06.9.20 (09.17 PM)

63 24 1
                                    

"Siapa yang Lebih Banyak Mengalah"

°°°°

Gil menghampiri kursi rotan tempat aku bersandar—menikmati bintang malam yang tidak begitu banyak. Kedua tangannya membawa gelas keramik putih.

"Jika itu kopi, minum saja sendiri. Aku ingin tidur cepat malam ini." Sudah tiga hari sejak aku tidak bicara pada Gil, rasanya sedikit canggung.

"Kalau begitu, susu akan membantumu tidur lebih cepat." Dia memberikan gelas tersebut padaku—ternyata berisi susu putih.

"Bagaimana kuliahmu?" Pertanyaan itu membuatku mengutuk diri sendiri, terdengar sangat kikuk.

Mungkin Gil atau entitas apa pun di sekitar halaman rumah yang mendengarnya akan langsung tahu bahwa, aku sedang mencoba mencari topik pembicaraan.

"Seperti biasa." Jawaban Gil malah terdengar tenang, seperti biasa.

Laki-laki bermata cokelat terang itu minum dari gelasnya. Aku melirik isinya sebentar—kopi hitam.

"Kau berencana bergadang?" tanyaku.

"Banyak tugas." Gil mendongak, menatap langit hitam pekat yang pelit bintang tersebut.

Aku berdecak pelan. "Lalu kenapa kau masih di sini?"

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu." Gil menurunkan pandangan, lalu menoleh ke samping. Menangkap basah aku yang memperhatikannya sejak tadi.

Hampir saja aku melupakan fakta bahwa Gil bermulut tajam. Aku membuang muka, meniup susu panas di gelasku. Itu jauh lebih baik daripada harus mendengar Gil mengusirku lagi.

"Aku melihat Han di kampus hari ini," katanya dengan nada suara yang berat.

"Apa kalian sudah berbaikan?" tanyaku, kembali melihat wajah tegas Gil dari samping.

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu," Gil benar-benar irit dengan perbendaharaan katanya malam itu. Dia mengucapkan baris yang sama sebanyak dua kali.

Aku tidak mengindahkan ucapannya. Suara jangkrik mengisi keheningan selama beberapa menit.

"Kau tidak mau berbaikan dengan Han?" Gil benar-benar bertanya, aku mendesis sebal.

"Tidak," kataku lugas. "Juga jangan kenalkan aku dengan orang baru lainnya, aku tidak mau kalah darimu lagi."

Gil tertawa. Pelan, tetapi jelas. Bahunya bergetar. "Kau tidak mengalah padaku, tapi pada Han."

"Tapi kau menggunakan dia untuk mengalahkanku!" Aku menaikkan nada suara.

Perdebatan sengit antara kami dimulai kembali, seperti hari-hari normal sebelumnya.

"Tidak, kau saja yang berpikir seperti itu." Dia masih saja tertawa setelah berbicara.

"Berhenti tertawa seperti itu!" Aku semakin kesal karena Gil menganggap amarahku sebagai lelucon.

"Kau melakukannya karena selalu kalah dariku, kan?" Asumsiku membuat tawa Gil terhenti. Raut wajahnya berubah tenang seperti genangan air sehabis hujan.

"Lam," panggilnya pelan.

Dia menyebut namaku, tidak seperti biasa. Sorot matanya menjadi lebih serius.

Aku pun menyahut tanpa protes, tidak seperti biasa. Menunggu dengan sabar kalimat yang akan keluar dari mulut Gil.

"Kau akan mengalah pada orang yang kau sukai," katanya.

Giliran aku yang tertawa. "Jika begitu aku lebih menyukaimu daripada Han, tapi aku tidak pernah kalah darimu."

Gil menguap pelan. "Bukan suka yang seperti itu, jangan asal bicara."

Intonasi suara Gil sangat rendah, hingga aku nyaris tak mendengarnya jika saja kami tidak duduk bersebelahan. Wajahnya menjadi kosong, sukar dibaca.

"Aku masuk dulu," katanya, kemudian beranjak.

Aku masih menatap punggung Gil yang tampak lebih dingin dari udara malam itu. Kemudian tanpa aba-aba dia berbalik, sekali lagi menangkap basahku yang sedang memperhatikannya.

"Aku tidak pernah kalah darimu, Lam. Aku hanya mengalah."

Dia memanggil namaku, lagi.



GILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang