jelas ia rasakan, karena itu segera ia menarik kembali tangannya.
Sebuah bola mata dengan pupil merah yang kini bercampur dengan darah jatuh ke atas pasir seperti buah busuk yang jatuh dari pohonnya.
Rin dan Haru segera menyambut anak mereka yang jatuh terduduk.
"AAAAAGGGGHHHHH!" [Name] berteriak nyaring.
Rasa sakitnya bisa dirasakan oleh siapapun yang mendengarkan teriakannya.
Rin menangis. [Name] juga menangis, menangis darah.
"Sakit..."
"[NAME] KAMU KENAPA BEGINI?!" Haru berteriak panik.
"Harusnya... Harusnya aku bangun..."
•••
TBC~
Come back~~~
Fyi, setiap cover yang aku pakai bayangin aja itu dari sudut pandang kalian as reader.
Aku pakai poster Jujutsu Kaisen sebagai cover itu karena aku males nyantumin chr kalau aku pakai fanart sebagai cover ff ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐞𝐩𝐞𝐚𝐭𝐞𝐝 - 𝐉𝐮𝐣𝐮𝐭𝐬𝐮 𝐊𝐚𝐢𝐬𝐞𝐧 (𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟐) ✓
FantasyTakdir menyedihkan itu kembali terulang. Dosa besar yang ia lakukan di masa lalu tak bisa ia perbaiki. Ia pada akhirnya hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri dan membenci sosok yang pernah ia cintai. Ia harus menebus semua dosa itu di kehidupan sek...