Aku terbiasa tertidur di pelupuk matamu
saat kau cari, sebenarnya aku adalah fiksi dalam mimpimu
tapi detik ini aku berbeda, di sana aku sudah siap dengan mata ngantuk, kau liat kursi goyang itu, hanya ada makhluk renta tua yang sedang duduk menunggu kekasihnya
aku juga mengharap itu sebenarnya, diperjamuan makan malam kita yang dilaksanakan sore ini, ternyata engkau membatalkannya lagi denga seribu alasan, katanya ingin cepat tertidur
tapi tak sedetik pun alkohol itu engkau teguk, apa maumu sebenarnya
sampai undangan itu sendiri terbakar oleh api cemburu lalu berubah menjadi abu.
sayup-sayup harapan yang ku impikan bersama pelanig, ternyata hujan lebih duku, membuatku berhenti.
hai wanita senja, apa kabar? pelukmu begitu kubutuh dan pelikku kini jadi sandarana demi kebahagiaan ku yang sederhana.
tau tidak, pelupuk mata mu sedikit berisi air, aku bisa berenang sebentar atau sekedar membasahi rambutku yang kering atau meminumnya untuk melepas sedikit dahaga walau asin.
sudah bisa kubayangkan akan seperti apa pelupuk mu malam ini, mungkin sedikit membengkak dan bagiku sangat empuk jadi bantal ku malam ini, makasih yah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Menjadi Lautan Rindu
PoetryTerkadang merindu saja belum cukup, mau sebanyak buih di laut pun perlu aksi juga, aksi pun belum tentu membuatmu mendapatkannya.