Holla, aku kembali! Kangen tidak?
Jangan lupa berikan vote dan komen ya!
Happy Reading!
.
.
.
.
.
.
.
.
Awas, ada typo!7. Tiap-Tiap Yang Bernyawa Pasti Mati.
Makam yang tanahnya masih basah itu telah sepi, hanya tersisa dua pasang manusia yang tengah dirundung duka.El mengusap kepala nisan tersebut, "Nggak nyangka, ya, secepet ini. Semoga tenang di sana!"
Perempuan disamping El yang sedari tadi hanya diam, sekarang terus-terusan menggumamkan kata maaf. Karena diri nya lah sosok gadis muda itu terbaring ditanah ini. Dia menunduk dalam, lalu beralih menatap El yang kini juga menatapnya.
Seolah tau kesedihan gadis itu, El memeluk dan mengusap punggung gadis itu, "Udah, tenang, ya. Ini bukan salah kamu, udah takdir."
"Maaf, karena aku yang egois dia jadi pergi secepet ini," gadis itu kembali menangis, bahunya bergetar seiring dengan isakannya.
"Jangan gitu, sayang. Bukan salah kamu, sekarang kita doa dulu ya, terus pulang," El kembali mengusap punggung gadis disebelah nya itu.
Sebelum benar-benar beranjak, mereka kembali menaburkan bunga ke makam dengan nisan bertuliskan Nathania Sanina. Setelahnya mereka benar-benar pergi dari makam itu.
Ya, dia Nina. Gadis itu mengorbankan nyawa nya demi menyelamatkan Senja yang sedikit lagi ditabrak oleh dua mobil sekaligus.
Nina yang melihat dua mobil melaju kencang dari arah berlawanan, kembali terfokus pada Senja yang terus berlari ke tengah jalan."ARAA AWASSS"
Teriakan El menjadi pengiring langkah kaki Nina untuk segera menarik Senja menepi, karena yang dipikirkan nya hanya keselamatan Senja, Nina sampai lupa bahwa dirinya adalah korban utamanya.
BRAKKK!!
Kecelakaan itu tidak bisa dihindarkan, Senja yang sedang shock kini dipeluk oleh El. Mereka sama-sama melangkah kerumunan yang entah sejak kapan mulai ramainya.
Senja memegang lengan El begitu erat. Tangannya sangat dingin dan jantung yang terus memompa dengan cepat.
Disana, tergeletak gadis cantik yang kini tengah tersenyum ke arah Senja dan El. Dengan darah yang mengucur di mana-mana, gadis itu menatap sayu Senja, seolah ingin mengatakan sesuatu.
Senja mendekat dengan langkah gamang, sembari memegang pergelangan tangan Nina yang terasa begitu dingin.
"Kak A- Araa," Nina memanggil Senja lirih, bibirnya tidak mampu berkata lebih.
Senja menangis hebat, dia begitu mengkhawatirkan kondisi Nina, "Nina bertahan , ya, jangan tutup mata kamu!"
Terdengar suara ambulance mendekat, memecah kerumunan. Nina langsung di angkat oleh tim medis, tidak lupa disusul Senja dan El.
Mereka masuk ke dalam ambulance untuk ikut mengantarkan Nina kerumah sakit.Setelah menempuh perjalanan kuranglebih setengah jam, ambulance akhirnya sampai di rumah sakit. Brankar berisikan Nina langsung dibawa ke ruang UGD tergopoh-gopoh oleh tim medis. Senja dan El hanya mampu merapalkan doa.
Dari arah luar terlihat orang tua El datang. Dapat dilihat wajah Papa El tampak begitu khawatir dan terlihat marah, serta tidak bersahabat saat melihat kehadiran Senja disana.
"Ini karena kelalaian kamu, El. Seharusnya Nina sekarang sudah dirumah dan sedang makan bersama kita," nada bicara Papa El sangat tidak ramah. "Apa jangan-jangan karena perempuan ini Nina sampai begini, El?!" lanjutnya sambil menunjuk tepat ke arah Senja yang mampu menunduk.
Papa El kini sepenuhnya sudah beralih menatap Senja," Sudah berapa kali saya katakan. Jauhi El! Saya tidak mau anak saya memiliki hubungan berbeda keyakinan. Kamu tidak pantas bersanding dengan El, Nona! Karena kamu calon menantu saya kini terbaring lemah begitu!"
Sakit, ini menyakitkan bagi Senja!
El tidak terima Senja-nya yang disalahkan, dia menutupi badan Senja dari amukan Papa nya.
"Papa nggak boleh ngomong sembarangan. Harusnya Papa mikir juga perasaan Senja, perasaan El! Papa bikin sakit."
"Papa ngelakuin yang terbaik buat kamu, El! Perempuan itu tidak bisa terus menemani kamu! Hanya Nina yang bisa! Hanya Nina, El!" Papa El berkata dengan nada tinggi, membuat beberapa perawat yang lewat mengernyit bingung ke arah mereka.
"Papa egois!" pungkas El lirih.
Sebelum Wiraga-papa El berkata, Sena-mama El lebih dulu menenangkan Wiraga, "Sudah, Pa! Jaga sikap, ini dirumah sakit!"
Mereka semua kembali tenang, merapalkan doa dengan harap-harap cemas. Beberapa menit kemudian pintu UGD terbuka, menampilkan seorang dokter yang tidak lagi muda. Melangkah ke arah mereka.
"Apa kalian keluarga pasien?" Dokter ber name tag Sintia Arsara itu bertanya kepada mereka semua dan dijawab anggukan.
Dokter menarik napas panjang, dia menggeleng," Tidak ada lagi harapan, pasien kehilangan banyak darah. Tuhan lebih menyayangi dia, dia sudah meninggal."
Bagai disambar petir di siang bolong. El senang tidak ada lagi yang menggangu nya, tapi bukan begini caranya.
Senja menangis, menyesali perbuatannya. Harusnya sekarang bukan Nina, harusnya dia. El disebelah nya memeluk Senja sangat erat. Seolah saling menguatkan.
Dokter pun berpamitan, katanya akan menyiapkan proses pemandian jenazah Nina.
Mama El masuk ke dalam ruangan UGD. Tersisalah Papa El, El, dan Senja.
"Puas kamu? Puas kamu membuat Nina pergi? Ini yang kamu mau kan?" Senja menggeleng, dia tidak menginginkan ini.
"Dasar perempuan tidak tau malu!" Setelah mengatakan itu, Wiraga menyusul istrinya ke dalam.
Senja menangis hebat, hatinya sakit. Dia hanya mampu memeluk El sebagai tempat sandaran nya.
"Maaf, Ara, maafin Papa ku."
"Pa, ini bukan tentang salah siapa. Ini takdir, Pa. Ini takdir Nina. Papa boleh nggak suka Senja, tapi Papa jangan ngehina dia"
- Dari El untuk Papa.Salam Sayang,
Jingga.- 24 Januari 2022.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT || HUANG RENJUN
Teen Fiction"I love you, but your God loves you more than I love you" -Different. •••••• Jangan jadi plagiat, karena dengan itu lo nggak bakal hebat! Jangan jadi plagiat, karena dengan itu Renjun tetap nggak bakal mendekat! Jangan jadi plagiat, karena bujang- b...