Bagian 5 (Nggak Ada yang Gratis)

95 45 27
                                    

"Salah nggak? Kalau gue harap lo kalah di setiap challenge itu."

Jantung Erin berpacu dengan cepat, rasa panik menyelubungi dirinya saat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jantung Erin berpacu dengan cepat, rasa panik menyelubungi dirinya saat ini. Sambil memejamkan mata, cewek itu memeluk erat cowok yang sedang memboncengnya. Bak seorang pembalap di sirkuit, Lingga menarik gas ketika menyadari motor matic putih menyalipnya. Dia tahu betul siapa pemilik motor itu. Siapa lagi kalau bukan teman karibnya, eh ralat, rivalnya.
"Pemanasan, buddy," teriak cowok itu, agak terdengar samar karena berbaur dengan suara kendaraan.

"Awas aja lo, Yan!" Lingga berseru kesal, sedangkan Erin di belakang masih panik. Mulutnya sedari tadi komat-kamit berdoa.

Setelah sampai, Lingga memarkir motor, meninggalkan Erin yang masih sempoyongan karena diajak ngebut tadi. Lingga buru-buru berlari.

Pagi-pagi, sebelum bel masuk berbunyi. Beberapa siswa sudah berkumpul di tengah lapangan, beberapa lagi baru saja berlari menuju kerumunan. Erin yang sedang berjalan di koridor tadinya tak acuh, tapi karena melihat dua orang cowok yang berdiri di tengah kerumunan, membuatnya ingin segera turun ke lapangan.

"Semoga nggak ada adu tonjok lagi." Erin terus berjalan sambil bergumam. Takut melihat sepupunya babak belur lagi.

"Ziyan ... Ziyan ... Ziyan ...."

"Lingga ... Lingga ... Lingga ...."

Suara pendukung dari dua kubu itu saling bersahutan. Erin saat itu masih sibuk menyibak kerumunan.

Adelin sudah berdiri di sana, diantara dua cowok yang sedang berjuang merebutkan hatinya.

"Bersedia," ucap Adelin memberi aba-aba. Kedua cowok itu berjongkok.

Akhirnya Erin bisa bernafas lega sekarang. Ternyata hanya lomba lari. Pantas sepupunya rajin jogging seminggu terakhir ini.

Setelah sudah memastikan sepupunya tidak mengikuti challenge yang ekstrim, dia kembali ke kelas. Tidak ingin peduli siapa yang menang atau tidak.

Namun, tidak. Dia sepertinya peduli, segera dia kembali ke lapangan. Beberapa siswa sudah bersorak, cewek dengan rambut dikuncir itu tidak dapat memungkiri bahwa kali ini dia benar-benar penasaran. Dia kembali menyibak kerumunan. Ziyan tengah melakukan selebrasi dengan mengelilingi lapangan sambil mengangkat tangan, tidak lupa dengan senyum sumringah. Sudah dapat dipastikan siapa pemenangnya.

Lagi-lagi Erin mendapati sepupunya berjalan gontai. Merasa terdorong, dia menghampiri. Ada secuil rasa yang entah itu perasaan senang atau lega melihat kekalahan Lingga. Dia benar-benar tidak mengerti.

"Dua, satu," Erin bergumam, diam-diam menghitung point yang didapat kedua cowok yang sedang dimabuk cinta tersebut.

"Ekhem, kalah lagi nih." Erin memutar bola matanya ke atas, sedikit mendelik ke arah Lingga yang akan berjalan melewatinya. Dia berusaha bersikap seperti biasa.

Lingga mengembuskan nafas kasar menanggapi dan melewati sepupunya begitu saja. Sepertinya belum ingin diganggu, Erin bisa mengerti.

***

Lingga sudah menunggu Erin di rooftop, baru saja dia mengirim pesan singkat untuk sepupunya itu. Menyuruhnya untuk segera datang. Kali ini dia harus meminta bantuan agar bisa mengalahkan Ziyan pada challenge berikutnya.

Sambil duduk santai di atas bangku panjang dengan sandaran. Lagi-lagi dia membuka sketch book usangnya. Melihat seorang gadis dengan senyum manis, rambutnya tergerai. Lingga melukisnya menjelang kenaikan kelas sembilan. Rindu, satu kata mengusai dirinya saat ini. Sebelum akhirnya semua buyar oleh kedatangan Erin.

"Liatin apaan lagi lo, dalem banget pandangannya," cetus Erin sambil mendelik ke arah sketch book yang dipegang Lingga. Sontak cowok bertubuh tinggi itu segera menutupnya.

Erin duduk di samping Lingga dan meraih gitar di atas meja.

"Rin."

"Mmm," timpal Erin, masih sibuk menyetel gitarnya.

"Berhubung mata pelajaran favorit lo cuma Bahasa Indonesia doang."

"Bukan Bahasa Indonesia doang, jangan lupa sama Seni Budaya dan Olahraga." Erin masih sibuk menyetel gitarnya.

"Iya, itu maksud gue."

Ucapan Lingga yang berkelit membuat Erin urung memetik gitarnya, kali ini dia mengangkat wajahnya, menoleh ke arah Lingga.

"Ya, terus!" Erin melotot. "Bisa nggak ucapan lo nggak usah berbelit-belit kayak gini. To the point aja kali."

"Gue butuh bantuan lo," cetus Lingga akhirnya, memasang senyum lebar di depan wajah Erin yang kesal.

"Berhubung gue punya sepupu yang pinteeeeeeeeer baca puisi, gue minta bantuan lo. Ajarin gue," lanjutnya.

Erin mengernyit mendengar ucapan Lingga. "Ya tinggal baca aja, nggak mungkin juga kan lo nggak bisa baca udah kelas sebelas juga, kenapa harus diajarin," sahutnya, kali ini dia menatap ke depan. Perumahan berjejer rapi, deretan pertokoan juga jalan raya dengan kendaraan yang hampir padat dapat dilihat dari atas.

"Ya ... maksud gue intonasinya kayak gimana, terus suara gue harus gimana?"

"Buat apa, sih? Challenge lagi?" terka Erin.

Lingga mengangguk menanggapi. Matanya berkedip-kedip sambil menelungkupkan kedua tangannya di depan dada. Memohon.

"Tapi nggak ada yang gratis, ya."

"Asal nanti gue menang, lo mau apa aja, nanti gue turutin."

Erin menoleh ke arah Lingga, memamerkan senyum paksaannya.

"Bakso sepuluh porsi-pun, gue kasi."

"No ... no ... no ...." Erin menggerak-gerakan telunjuknya di depan Lingga. "Gue mau yang lain," lanjutnya.

"Apa?"

"Gue kasi tau nanti."

"Oke, deal!" Tanpa pikir panjang, Lingga setuju, lalu mengulurkan tangannya. Erin menyambutnya, masih dengan senyum paksaan.

Erin menawarkan untuk memulai latihan besok. Lingga kecewa, tapi akhirnya setuju. Namun, dia meminta Erin untuk memberinya contoh membaca puisi satu judul saja.

Bola mata Erin berputar, berpikir dan setuju.

"Oke, gue baca ini aja. Favorit gue, judulnya 'Aku Ingin' karya Sapardi Djoko Damono."

Terlebih dahulu Erin menarik nafas, sambil menatap Lingga yang sudah siap mendengarkan.

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana ...."

Suasana hening seketika, hanya suara Erin yang terdengar. Matahari sudah tergelincir, semburat jingga berada di tengah-tengah mereka. Angin sore berembus pelan. Lingga terperangah.

"Udah sore, gue pulang duluan." Erin menutup puisinya dengan kalimat itu. Membuat Lingga terperanjat, hingga mengerjap beberapa kali.

Lingga tersenyum melihat punggung cewek dengan rambut dikuncir yang sedang melangkah menjauh.

"Ternyata sekarang lo udah gede, ya, udah berani pulang sendiri," gumamnya sambil terkekeh, seperti tidak percaya gadis kecil yang dulu tidak berani pulang dan selalu minta diantar padahal rumah mereka hanya berjarak kurang lebih sepuluh meter, satu gerbang pula, sekarang sudah bisa pulang sendiri.

Bersambung ....

Cousin Zone [SEDANG REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang