{Rasa}
Austin masih setia menunggu Clara terbangun, ia beberapa kali telah kekantin rumah sakit untuk makan, itupun ia lakukan karena Napoleon yang memaksanya serta mengancamnya, sejahat-jahatnya Napoleon dia tidak bisa membiarkan keluarga satu-satunya sakit.
"Kok belum bangun sih? Cepat bangun dong," lirih Austin menatap wajah pucat Clara.
"Tau nggak? Aku sangat berhutang budi padamu tapi sepertinya aku tidak bisa membayarnya." Austin menggenggam tangan Clara yang tidak di infus.
Mata Clara yang tertutup mengeluarkan air mata dan keningnya berkerut, Austin menatap wajah Clara lama hingga tangannya menghapus air mata yang mengalir di pipi Clara lalu mengelus lipatan pada dahi Clara hingga membuat kening Clara kembali seperti semula.
Bola mata Clara bergerak, ia mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke indra matanya.
"Udah bangun!" Pekik Austin, senang. Ia menekan tombol di dekat ranjang untuk memanggil dokter.
Clara melengos dan mendengus malas, menatap ke arah lain. Ia enggan menatap wajah Austin yang membuatnya terluka.
Dokter datang, menyapa mereka dengan senyuman manis. "Selamat sore, bagaimana perasaanmu Clara? Apakah ada yang sakit."
Clara hanya diam, tidak berniat membalas ucapan dokter itu. Ia terlalu malas untuk sekedar berbicara ataupun berdehem, yang ia butuhkan sekarang adalah air karena ia haus.
Dokter itu mengecek keadaan Clara dan menyampaikan kondisinya, "Pasien telah melewati masa kritis nya, kondisi-nya mulai stabil. Bila ia beristirahat dengan cukup maka akan segera diperbolehkan untuk pulang."
"Baik, terima kasih," kata Austin.
Dokter itu mengangguk lantas keluar dari ruangan dan meninggalkan dua remaja di dalam yang sedang dilanda kecanggungan.
"Mau minum?" Tawar Austin, berusaha mencairkan suasana.
Clara tak menjawab, ia hanya melepas peralatan medis yang menempel pada sekitaran hidung dan mulutnya. Austin yang merasa bahwa Clara mengiyakan, segera membantu Clara duduk.
Dengan ragu-ragu Austin membantu Clara meminum air, tangan mereka saling bertumpu saat memegang gelas, manik mata mereka saling beradu.
"Sudah?" Tanya Austin ketika Clara menjauhkan wajahnya dari gelas.
Clara mengganggukan kepalanya dan berbaring kembali dengan bantuan Austin setelah Austin menaruh gelas kembali ke nakas.
"rebreathing mask-nya dipakai lagi ya?" Austin memegang 'simple mask' yang tadi di lepas Clara.
Clara menggeleng dan menepis tangan Austin. "Gak ya enggak."
Austin menghela nafas lelah, lalu berkata, "ya sudah."
Austin berjalan ke sofa, duduk serta setengah berbaring dan memainkan smartphone miliknya. Matanya, sesekali melirik Clara yang sedang menutup mata.
"Apa?" Tanya Clara, masih dengan mata terpejam.
"Loh? Eh enggak." Austin gugup karena kepergok.
Clara menatap Austin sekilas, ia merubah posisinya menjadi duduk bersandar. Clara menatap Austin yang sudah sibuk dengan Smartphone-nya lagi.
Austin yang merasa diperhatikan pun menoleh, tatapan mereka saling bertemu, seolah ada kalimat yang ingin diucapkan tapi tidak bisa dikatakan.
Lama mereka bertatapan, akhirnya Austin berpindah duduk di sisian ranjang rumah sakit dan berhadapan dengan Clara yang bersandar di dinding.
"Kenapa?" Tanya Austin, membuat Clara mengangkat alisnya karena bingung.
"Kenapa kamu lakuin ini? Kenapa kamu nggak biarin aku aja yang di tabrak?" Berondong Austin.
"Gak papa," jawab Clara, ia merasakan suatu organ dalamnya berdenyut.
"Aku gak butuh jawaban 'gak papa' sebab yang aku butuhkan adalah alasan,"
"Gak ada." Clara menatap dinding bercat putih dengan tatapan kosong.
"Gak ada apa?"
"Alasannya."
"Jangan bohong, semua perlakuan pasti ada alasannya," desak Austin, memaksa Clara untuk menjawab pertanyaan yang membuatnya penasaran.
"Enggak," kilah Clara.
"Kalo ngomong jangan setengah-setengah dong, aku gak paham," cela Austin, yang mulai emosi.
"Pulang."
"Hah?" Austin bingung, apakah ia sedang diusir atau apa maksud ucapan Clara.
"Ingin pulang."
Austin melunak dan bernafas lega. "Kata dokter belum boleh, setelah keadaan kamu pulih total, nanti baru boleh pulang."
"Sembuh,"
"Tolong, kalo bicara jangan singkat-singkat, aku enggak paham, Clara," ujar Austin, lembut dan penuh pengertian, berbeda dari sebelumnya.
"Sudah sembuh, mau pulang."
"Gak, enggak boleh pokoknya."
———■■■———
Tadinya cerita ini mau aku ganti lo–gue tapi gak jadi karena pasti susah lagi ngerangkai kata-katanya. Maaf ya, kalo cerita ini aneh.Kalo menurut kalian ceritanya bagus, tolong di Vote dan Comment!
KAMU SEDANG MEMBACA
REVENGE ARENA (selesai)
Teen FictionJANGAN DI VOTE JIKA KALIAN TIDAK MEMBACA CERITANYA!!! Mereka terlalu licik untuk seukuran remaja pada umumnya, mereka yang berlomba-lomba membalas dendam dan mengabaikan sebuah rasa yang memang tak seharusnya muncul. Terlalu percaya pada orang lain...