"Ayo, terusin! Masa segitu aja udah nyerah. Enam puluh tujuh ... enam puluh ... ya, dela-pan ..." bahkan Adam dengan senang hati membantu menghitung setiap pergerakan push up yang dilakukan Radit. Adam benar benar barbar. Dia bahkan seperti gak peduli bahwa tubuh Radit sedari tadi tremor. Tampak jelas bahwa dia terlihat tak mampu lagi menopang beban tubuhnya. Bahkan di hitungan ke-69, Radit beneran ambruk. Dia tak bisa bangkit lagi.
"Lemah banget kamu jadi cowok! Pantes aja mentalnya selama tiga tahun ini cuman sanggup sebatas jadi pengemis!"
Mendengar cacian itu, kembali luka menganga di hatinya. Ada getir yang merambat ke permukaan jiwanya yang terasa dikoyak secara alami dari dalam. Radit tenggelam dalam bungkam. Suara musik yang masih berdentum seakan menertawakan keadaannya saat ini.
"Saya tidak terima toleransi. Setelah ini, kamu menerima hukuman yang lain. Saat satu hukuman gak berhasil dijalankan dengan baik, kamu akan terus diberikan tambahan list hukuman. Saya sudah membuat beberapa list hukuman semalam. Dengan ketidakbecusanmu sekarang, list itu akan bertambah."
Adam menggertakkan lehernya. Lalu dia beranjak ke letak pengeras suara berada.
"Saya mau meditasi," katanya seraya mematikan pengeras suara tersebut. Hening kembali menguasai suasana subuh kali ini. "Jangan berisik, jangan ganggu saya dengan pertanyaan apapun. Saya butuh ketenangan karena menghadapi orang seperti kamu. Kamu satu satunya manusia yang seharusnya tidak saya temui dalam kondisi kemarin."
Perkataan Adam lagi lagi begitu nyelekit. Panah panah pesakitan dari kata yang dilontarkan, seakan menukik tajam dan tepat menghunjam ulu hatinya.
"Hukuman kamu dari sekarang adalah bersihkan setiap sudut rumah ini, hingga saya harus pastikan segala sesuatunya bebas dari debu. Kecuali kamar saya. Kamu jangan pernah sekali sekali berani masuk kamar saya. Kamu bisa bersih bersih rumah kan?" Adam tak peduli dengan diam Radit atas perkataan sebelumnya, dan dia langsung fokus memberitahukan hukuman selanjutnya.
"Bisa Pak," jawab Radit dengan suara pelan. Tubuhnya masih mencium tanah. Dia belum bisa bangkit. Segala sesuatu yang ada pada dirinya kini menunjukkan ketidakberdayaannya.
"Saya gak dengar jawaban kamu."
"Bisa Pak," suara Radit dipaksa lebih keras, namun Adam masih tidak puas.
"Saya tidak dengar jelas suara lemah kamu itu."
"BISA PAK!"
"Dengan semangat itu, seharusnya kamu bisa selesaikan tiga puluh satu sisa hitungan push up-nya. LAKUKAN!"
Suara Adam kembali nyaring, seakan bisa merobek langit yang masih gelap.
Tergegap-gegap saking terkejutnya, Radit berusaha kembali mengangkat tubuhnya. Turun naik seperti seharusnya orang melakukan push up. Namun kembali di hitungan ke-72 saja, Radit sudah terkapar.
"Lemah! Emang gak ada yang bisa diharapkan dari orang seperti kamu!"
Adam mengakhiri ucapannya dengan benar benar melangkah pergi. Menjauh dari Radit yang sudah berada di batas kekuatannya pagi ini.
Saat mata Radit sudah memastikan Adam tak lagi terlihat sosoknya, dia dengan tangan dan tubuh yang terasa masih gemetaran, berusaha untuk duduk. Wajahnya tertunduk lesu, dan perlahan ... dia bisa merasakan dingin udara subuh kali ini memeluk dirinya. Radit menggigil dan dengan sangat pelan karena tangannya terasa sakit, dia mulai kembali memakai kaus hitam yang tergeletak pasrah tak berdaya seperti nasib Radit saat ini.
Hal yang sungguh tidak mengerti Radit sampai saat dia berhasil mengenakan kausnya kembali; jika Adam benar benar begitu membenci sosoknya, lantas kenapa dia membawa Radit ke sini? Dan bahkan mengurungnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Beristri
Proză scurtăDia gak pernah bisa berkutik lagi setelah bagian paling sensitif dari tubuhnya tak sengaja tersentuh.