10.9.20 (02.35 AM)

61 16 4
                                    

"Orang yang Paling Ingin Kubenci"

°°°°

Tidur;

(n) Pilihan paling akurat ketika kenyataan terlalu sulit untuk diterima.

Namun, kedua bola mataku sepertinya telah sepakat untuk mengeja arah angin dan menghitung bintang di halaman rumah Gil. Sepanjang malam.

Bicara tentang Gil, sudah hampir empat hari batang hidungnya tidak muncul di rumah. Aku tidak bertanya, dia pun tidak memberi kabar meski melalui ponsel. Dia tidak pernah menghilang secara tiba-tiba sebelumnya.

"Aku tidak melihatmu di ruang tamu. Kenapa belum tidur?"

Lalu kemunculannya yang tiba-tiba membuatku refleks mendongak. Entah sejak kapan Gil berdiri sempoyongan di belakangku, kepalanya melongok dari atas. Hampir saja dia terjatuh, jika aku tidak segera bangun dan memapah tubuhya.

Bau itu—bau yang sangat aku benci. Seluruh tubuh Gil dipenuhi aroma minuman keras, mengacaukan indera penciumanku.

"Gil, kau mabuk?" Aku sempat meninggikan suara sebelum merebahkan tubuhnya di kursi rotan.

"Tidak, aku masih cukup sadar." Dia tertawa tidak jelas, kerutan muncul di antara alisnya.

"Bagaimana kau pulang?" tanyaku setelah kembali duduk di kursi. Tubuh orang mabuk ternyata sangat berat.

"Naik bintang," katanya.

Gil mendongak, menunjuk ke langit. "Aku tidak akan pernah tersesat selama ada bintang Utara."

Jemarinya mengukir di udara, membentuk rasi bintang polaris atau yang sering disebut bintang Utara. Gil mengajarkan aku tentang rasi bintang sejak kami masih begitu muda dan polos. Bintang Utara adalah bintang yang paling disukainya. Dia tidak akan pernah tersesat selama ada bintang Utara di langit, katanya. Bahkan di saat mabuk pun dia tidak melupakan kalimat legendaris itu.

"Yang itu Orion. Di antara sabuknya ada bintang Alnilam, seperti namamu." Dia menunjuk ke langit Barat, kembali mengukir di udara.

"Aku sudah tahu, Gil. Aku bukan anak kecil beberapa tahun lalu yang perlu kau ajari perihal bintang."

"Kata siapa? Di mataku kau sangat kecil, sekecil ini." Gil merapatkan telunjuk dan ibu jarinya di udara, kemudian tersenyum. Rona merah terkuras dari wajahnya efek dari minuman keras yang entah berapa banyak ditenggaknya.

Malam itu, pertama kalinya Gil terasa sangat asing. Aku tidak bisa mengenali wajahnya yang tampak kusut, begitu pula penampilannya yang acak-acakan.

Gil adalah laki-laki yang terlahir dengan sendok perak di mulutnya. Merupakan anak tunggal pengusaha terkaya di kotaku. Aku percaya tidak ada manusia yang sempurna, tetapi Gil adalah perumpamaan wujud paling sempurna dari manusia di dunia ini. Mulai dari fisik yang tanpa cela, hingga pola pikir tidak terduga yang dimilikinya.

Mungkin alam semesta sedang tersenyum ketika laki-laki dengan kecerdasan di atas rata-rata itu diciptakan.

Namun, Gil yang kulihat malam itu sangat menyedihkan—meski aku tidak tahu kenapa. Dia tersenyum dan tertawa berkali-kali sambil membaca langit, tetapi matanya sendu seperti menahan tangis. Alisnya berkerut, seperti menampung banyak beban pikiran.

"Gil, kau baik-baik saja?" tanyaku dengan suara yang hampir tenggelam di antara bunyi jangkrik.

Dia berhenti tersenyum, kemudian melihatku dengan tenang. "Sudah empat hari, ya. Apa saja yang terjadi selama aku tidak di sini?"

Gil membalas pertanyaan dengan pertanyaan lain. Sikapnya menunjukkan bahwa dia tidak siap untuk bercerita. Meski sejujur-jujurnya manusia adalah ketika mereka sedang mabuk, katanya.

"Tadi aku bertemu ayah," jawabku seraya mengeluh.

Kami berdua saling terdiam panjang, tenang. Untuk sejenak, pikiranku dari masalah ayah teralihkan setelah melihat kondisi Gil.

"Apa yang ayahmu katakan?" tanyanya lagi.

"Dia akan menikah."

"Itu berita baik."

Keheningan kembali menelan waktu. Tidak ada yang salah dari kata-kata Gil. Harusnya aku pun turut senang dengan pernikahan ayah.

"Dia meminta maaf padaku." Aku menyeka air mata yang sempat tergenang di pelupuk mataku.

"Sudah kubilang, ayahmu pasti tidak pernah melupakanmu." Gil kembali menjadi dirinya yang aku kenal. Mungkin efek mabuknya sudah mulai hilang.

"Gil, kau ingat saat pertama kali aku menginap di rumahmu?" tanyaku dengan bibir setengah tersenyum.

Dia menghela napas panjang. "Tentu saja aku ingat. Malam itu hujan deras, tiba-tiba ada seorang gadis berdiri di pintu rumahku dalam kondisi basah kuyup. Untung saja aku tidak berpikir kau hantu."

"Sebenarnya saat itu aku tidak kehujanan," ucapku pelan.

"Jadi kenapa tubuhmu—"

"Aku mencoba mengakhiri hidupku sendiri, malam itu aku nekat melompat ke sungai." Aku membuat pengakuan yang tidak pernah keceritakan pada siapa pun.

Gil mungkin terkejut dengan perkataanku, dia sontak duduk dengan tegak.

"Apa? Kau—"

Aku memotong kalimatnya lagi. "Tapi airnya sangat dingin dan gelap. Saat itu aku sadar, bukan kematian yang kuinginkan. Aku hanya ingin terlepas dari semua rasa sakit di tubuhku."

"Lam ...." Suaranya melemah.

"Malam itu seluruh tubuhku seperti diukir oleh rasa sakit. Aku percaya ayah adalah penyebab segalanya. Jadi sejak saat itu aku menggunakan semua rasa sakit yang ada untuk terus hidup dan membencinya. Tetapi ... tiba-tiba dia meminta maaf seperti ini."

Suaraku bergetar. Kenangan yang kupikir telah terkubur dalam-dalam kembali bermain di kepala.

Tanpa disadari air mata benar-benar jatuh di pipiku. Siapa sangka satu permintaan maaf dari orang yang sangat ingin kubenci bisa membuatku benar-benar kacau. Padahal dulu aku begitu yakin bisa membencinya dengan segenap hati.

Gil tidak mengatakan apa pun. Dia tidak mengajakku berdebat, dia tidak mengeluarkan isi kepalanya sama sekali. Gil hanya memelukku dari samping.

Aku benci bau alkohol, tetapi pelukannya adalah yang paling kubutuhkan saat itu.





GILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang