Sebelas

1K 76 3
                                    

Empat tahun kemudian ....

"Ibu, Atma, ayo makan! Masakan sudah siap." Aku setengah berteriak memanggil Ibu dan juga Atma. Atma sudah berumur hampir lima tahun beberapa bulan lagi, ia tumbuh menjadi anak yang cerdas, walaupun ia menggunakan kacamata untuk membantu penglihatannya tapi itu bukan masalah besar untuknya, ketika memakai kacamata ia justru terlihat semakin tampan, dengan kulit putih, mata bulat, hidung mancung, bibir yang tipis dan merah, serta tubuh yang berisi.

"Aku dan Omma datang Mama, kami siap menghabiskan makanan yang mama masak," ucap Atma, aku pun tersenyum mendengar ucapannya itu. Namun kulihat Ibu tidak bersemangat akhir-akhir ini.

"Ibu kenapa? tidak suka ya masakan Amanda?"

"Ibu selalu suka masakanmu, malah mungkin akan merindukannya nanti ketika kita tidak tinggal serumah lagi, karena kuliahmu sudah selesai dan kamu di terima bekerja dirumah sakit Abi."

 Ya ... aku sudah selesai menempuh pendidikan di fakultas kedokteran, aku lulus tepat waktu sesuai yang telah aku dan Abi targetkan. 

Selama aku berada di Bandung, aku dan Atma tinggal bersama Ibu Ratri, sedangkan Mas Rama tinggal di lantai dua butik milik Ibu yang tidak jauh dari rumah yang kami tempati, profesi Mas Rama sebagai arsitek dan mengelola perusahaan di bidang properti membuat ia sibuk dengan pekerjaannya. Namun, ia selalu menyempatkan menemui Ibu setiap harinya, bukan hanya Ibu tetapi juga Atma.

"Mama, bisa tidak Atma tinggal disini saja bersama Mama dan Papa Rama?" tanya Atma.

Atma sangat dekat dengan Ibu, ia memanggil dengan sebutan Omma, dan Mas Rama dengan panggilan Papa. Bukan tanpa alasan ia memanggil Mas Rama dengan sebutan  Papa, waktu itu Atma pernah di ejek oleh temannya, Atma disebut tidak memiliki Papa seperti teman-temannya yang lain, ia pulang kerumah dengan menangis, saat itu aku, Mas Rama dan juga Ibu sedang berada di rumah.

"Atma tidak mau bermain lagi, mereka bilang Atma tidak punya Papa, Atma benci mereka," ucap Atma pulang sambil menangis sesenggukan.

Tak terasa aku juga meneteskan air mata melihat malaikat kecilku menangis, pikiranku seperti rekaman yang di putar ulang mengingat saat Atma kecil tidak diakui oleh Papa kandungnya. Melihat Atma menangis, Mas Rama dengan sigap menggendongnya, serta menenangkan Atma.

"Apa perlu Om marahi teman-teman Atma yang sudah membuat Atma sedih?" Atma menggelengkan kepalanya dengan masih terus menangis

"Memang benar kan Om, Atma tidak mempunyai Papa."

"Oke, kamu ingin Papa 'kan? Atma bisa panggil Om Rama dengan sebutan Papa, bagaimana? Hmm?" kata Mas Rama.

Atma pun berhenti menangis, dan memeluk erat tubuh Mas Rama dan menenggelamkan wajahnya di leher mas Rama. 

Melihat semuanya aku tidak kuasa menahan kesedihan, aku langsung berlari ke dalam kamar dan menangis sejadi-jadinya, kekuatanku adalah ketika melihat kebahagiaan Atma, dan kelemahanku melihat tangis air matanya. 

Aku sudah berjanji pada Atma akan mengenalkan Papa kandungnya jika waktunya sudah tepat, sebenarnya aku sedih di umur yang masih kecil ia harus memahami semua keadaan yang rumit seperti ini.

Dan ketika Atma meminta untuk tinggal bersama Ibu dan Mas Rama itu hal yang wajar mengingat mereka memang sangat dekat, meskipun Abi, Ummik dan Gita sering mengunjunginya agar bisa dekat dengan Atma tapi tetap saja setiap hari yang selalu ada untuknya ialah Ibu dan Mas Rama.

"Nanti siapa yang menemani Mama tidur?" Atma hanya terdiam sambil memeluk Ibu, dan matanya mulai berkaca-kaca sepertinya tangis akan pecah jika saja Mas Rama tidak datang.

Usai TalakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang