Katanya Flashback

21 2 0
                                    

Belum sampai lima menit, hujan yang tadi sempat mereda sekarang kembali deras. Untunglah di pintu belakang ada kanopi sehingga cipratan air hujan tidak mengenai mereka. Dari sini juga, mata Lavendra bisa menangkap beberapa orang berjalan membawa payung menuju mobil mereka.

Kalau kayak gini bisa pesen ojol nggak ya? Tapi kasian orangnya. Lamunannya dipecah oleh suara Magenta yang asyik mengunyah kacang pilus. Hal itu mengingatkan Lavendra pertanyaan pertama yang ia lontarkan ketika mereka bertemu di rumah Bu Erni ketika fieldtrip.

"Jadi kenapa lo kuliah di sini? Gue kira lo di Solo?"

Magenta melirik Lavendra sebentar. "Ya lo kenapa kuliah di sini juga? Nggak kayak tipikal keluarga Atmaja."

"Dih dibalikin," cibir Lavendra. "Ya udah sih jawab dulu pertanyaan gue."

"Gue daftar mandiri terus keterima. Gitu doang," katanya sebelum kembali memakan kacang pilus.

"Kalau gue maunya beda aja," tukas Lavendra. Jawabannya singkat, tetapi tetap menggantung.

Magenta berdecak sebal. "Nggak jelas, ah jawaban lo."

"Ck, ya gue maunya beda dari sepupu gue." Tiba-tiba Lavendra jadi mengotot sendiri. Pertanyaan Magenta adalah tipikal pertanyaan yang ia hindari. "Emang kenapa?"

"Sepupu lo si Arsa lanjut sekolah musik di Berklee College, terus sepupu lo yang selebgram siapa namanya?"

"Keisha."

Magenta menjentikkan jari. "Nah, itu dia di mana tuh sekarang?"

"ESMOD Jakarta."

"Nah. Jadi gue nggak nyangka ketemu lo di sini. Gue pikir lo mau kuliah di jurusan dance atau cheerleader di kampus mana gitu. Lah taunya ketemu juga di sini. Emangnya lo mau dance bareng ikan?" beber Magenta.

Lavendra menggembungkan pipi sebelum bicara. Memori masa sekolahnya melintas sekilas. "Gue udah ninggalin itu ... for some reason. Sampai lo nyuruh gue tumbling pas FPIK Mengajar. Gara-gara fieldtrip, gue sadar kalau gue nggak akan pernah seratus persen ninggalin passion gue. Jadilah gue ikutan tim aerobik fakultas."

Mulut Magenta membentuk huruf O. Laki-laki itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya seolah baru menyadari sesuatu. "Berarti kemarin gue bantuin lo? Gue ikutan seneng."

***

Jam tangan Lavendra menunjukkan pukul lima lebih lima belas. Bukannya mereda, saat ini hujan disertai angin kencang. Saking kencangnya, air hujan bisa menyentuh teras pintu belakang. Karena itulah mereka menutup pintu belakang dan duduk bersadar di tembok samping pintu.

"Ya namanya juga Kota Hujan. Beda sama Malang. Kalau mau hujannya berhenti, panggil pawang hujan gih," ujar Magenta yang tidak tahan mendengar omelan Lavendra tentang lamanya hujan di daerah kampus.

"Lo tuh nggak pernah nongol di Omda apa gimana deh? Masa gue baru liat lo pas fieldtrip?" tanya Lavendra setelah Magenta menyebutkan kota asal mereka.

"Ya emang nggak pernah."

"Masa sih?" Mata Lavendra membulat tak percaya. "Lo nggak kenal Mbak Kamila? Itu anak alumni Widya Mandala yang cowoknya anak sekolah kita."

Magenta menaikkan alis. "Siapa?"

"Itu anak Omda Malang."

"Nggak kenal."

"Yaampun." Lavendra menepuk dahi. Mbak Kamila termasuk jajaran orang terkenal di Omda Malang karena keramahannya dan kemampuan networking-nya yang luas. Tidak mungkin anak Omda Malang tidak mengenal perempuan itu.

"Berarti lo sekarang Himatoda dong?" simpul Lavendra.

"Itu apa lagi?"

"Himpunan Mahasiswa Tanpa Omdaaa." Lavendra sengaja memanjangkan kata Omda sebab telanjur gemas. Sekuper apa Magenta sampai tidak tahu istilah Himatoda? Padahal istilah itu cukup tren di kalangan mahasiswa.

"Anjir," umpat Magenta, lalu mengunyah kacang pilus.

"Kapan-kapan gue ajakin lo deh kalau ada kumpul Omda," ajak Lavendra. "Biar gue nggak diledekin terus dari Badra Bhirawa sendirian."

"Gue jadi tameng lo berarti?"

"Ya iyalah! Itung-itung lo kenalan juga sama yang lain. Siapa tau ada yang sejurusan sama lo," jawab Lavendra berapi-api.

Magenta menaikkan kedua pundak. "Ya gue juga nggak keberaran sih."

***

Lavendra mengintip pintu kaca, mengamati hujan yang entah kapan berhenti. Sementara Magenta masih berada di sampingnya, duduk di sudut dinding dengan kepala bersadar di pojok. Mereka lelah menunggu kapan hujan berhenti atau paling tidak mereda.

"Gimana kalau suatu hari kita nikah, Ven?"

"Enteng banget tuh mulut," balas Lavendra, kemudian melepas ikatan rambut. "Gue jepret mulut lo pake karet rambut."

Magenta menutup hidung dengan tangan kanan sambil mengibaskan tangan dengan tangan satunya. "Ogah, bau keringat."

Lavendra mengalah. Bisa-bisa dia berdebat terus dengan Magenta sampai hujan turun. "Daripada pacaran, gue pikir kita mendingan jadi partner in crime. Apalagi pas kita selesain kasus pas pensi."

"Eh gilaa, gue keder duluan pas denger dari divisi logistik." Magenta mencondongkan badan ke depan. Suara terdengar antusias di telinga Lavendra. "nggak siap gue nanggung duit segitu banyak. Apalagi urusannya sama pihak eksternal."

"Untung kaann gue bisa minta rekaman CCTV backstage." Lavendra menghadap ke arah Magenta dengan tangan terlipat. "Kalo nggak, BBLF bisa-bisa nggak diadakan kayak tahun angkatan atas."

"Iya-iya." Magenta memutar bola mata. "Pahlawan BBLF 2019 kita, Lavendra Kartika Atmaja!" Dia menepuk kedua tangan.

Krieet...

Dua anak itu was-was menatap pintu. []

Fieldtrip, KatanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang