Tetesan darah mengalir dari dada pria pirang berumur 33 tahun itu. Matanya membelalak merasakan lesakan peluru yang tepat mengenai jantungnya.
Sang penambak terkejut bukan main, pistol yang ia tujukan untuk orang lain justru melukai pria yang ia cintai.
Untuk sesaat keheningan terjadi, menyisakan perasaan kalut dan bingung yang tercipta dari lambatnya neuron otak untuk memahami kondisi.
"TOU-CHAAN!" Teriakan itu menggema memenuhi gedung tua yang gelap dan lembab. Remaja pirang itu berlari setelah sang korban tersungkur lemah.
"Tou-chan bertahanlah, aku disini!" Boruto memosisikan tangannya untuk menutup luka tembak yang mengalirkan darah segar.
Merasa usaha anaknya hanya sia-sia, Naruto lantas menggenggam lengan anak pertamanya dengan lembut. "Boruto, sebelum aku tidak dapat lagi untuk hadir di sisimu, aku ingin menyampaikan sesuatu. Terima kasih karena kau telah menjadi anakku. Kau tahu aku sangat menyayangimu bukan?"
Bibirnya bergetar memaksakan senyum terukir di wajahnya. Senyum yang selalu ia tampilkan sebagai penenang bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi kali ini, Boruto tidak mampu merasakan keajaiban senyuman itu lagi.
"Kenapa?" Bulir air mata semakin deras mengalir dari bola mata sang penanya. "Hanya untuk anak sepertiku?"
Naruto mengambil nafas dengan susah payah, "Apapun yang terjadi, you're still my beloved son. Anak pertama yang kugendong dengan kedua tanganku sendiri."
Tangan kanannya terulur mengusap surai pirang si remaja, "Tolong jaga Hinata dan Himawari untukku, tolonglah tetap hidup demi aku." Suara parau yang kian mengecil dipaksa keluar untuk menyampaikan pesan yang dirasa akan menjadi yang terakhir.
Air mata menetes tanpa diminta, mulutnya bergetar ingin menolak realita. Lidahnya kelu untuk menyanggah perkataan ayahnya. Mengapa ayahnya berbicara seakan ia akan pergi? Ia bahkan tidak merasa menjadi anak yang baik.
Sebelum sepatah kata mampu terucap dari bibir remaja pirang itu, ia merasakan pegangan sang ayah pada lengannya terlepas, diikuti oleh kelopak mata yang mulai menutup pelan dengan senyum tipisnya.
Tidak ada yang menyangka bahwa Uzumaki Naruto akan meninggal di tempat ketika intuisinya merasakan radar bahaya pada putra kesayangannya.
.
.
."Kau selalu begitu Tou-chan! Besok hari ulang tahunku dan bahkan kau tidak mampu menyempatkan waktu? Butuh berapa tahun lagi aku harus bersabar supaya kau memiliki waktu!"
Naruto tersenyum, ia hanya mampu membalas rengekan anaknya dengan usapan pelan di kepala. Diumurnya yang menginjak kepala tiga, Naruto mengalami kenaikan pangkat yang menyebabkan peningkatan kesibukan sejak setahun terakhir. Tentu saja seluruh anggota keluarga merasa kehilangan, terutama anak lelaki pertamanya.
Hey, dia begitu lucu ketika kecil. Naruto selalu menggendong Boruto di atas pundaknya dan ia akan tertawa nyaring. Sayangnya pekerjaan Naruto mengharuskannya untuk lebih menghabiskan waktu di kantor.
"Ada Kaa-chan dan Hima bukan? Tou-chan akan membelikanmu apapun yang kau mau nanti. Maafkan Tou-chan ya." Naruto melirik jam di tangan kirinya dan segera berpamitan dengan istri juga anak-anaknya.
Boruto benci pekerjaan ayahnya. Semua, ayahnya selalu mementingkan semua orang kecuali dirinya. Senyum yang ayahnya berikan bukan hanya untuknya dan Boruto benci itu.
Ia benci atas perasaan sesak yang selalu ia rasakan ketika ayahnya menunjukkan kehangatan selain untuknya. Ia benci ayahnya. Tidak, ia benci perasaan sesak yang selalu timbul akibat ayahnya.
Sejak kecil, Boruto merasa hanya pengakuan dari ayahnya lah yang terpenting. Ia tidak paham arti keluarga, hanya saja ayahnya selalu mengajarkan untuk menyayangi dan menjaga ibu serta adik perempuannya. Tentu Boruto paham itu, tetapi rasa sayangnya pada mereka tidak sama dengan perasaan yang timbul untuk Naruto.
Perasaan yang timbul pada ayahnya tidak sesepele itu. Ayahnya selalu mampu memberikannya kebahagiaan meskipun hanya dengan usaha seminimalis mungkin.
Otak jenius yang diturunkan dari mendiang kakeknya memberikan Boruto kemampuan untuk mengingat seluruh memori masa kecilnya sejak ia berumur delapan bulan.
Ia mampu mengingat bagaimana wajah ayahnya yang menangis saat ia pertama kali membuka mata, bagaimana setiap malam ayahnya terbangun akibat rengekannya, bagaimana raut bahagia terlukis pada wajah indahnya ketika Boruto mampu mengucapkan kata pertama, bagaimana ayahnya selalu berpesan bahwa dirinya adalah jagoan ayahnya, dan perlakuan lain yang ayahnya berikan.
Tidak pernah sekalipun ia merasa membutuhkan kehangatan lain selain dari ayahnya. Semua teman-temannya tidak ada yang tulus. Mereka hanya sekumpulan hewan berotak yang saling membantu atas ikatan kebutuhan.
Berbeda dengan ayahnya, Boruto mampu melihat tatapan tulus yang hanya ingin melihatnya tumbuh bahagia. Tanpa tuntutan, tanpa harap atas balasan, hanya kehangatan.
Bahkan ketika Boruto tidak mampu memenuhi ekspektasi orang-orang disekitarnya, hanya Naruto yang tetap berdiri bangga mengakui kehebatan anaknya.
Berapa kali pun ia merasa kurang, dengan mendengar perkataan bangga dari ayahnya sudah cukup untuk mengusir perasaan inferior yang mulai tumbuh. Tidak ada yang dapat melakukannya seperti Naruto.
Boruto tidak sebodoh itu untuk memahami perasaan yang ia rasakan pada Naruto. Cinta terlarang ayah dan anak, sampai kapanpun dunia tidak mungkin akan menerima hal itu.
Sejak kecil ia berada pada dilema, apakah ia harus menerima sistem dunia yang sudah ada atau ia akan menciptakan dunia baru yang berisi dia dan ayahnya?
Dengan fakta yang ia kumpulkan hingga kini, ia merasa belum mampu untuk menanggung resiko besar yang harus ia terima jika jujur dengan perasaannya. Sehingga Boruto memutuskan untuk mencintai ayahnya secara diam-diam.
Boruto pikir ia akan mampu untuk memendam perasaan itu selamanya, sampai lelaki sialan itu muncul di kehidupannya dan mengganggu dunia damai yang ia ciptakan bersama ayahnya.
Ketakutan mulai membutakannya, tak pernah ia duga bahwa Naruto akan melangkah jauh darinya. Sekarang ia paham, jika ketakutan merupakan emosi terbesar manusia yang mampu memberikan keberanian akan perubahan.
Boruto tidak akan mengalah, terutama pada manusia bangsat yang mengusik kebahagiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Game of Obsession [End]
Romance[KawaNaruBoru] "Kenapa kau sangat terobsesi dengan ayahku?" Senyum miring tergores di wajah bertato IX itu, "Kau mengatakannya seperti kau tidak saja." ⚠Warning!⚠ Incest, Gay, toxic, obsession, manipulating, stalker, drug, bdsm, harsh word